Oleh : Ilma Kurnia Pangestuti, S.P
Masuk di awal tahun 2019 ramai di perbincangkan soal persiapan pemilihan pemimpin.Setidaknya dalam beberapa bulan ke depan, suasana perpolitikan di Tanah Air dipastikan makin dinamis. Bahkan suasananya bisa makin panas. Terutama dikarenakan faktor Pilpres pada bulan April 2019 mendatang. Saat ini Pilpres menjadi satu-satunya ajang bagi rakyat di negeri ini untuk memilih pemimpin terbaik mereka. Namun sayang, faktanya, dari beberapa kali Pilpres, pemimpin yang terpilih tidak selalu yang terbaik. Bahkan sering lebih buruk daripada para pemimpin sebelumnya. Mengapa demikian? Sebab yang paling utama, tidak diukur kapasitas dan kualitas para calon pemimpinya tetapi oleh konstitusi dan perundangan yang ada, yang sama sekali tidak merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah. Seperti contohnya di dalam konstitusi tidak terdapat ayat atau pasal yang menjelaskan tentang sebagai Capres dan Cawapres wajib bisa membaca al-Quran. Apalagi wajib berkomitmen untuk menerapkan syariah Islam setelah mereka terpilih menjadi pemimpin. Padahal ini sangat dibutuhkan di dalam islam ketika seorang pemimpin atau biasa disebut Khalifah dipilih dan dibaiat maka harus menerapkan al-Quran dan as-Sunnah atau syariah Islam.
Kepemimpinan yang diharapkan adalah yang mampu menerapka aturan secara adil sesuai ketentuan al-Quran dan as-Sunnah, tidak seperti yang dikhawatirkan Nabi saw yang menjadi imârah as-sufahâ (kepemimpinan orang-orang dungu/bodoh). Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang artinya:
“Aku mengkhawatirkan atas diri kalian enam perkara yaitu (salah satunya.) kepemimpinan orang-orang bodoh/dungu…” (HR Ahmad dan ath-Thabarani).
Dalam hadis di atas menjelaskan bahwa terdapat enam perkara yang dikhawatirkan Rasul saw. yang pada umat saat ini. Salah satunya adalah imârah as-sufahâ (kepemimpinan orang-orang dungu/bodoh). Imârah as-sufahâ disebut di urutan pertama karena boleh jadi perkara inilah yang paling dikhawatirkan oleh Nabi saw. terjadi atas umat ini. As-Sufahâ` merupakan bentuk jamak dari safîh yang artinya orang bodoh/dungu, kurang akal dan keahlian, ahlu al-hawa (biasa memperturutkan hawa nafsu), sembrono/gegabah serta buruk tindakan dan penilaiannya. Di dalam Islam, as-sufahâ` ini tidak boleh diberi kepercayan untuk mengelola sendiri hartanya seperti firman Allah SWT yang artinya :
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada didalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (QS an-Nisa’ [4]: 5).
Oleh sebab itu, kepemimpinan penguasa manapun baik yang IQ-nya rendah maupun yang IQ-nya tinggi selagi tidak merujuk pada petunjuk dan Sunnah Nabi saw. bisa jadi terkategori sebagai imârah as-sufahâ`. Tegasnya, pemimpin yang meninggalkan petunjuk al-Quran dan as-Sunnah, seraya menjalankan sistem dan perundangan yang bukan syariah Islam, pada dasarnya itulah imârah as-sufahâ`. Untuk itu marilah kita lebih bijak dalam menentukan sosok pemimpin yang tentunya bisa amanah dalam kepemimpinannya, yang mampu mensejahterakan rakyatnya dan terlebih utama mampu menerapkan syariat islam dan as sunah sebagai pedoman dalam menjalankan kepemimpinannya. Dan semoga kita dijauhkan dari para pemimpin yang dicela sekaligus dikhawatirkan oleh Rasulullah saw. memimpin umat beliau. Wallahu a’lam bishawab...