Oleh: Nurcahya Ummu Bilal (Musimah Peduli Umat)
Akhir-akhir ini banyak kalangan melakukan aksi protes atas kenaikan harga tiket pesawat domestic dan bagasi berbayar. Baik dari kalangan masyarakat biasa, menegah keatas dan penguasaha. Bahkan 12 asosiasi pelaku pariwisata di Kepri yang tergabung dalam Forum Pelaku Pariwisata Kepri melakukan aksi turun kejalan dengan menggunakan atribut turt dan pakaian adat. Aksi dilaksanakan di depan Kantor DPRD Batam, Kepulauan Riau, Senin (11/2/2019). ( tribunnnews.com).
Bagaimana tidak memicu protes, harga tiket pesawat bahkan naik hingga 100%. Misalnya saja, dari Padang menuju Jakarta dihargai sekitar Rp 1 juta-Rp 2 juta, dari tarif sebelumnya yang berkisar di harga Rp 700.000-Rp 800.000. Penerbangan Baubau pun kena imbasnya, harga tiket Baubau Kendari biasanya hanya seharga sekitar 200rb-300rb, sekarang menjadi 400rb lebih. Sedangkan untuk tarif bagasi berdasarkan data yang dilansir detikFinance.com, Jumat (11/1/2019), tarif bagasi tambahan untuk bobot 5 kilogram (kg) sebesar Rp 155 ribu, 10 kg Rp 310 ribu, 15 kg Rp 465 ribu, 20 kg Rp 620 ribu, 25 kg Rp 755 ribu, dan 30 kg Rp 930 ribu. Dengan adanya aturan ini, para penumpang hanya digratiskan untuk membawa satu bagasi kabin seberat 7 kilogram dan satu barang pribadi saja. Itupun ada ukurannya. Bahkan, akibat peraturan baru ini, para penumpang panik, bahkan ada yang meninggalkan barang bawaannya karna harga tariff bagasi lebih mahal dari barang bawaannya. Yang anehnya tiket pesawat dari luar negri ke Indonesia jauh lebih murah. Kenaikan harga tiket dan bagasi pesawat ini bisa dibilang adalah salah satu dari sekian banyak kado pahit yang diberikan kepada rakyat di awal tahun 2019.
Pemicu mahalnya harga tiket pesawat akhirnya terungkap setelah Presiden Joko Widodo beserta sejumlah menteri terkait menggelar rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, , Rabu (13/2/2019) siang. Hasil rapat bersama presiden menyimpulkan penyebab naiknya harga tiket pesawat adalah karna dipicu oleh tingginya harga avtur yang harganya lebih mahal dari harga avtur Singapur. Bahkan Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa polemik harga avtur yang dinilai mahal karena monopoli oleh PT Pertamina (Persero) di Bandara Soekarno Hatta. Jokowi bahkan meminta agar pihak pertamina menyamakan dengan harga avtur internasional, bahkan jokowi mengancam dengan mengatakan akan menghadirkan competitor.
Tapi pernyataan ini langsung ditanggapi oleh External Communication Manager Pertamina Arya Dwi Paramita. Ia mengatakan harga Avtur yang dibeli maskapai regular itu sudah disepakati dalam kontrak jangka panjang. Sedangkan, penentuan untuk maskapai nonregular berbeda yakni mengacu pada harga Avtur saat membeli. Adapun, harga Avtur mengacu Mean of Platts Singapore (MOPS). Jadi, ketika harga minyak dunia turun, Avtur pun menyesuaikan. Selain harga minyak dunia, Avtur juga mengacu nilai tukar mata uang, biaya distribusi, rantai pasok dan lain-lain. "Sehingga kami harus cermat jika membandingkan harga Avtur di satu bandara dengan bandara yang lain. Karena kondisinya bisa jadi berbeda dan tidak setara untuk diperbandingkan," kata Arya, kepada Katadata.co.id, Senin (14/1).
Dari detikfinance.com, tanggapan yang berbeda juga datang dari Pekerja PT Pertamina (Persero) yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). Mereka menepis jika avtur sebagai dalang dari kemahalan harga tiket pesawat. FSPPB menduga, avtur dijadikan 'kambing hitam' agar perusahaan lain masuk di bisnis bahan bakar pesawat tersebut. FSPPB secara keseluruhan mengeluarkan enam butir pernyataan.
Pertama, bahwa pernyataan presiden terkesan menyudutkan Pertamina dengan mengomentari monopoli Pertamina seolah menjadi penyebab harga jual avtur tidak kompetitif. Pernyataan yang disertai ancaman untuk memasukkan kompetitor ke bisnis avtur tersebut dinilai menimbulkan bias pemberitaan kepada publik terhadap rangkaian penyebab sebenarnya yang melatarbelakangi kenaikan harga tiket pesawat domestik baru-baru ini. Kedua, terkait harga avtur, FSPPB menyebutkan perlu dirunut berita mengenai penjelasan dan klarifikasi INACA perihal harga tiket pesawat yang menyatakan memastikan bahwa harga avtur tidak secara langsung mengakibatkan harga tiket pesawat menjadi lebih mahal. INACA mengakui bahwa beban biaya operasional penerbangan lainnya seperti leasing pesawat, maintenance dan lain-lain memang menjadi lebih tinggi di tengah meningkatnya nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD). FSPPB menyatakan, masyarakat dapat melihat tren penurunan harga avtur Pertamina telah berlangsung bahkan sejak peak season November 2018 hingga Januari 2019, meski secara terbalik harga tiket pesawat justru meningkat, dan terus bergerak dinamis mengikuti harga MOPS, serta data yang menyebutkan harga jual avtur Indonesia terbilang paling murah keempat di kawasan ASEAN. Keempat, FSPPB mendesak Presiden agar berani memberikan perlakuan yang adil bagi Pertamina, termasuk - tetapi tidak terbatas kepada komponen biaya yang harus ditanggung, pemberian insentif dan tata niaga dalam distribusi avtur. Kelima, FSPPB juga mendesak Presiden melaksanakan amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945 dengan mengutamakan keberlangsungan hidup dan kesehatan bisnis Pertamina selaku badan usaha milik negara yang menyokong pilar energi dan perekonomian di Indonesia, sesuai nawacita dan janji kampanye membesarkan Pertamina selayaknya pemerintah negeri tetangga membesarkan perusahaan migasnya. Keenam, FSPBB mensinyalir adanya pihak-pihak tertentu yang berencana memanfaatkan situasi kisruh harga avtur untuk mengerdilkan peran Pertamina dalam melayani distribusi energi di seluruh bandara seantero Negeri. (Detikfinanve.com)
Dari pernyataan pertamina diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa naiknya harga tiket pesawat dan melambungnya harga bagasi bukanlah disebabkan oleh pertamina ataupun tingginya harga avtur. Sebab harga avtur tidak secara langsung mengakibatkan harga tiket pesawat menjadi lebih mahal. Kenaikan harga pesawat ini malah terkesan mengkambinghitamkan pertamina, agar pihak-pihak tertentu seperti asing, bisa menjadi pahlawan dalam menyokong bahan bakar pesawat.
Bahkan, jika kita lihat secara jeli, terkesan ada yang sedang dimainkan oleh pihak pemerintah terhadap BUMN-nya sendiri. Seolah ada ketidakadilan pemerintah sebagai pihak yang seharusnya menjadi penyokong BUMN. Bukan malah menyudutkan bahkan mengkambinghitamkan pertamina sebagai badan usaha milik negara. Sungguh, ini sangat disayangkan.
Sebab, kalau kita melihat dengan penikiran yang mustanir ( cemerlang), pemimpin sebagai orang no 1 diindonesia saat ini sedang memainkan suatu peran, atau bahkan dijadikan sebagai alat untuk mencari-cari alasan bagaimana caranya, sehingga para pengusaha kapitalis asing bisa masuk ke Indonesia untuk menjual dagangannya. Kalau saat ini mreka sudah menguasai hulu yaitu SDA Indonesia bahkan yang masih ada didalam perut bumi. Maka mreka tidak akan puas sampai disitu. Mereka akan melakukan berbagai macam cara agar bisa bermain sampai kehilir yaitu menjadi pedagangnya.
Bahkan bisa saja permainan ini menyengaja yaitu memerintahkan pihak maskapai menaikkan harga tiket, agar masyarakat berkoar-koar sehingga pemerintah merasa perlu untuk mensolusi dengan menghadirkan competitor, layaknya hiro. Tapi kenyataannya itu dusta, dan itu sama sekali bukan solusi tuntas, malah akan menambah masalah baru, yaitu terciptanya pasar baru untuk asing. Inilah dampak dari diterapkannya sistem sekularisme kapitalisme yang salah satunya membuat asing bisa leluasa menguasai SDA negeri, bahkan nereka bisa menjual dagangannya disini.
Jadi akar persoalan dari masalah ini adalah adanya keberpihakan penguasa terhadap asing, sehingga anak kandungnya sendiripun yaitu pertamina harus jadi tumbal, atas keserakahan, kepengecutan dan kebodohan peguasa, yang imbasnya jelas akan sangat dirasakan oleh rakyat.
Dalang dibalik naiknya harga tiket pesawat adalah bukan karena pertamina atau naiknya harga avtur, melainkan karena ada asing yang sedang dideklarasikan untuk menggantikan posisi pertamina.
Padahal, negara dalam hal ini pemerintah, harus melakukan tindakan nyata, untuk mengakhiri kebohongan ini, yaitu dengan mengayomi dan mendukung penuh pertamina dalam mengelola SDA, mendistribusikan dan memasarkannya. Itu adalah kewajiban negara, yang dilakukan demi kepentingan rakyat, bukan yang lain terlebih bukan untuk kepentingan asing. Tetapi untuk membuat negara mampu menjalankan kewajibannya, maka dibutuhkan pemimpin yang BaPer (Bawa Perubahan), yaitu perubahan yang spektakuler yaitu bisa lepas dari penjajahan SDA, penjajahan ekonomi dan penjajahan politik. Pemimpin yang berani dan tegas untuk menghapus segala bentuk penjajahan yang dillakukan oleh asing. Sehingga kebijakannya tidak disetir asing yang notabennya ingin menguasai SDA di negeri ini dari hulu hingga hilir. Ini memang tidak mudah tapi juga sangat mungkin terjadi, jika aturan Allah diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu A’lam Bissawab