AJANG DEBAT RAWAN PICU PERPECAHAN UMAT

sumber:google


Siti Maisaroh, S.Pd

(Pendidik Generasi)


Telah dua kali digelar, debat capres berlangsung ‘panas’. Diwarnai adu yel-yel yang bernada saling olok  dan menjatuhkan antar pendukung. Masing-masing merasa paling benar dan ingin menang. Hingga gara-gara beda pilihan, perpecahan pun tak dapat terhindarkan. Gara-gara beda ‘jago’ rakyat pun saling serang. Saling menjatuhkan dan mencari-cari kesalahan. Antar pendukung ribut dan mengikis tali persaudaraan. Saling serang kata sindiran dan jargon membuat gaduh. Bahkan sesama Muslim pun bisa saling bermusuhan hanya karena merasa ‘jago’nya yang layak menang. Beberapa saat lagi, debat antar calon wakil presiden pun akan diadakan. 

Kegaduhan antar pendukung ini sangat terasa di media masa. Sempat viral video ibu-ibu pendukung calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo adu yel-yel dengan emak-emak pendukung calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Video adu yel-yel antar ibu-ibu pendukung capres itu beredar di media social, khususnya twitter pada Rabu (TRIBUN.com 14/2/2019). Sekretaris Jendral Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani bahkan menilai pertarungan Joko Widodo dan Prabowo Subianto pada pemilihan presiden 2019 berpotensi kembali memicu konflik horizontal yang cukup tajam dikalangan masyarakat. (KOMPAS.com, 26/2/2018 lalu) 

Sekilas memang, ajang debat terkesan bagus dan mencerahkan. Tetapi ini justru ironi. Karena dengan gencar pemerintah mensosialisasikan persatuan. Kini justru mereka sendiri yang menggelar debat. Mencontohkan ketegangan dan ‘perang urat syaraf’. Yah, konflik horizon antar pendukung jelas kian memanas. Inilah gambaran singkat ‘wajah buruk’ system Demokrasi. Membebaskan berpendapat. Memberi ruang bahkan fasilitas untuk saling adu dan serang. 

Jika kita kembali pada system Islam yang berasal dari Allah swt, Islam tidak memberi ruang bagi para calon pemimpin untuk berdebat. Karena Islam mengajarkan untuk selalu berhati-hati dalam berucap dan bertindak. Sistem Islam juga hanya akan memberikan kesempatan menjadi pemimpin untuk mereka yang sanggup dan layak memimpin. Mampu menjalankan amanah yang berat, yakni menjalankan pemerintahan, mengurusi umat dengan aturan Islam. 

Peradaban system Islam juga telah mengukir sejarah. Bahwa pergantian pemimpin bukan diraih dengan cara ‘berebut’ amanah kekuasaan. Apalagi seperti yang terjadi sekarang, merasa paling mampu memimpin. Lupa, betapa beratnya pertanggung jawaban sebuah amanah kepemimpinan. Justru sejarah juga mengisahkan, betapa para sahabat besar yakni Umar, Ali, Abu Bakar dan Utsman saling tunjuk untuk maju sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah Saw. Disana tiada debat adu kebolehan, yang ada justru masing-masing rendah diri dan merasa tidak mampu untuk memimpin. Mereka para sahabat yang telah dijamin surga sangat memahami betapa beratnya menjadi pemimpin. Yang tergambar dalam benak mereka bukanlah jabatan dan kewibawaan. Bukan rumah, mobil, dan fasilitas mewah pemimpin lainnya. Tetapi justru khawatir, kalau tidak bisa menjalankan amanah kepemimpinan secara sempurna. Teringat akan hisabnya diakhirat kelak. … “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya atas yang dipimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya…..”(HR. Bukhari) 

Demikian gambaran kecil dari para calon pemimpin yang hidup dalam Negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Hingga muncullah mereka para pemimpin yang bertakwa dan siap menjalankan syari’at Nya. Semoga semua ini segera terwujud. 

Waallahu a’lamu bishowab. 






Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak