Oleh : Eri*
Perempuan dan politik bukanlah suatu hal baru di era digital saat ini. Di mana dulu tugas perempuan hanya seputar dapur, kasur dan sumur. Sekarang kaum perempuan mengoptimalkan perannya dalam kancah perpolitikan. Bukti keterlibatannya dalam pemilu 2019 jumlah peserta calon legislatif (caleg) perempuan meningkat menjadi 40 persen. Ini tidak lepas dari Barat yang gencar menghembuskan isu kesetaraan gender kepada perempuan khususnya muslimah. Mereka menyerukan pemberdayaan kaum perempuan melalui pendidikan, kesempatan kerja, bahkan partisipasi politik.
Sementara itu, ide gender mendikte para muslimah bahwa penyebab buruknya kondisi perempuan adalah pemahaman agama yang menempatkan istri lebih rendah dari suami, membatasi gerak perempuan hanya di rumah, melarang perempuan menjadi pemimpin, melarang bekerja untuk mendapat status ekonomi yang baik, dan sebagainya.
Secara fakta, apa yang selama ini diperjuangkan seperti jumlah gaji yang mencukupi, kenyamanan tempat kerja, akses di politik, terjaga dari kekerasan seksual, dan sebagainya masih jadi tuntutan yang belum tuntas. Ide gender yang dianut sekian puluh tahun tak bisa menyelesaikan masalahnya.
Islam telah memberikan batasan dengan jelas dan tuntas terkait aktivitas perempuan, demikian pula dengan aktivitas politiknya. Berikut ini beberapa aktivitas politik yang boleh atau wajib diterjuni oleh perempuan seperti kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, membaiat pemimpin, serta muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa) agar hukum-hukum Allah diterapkan secara keseluruhan.
Aktivitas ini juga dilakukan oleh para shahabiyah. Pada masa Rasulullah saw kaum perempuan melakukan aktivitas politik dan perjuangan politik tanpa meninggalkan tugas utama sebagai ummu wa rabbatul bait dan pengelola rumah tangga. Salah satunya adalah Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia merupakan perawi hadits yang handal. Ia juga memiliki ketinggian ilmu pada dirinya, menjadi tempat bertanya para shahabat dan shahabiyat.
Para pembesar sahabat apabila menjumpai ketidakpahaman dalam masalah agama, maka mereka datang kepada Aisyah dan menanyakannya hingga Aisyah menyebutkan jawabannya.Berkata Abu Musa al-Asy’ari, “Tidaklah kami kebingungan tentang suatu hadits lalu kami bertanya kepada Aisyah, kecuali kami mendapatkan jawaban dari sisinya.” (Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3044))
Selain itu, muslimah memegang peran penting dan strategis sebagai ummun wa rabbatul bait dalam mencetak generasi penerus umat yang memiliki kualitas mumpuni. Yakni berperan dalam mendidik dan membina anak-anak mereka dengan aqidah yang kuat, sehingga akan lahir generasi yang tunduk pada syari’at dan siap untuk memperjuangkannya.
Seperti kisah dari seorang pemuda penakluk Konstantinopel tidak terlepas dari peran seorang ibu dalam mendidik anaknya. Setelah shalat subuh, Ibu Sultan Muhammad al-Fatih mengajarinya tentang geografi, garis batas wilayah Konstantinopel. Ia berkata, “Engkau –wahai Muhammad- akan membebaskan wilayah ini. Namamu adalah Muhammad sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ. Muhammad kecil pun bertanya, “Bagaimana aku bisa membebaskan wilayah sebesar itu wahai ibu?” “Dengan Alquran, kekuatan, persenjataan, dan mencintai manusia”, jawab sang ibu penuh hikmat. Itulah ibu Muhammad al-Fatih, mendidik anaknya di waktu berkah pagi hari.
Masih percayakah kita terhadap profil perempuan sukses ala ide Barat dengan standar peradaban sekuler yang menghinakan kiprah perempuan sebagai Umm wa Rabbatul Bait. Sungguh, para shahabiyah telah menjadi cermin bagi para muslimah bahwa hidup mulia dengan memperjuangkan Islam dan syariahnya yang melibatkan dalam aktivitas politik yaitu mengatur dan mengurusi urusan umat dengan aktivitas dakwah dan jihad.
Wallahu ‘alam bis shawwab
*(Pemerhati Masyarakat)