Oleh : Shita Ummu Bisyarah (Pemerhati Masalah Umat)
Tagar #UninstallJokowi beberapa hari lalu menjadi trending topik di media sosial Twitter Indonesia. “Munculnya #UninstallJokowi itu sepertinya gara-gara #DukungBukaLapak tiba-tiba hilang dari Trending Topics. Kubu 02 pengin ada tagar tandingan #Uninstall BukaLapak tetap bertengger di TT,” cuit Pakar media sosial sekaligus pengembang aplikasi Drone Emprit, Ismail Fahmi, dikutip dari Tempo.co, pada sabtu (16/2/2019). Munculnya tagar #UninstallJokowi ini bermula ketika CEO Bukalapak, Achmad Zacky memaparkan sejumlah data terkait anggran yang digelontorkan Indonesia guna mewujudkan Industri 4.0. Dalam cuitan yang diunggah melalui akun pribadinya itu, Zacky menyatakan bahwa pemerintah hanya menganggarkan sejumlah Rp 2 triliun. Zacky juga membandingkan jumlah tersebut dengan beberapa negara tetangga yang jumlah anggrannya jauh lebih besar, Malaysia misalnya. Negeri Jiran menggelontorkan setidaknya Rp 10 triliun untuk mengembangkan Industri 4.0 di negara tersebut.
Cuitan ini kemudian mendapatkan berbagai respon dari warganet. Sebagian besar menyatakan harapan agar presiden baru dapat meningkatkan jumlah anggaran tersebut. Kemudian Sekertaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Hasto Kristanto sempat menyuarakan untuk uninstall aplikasi jual beli online Bukalapak. Akibat dari hal ini tagar Uninstall Jokowi menjadi trending topik di media sosial Twitter Indonesia ( www. malangtoday.net)
Padahal sebenarnya Achmad Zacky hanyalah berbicara fakta berdasarkan data alias bukan Hoaks.
Sangat tidak pantas sebagai seorang politisi dan akademisi pak Hasto Kristanto malah “purik” alias ngambek dengan mengeluarkan statement layaknya anak kecil untuk mengunsintall buka lapak. Harusnya jika kritikan yang diberikan oleh Achmad itu benar dan menjadi masukan negara, negara bisa menjadikan ini sebagai bahan masukan demi mengembangkan riset di Indonesia, bukan malah ngambek nggak jelas seolah – olah penguasa adalah manusia paling sempurna.
Bila kita melihat fakta riset di Indonesia selain dari minimnya dana seperti yang dipaparkan oleh Achmad, juga memiliki managemen yang sangat jelek, yakni berupa aturan – aturan yang kontra produktif dan kultur birokrasi yang tidak kondusif. Proff Fahmi Amhar yang merupakan peneliti muda LIPI memaparkan bagaimana buruknya riset di Indonesia. Sebagai contoh, aturan tadi menyebutkan bahwa setiap peneliti maksimum hanya boleh diberi honor tambahan 4 jam perhari, @ Rp. 27.500,-. Jadi kalau peneliti itu bekerja 5 hari seminggu dan 50 minggu setahun, dia hanya akan dapat tambahan Rp. 27.500.000,- Dalam penelitiannya itu, tidak boleh ada pembelian alat atau barang modal. Tidak boleh juga ada perjalanan ke luar negeri, sekalipun untuk mempresentasikan papernya di simposium ilmiah internasional. Karena jatah setiap peneliti adalah Rp. 50 juta, maka sisa uang tersebut harus dipertanggungjawabkan untuk pengadaan bahan riset, pembelian alat tulis kantor, perjalanan dinas dalam negeri dan mengikuti atau mengadakan seminar di dalam negeri. Dampak aturan ini: sekitar 3000 peneliti enggan mengajukan proposal. Terkesan main-main saja.
Sementara itu, banyak hibah riset yang dikompetisikan secara internasional, yang juga tidak termanfaatkan oleh peneliti kita. Pasalnya, salah satu kriteria seleksinya adalah rekam jejak manajemen riset yang baik. Kalau muncul proposal dari berbagai institusi Indonesia yang tumpang tindih, maka itu indikasi manajemen riset di Indonesia amburadul. Akibatnya, ribuan dana hibah riset bergensi di Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang, lebih banyak dimanfaatkan oleh peneliti-peneliti Cina dan India. Dari negeri-negeri Islam sangat sedikit. Dan Indonesia di nomor buncit.
Jika kita melihat fakta diatas jelas apa yang dilontarkan oleh CEO buka lapak benar adanya, bahkan yang dia sampaikan hanya secuil fakta. Reaksi pemerintah yang berlebihan tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi anti kritik, menutupi telinga dari kritikan rakyat. Padahal kritikan tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi pemerintah untuk memperbaiki birokrasi riset di Indonesia yang carut marut mengingat riset merupakan ujung tombak kemajuan suatu negara.
Hal ini sangat berbeda ketika islam diterapkan. Di dalam islam pemimpin sangat terbuka terhadap kritikan rakyat karena paradigma bernegara dalam islam adalah saling membantu dalam ketaatan. Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepengurusannya terhadap rakyat, sedangkan rakyat wajib untuk memuhasabah ( menasehati) penguasa ketika penguasa melakukan kedzoliman berupa kebijakan yang menzolimi rakyat. Diantara dasar hukum bolehnya menasehati penguasa yakni
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dalam praktiknya para sahabat juga menerima kritik dari kaum hawa walaupun kritik tersebut dilaksanakan secara terang – terangan dalam sebuah pidatonya terkait penetapan besaran mahar. Padahal Umar bin Khattab terkenal sebagai pemimpin yang tegas dan adil. Jelas terbukti bahwa sistem islam merupakan system yang terbaik karena berasal dari Allah SWT pencipta manusia. Maka dari itu mari kita perjuangkan bersama kepemimpinan Islam yang akan mengatur manusia dan mengembalikan kegemilangan puncak peradaban terluhur yang dulu pernah ada.