Oleh Nanik Farida Priatmaja, S.Pd
Pesta demokrasi Pilpres tak lama lagi digelar. Kampanye masing-masing paslon begitu gencar dilaksanakan demi meraih suara terbanyak. Karena suara terbanyaklah yang kelak akan menang dan berkuasa memimpin negeri ini. Masing-masing paslon berlomba-lomba mendekati rakyat berbagai kalangan tak terkecuali ulama. Pasalnya suara ulama dinilai mampu menjadi penarik simpati para pengikutnya. Ulama yang banyak pengikutnya pastinya akan jadi rebutan tiap Paslon untuk dijadikan pendukung. Dengan harapan jika didukung ulama kondang, pastinya suara terbanyak akan diraihnya karena para pengikutnya biasanya akan sami'na wa atho'na pada ulama tersebut.
Tak jarang masing-masing paslon saling mengklaim bahwa ulama tertentu telah mendukung Paslon tersebut. Hal itu wajar terjadi, biasanya setelah melakukan "sowan" ke ulama, kemudian menjanjikan iming-iming tertentu (baik jabatan ataupun yang lainnya) sehingga ulama tersebut mendukung Paslon yang mengunjunginya dan ikut serta mengkampanyekan ke para pengikutnya.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Miftah Nur Sabri menilai kubu Jokowi panik hingga Ketum PPP Romahurmuziy membuat video klarifikasi soal Ketua Majelis PPP, Maimoen Zubair soal dukungannya dalam Pilpres. Dalam video yang diunggah di Instagram, Rommy menegaskan dukungan Mbah Moen kepada pasangan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.
Tak jauh beda dengan kubu Paslon 02 yang juga mengklaim bahwa Paslon 02 telah lama dekat dengan Mbah Moen.
Miftah meyakini sesungguhnya Mbah Moen mendukung pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Dia mengklaim Prabowo memiliki hubungan dekat sejak masih perwira di Kopassus. Ditambah, 2014 lalu Mbah Moen dalam barisan pendukung Prabowo. "Pak Prabowo sudah sejak lama sejak perwira muda dia sudah bersilaturrahmi dengan beliau. Jadi dengan pak Jokowi baru kali ya periodesasinya, saya ga tahu persisnya tapi kuat dugaan pasca beliau jadi wali kota Solo," kata Miftah.(Merdeka.com,2/2/19).
Rupanya telah menjadi kebiasaan menjelang pemilu baik pileg, pilbub ataupun pilpres banyak pejabat ataupun calon penguasa melakukan sowan ke tempat ulama terkenal yang banyak pengikutnya. Hal ini demi mendapatkan dukungan ulama tersebut beserta para pengikutnya. Dalam sistem buatan manusia ini suara ulama telah dimanfaatkan untuk meraih simpati rakyat. Padahal tak selamanya Paslon yang didukung ulama tersebut mampu memimpin ataupun sosok yang amanah menjalankan pemerintahan di negeri ini.
Peran ulama dalam sistem buatan manusia rupanya telah tergerus. Ulama tak banyak berfungsi selain menjadi alat pendongkrak suara mejelang pemilu. Ulama yang seharusnya menjadi penasehat penguasa tak lagi mampu sebagaimana fungsinya. Apalagi jika sudah terjebak dalam politik praktis, seolah sangat mudah berfatwa sesuai pesanan tuannya dan tak lagi mampu melihat realitas yang terjadi di masyarakat. Seringkali muncul fatwa-fatwa nyeleneh yang bertolakbelakang dengan kepentingan umat. Misalnya terkait fatwa haram ikut merayakan hari raya umat non muslim, kini fatwa tersebut telah berganti seiring keterlibatan seorang ulama dalam pilpres.
Ulama dalam Islam amatlah dimuliakan, dipercaya umat, tak mau dekat dengan penguasa. Karena ulama lah yang akan memuhasabahi penguasa, meluruskan jika penguasa tak menerapkan aturan yang tak pro rakyat, mengeluarkan fatwa dalam rangka mencerdaskan umat bukan malah menyesatkan sesuai kepentingan pribadi atau golongannya. Ketika syariat Islam diterapkan dalam sebuah negara. Ulama akan menjadi corong umat dalam mengkritisi kebijakan penguasa bukan malah menjadi corong penguasa dalam rangka melegalkan kebijakan yang tidak pro rakyat. Hal ini hanya akan terwujud ketika sistem Khilafah ditegakkan. Tak akan ada pragmatisme di kalangan ulama ataupun rakyat yang menjadikan ulama hanya sekedar alat pendongkrak suara rakyat semata.
Wallahu'alam Bishowab