Oleh Hermin Agus
Pertama mendengar kata “Kafir” pasti akan teringat dua surat yang sudah familiar di telinga, yaitu surat AL Kairun dan surat Al Bayyinah. Pada Surat Al Kafirun, Allah telah memerintahkan nabiNya untuk menyampaikan kepada orang-orang kafir bahwa beliau tidak akan menyembah Tuhan mereka dan begitu juga sebaliknya. Jadi, kata ‘Kafir” di sini adalah orang yang tidak mau menyembah Allah. Sementara itu, Surat Al Bayyinah (ayat 6) menjelaskan bahwa orang kafir adalah mereka yang berasal dari ahli kitab dan musyrik. Baik kaum Nasrani ataupun Yahudi.
Jelaslah bahwa istilah “Kafir” ini ada dalam Alqur’an. Artinya, istilah tersebut dimunculkan langsung oleh Allah SWT. Nabi pun telah menyampaikan istilah tersebut kepada orang-orang yang tidak mau mengikuti seruan Rasul saw.
lstilah “Kafir” berarti sudah ada sejak dulu. Gesekan di antara masyarakat dahulu pun tak terjadi tersebab kata "kafir' tersebut. Al Qur’an sebagai kalamullah sudah tentu petunjuk bagi seluruh manusia tak mungkin di dalamnya ada "labelling' bagi hambaNya yang tak mengandug sampainya petunjuk bagi dirinya. Karena, Alquran adalah sebaik baik rujukan bagi manusia. Maka, pada istilah "kafir" pun pasti mengandung kemungkinan masuknya hidayah bagi hamba yang belum beriman. Jadi, pantaskah kita mengganti istilah yang sudah ditentukan redaksinya dari Sang Maha Pencipta dengan kata lain?
Mari kita ukur dengan logika. Menurut wikipedia, “Kafir “ berasal dari kata “Cover” (dalam bahasa Inggris) artinya tutup atau penutup. Orang kafir adalah orang yang masih ‘menutup diri’ atau ’orang yang masih terhalang’, maksudnya belum mau menerima hidayah.
Sedangkan, kata "non muslim" , non artinya tidak, dan muslim artinya selamat, maka non muslim memiliki makna ‘tidak selamat’. Bukankah pengertian non muslim itu sebenarnya lebih tidak sopan/tidak etis? Apakah kita pantas menyebut mereka dengan sebutan ‘orang yang tidak selamat?’ Dimana letak kemungkinan ada hidayah dalam istilah "non muslim"?
Istilah kafir sebenarnya hanya untuk mengklasifikasikan atau membedakan bahwa ada orang muslim dan orang di luar muslim. Orang di luar muslim inilah yang disebut orang kafir tapi kita tidak pantas menyebut mereka dengan " orang yang tidak selamat". Karena, kafir berarti orang yang masih menutup diri dari cahaya Allah kemungkinan nanti selamat masih bisa jika dia mau membuka diri atau mau menerima pintu hidayah.
Fakta dalam kehidupan sehari-hari bisa dikatakan --atau penulis secara pribadi--nyaris belum pernah mendengar seorang muslim mengatakan orang lain yang bukan muslim dengan sebutan ‘kafir’ secara langsung. Hingga, menimbulkan "clash" di antara masyarakat.
Jadi, jika ada orang yang tidak mau diberi sebutan ‘kafir’ sebenarnya pasti ada masalah di baliknya. Sebutan yang dipermasalahkan oleh ormas terbesar di negeri ini dianggap sebagai sebuah kekerasan teologi. Sehingga, ormas tersebut menuntut untuk mengganti penyebutannya dengan istilah 'non muslim’. Alasannya, khawatir menyinggung atau menyakiti perasaan mereka. Benarkah itu masalah sesungguhnya?
Sebenarnya sebutan istilah "kafir" ini bukanlah masalah perasaan tapi masalah ’keyakinan’. Keyakinan kita kepada Allah sebagai pencipta kita dan satu-satunya Dzat yang berhak untuk ditaati. Segala hal yang datang dari Nya mutlak ditunduki. Termasuk di dalamnya penyebutan kata "kafir" bagi orang yang belum beriman kepada Allah. Bukankah kita hamba bukan tuhan yang berhak mengatur ataupun mengubah sebuah aturan?
Ilustrasi issiregar.wordpress.com