Oleh. R. Alnadra (Founder Penulis Ideologis)
"Kalau saya sampai dihukum, berarti tidak ada lagi kebebasan berpendapat, tidak ada perlindungan untuk berpendapat. Benar presiden kita, banyak politisi sontoloyo," kata Dhani di PN Jakarta Selatan, yang dilansir dari Tirto.id (19/11/2018)
ADP (Ahmad Dhani Prasetyo) didakwa melakukan ujaran kebencian gara-gara twit yang diunggah di akun Twitter @AHMADDHANIPRAST pada 6 Maret 2017. Cuitannya berbunyi, "Siapa saja yang dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi muka nya - ADP".
Dari laman Tribunnews.com Jaksa menvonis Ahmad Dhani 1,5 tahun penjara. Ia terbukti melakukan tindak pidana yang diatur ancaman hukuman pidana dengan pasal berlapis, yakni pelanggaran pada Pasal 45A ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dhani hanyalah satu dari sekian korban UU ITE-- dan kebetulan Artis-- yang sengaja dibidik karena cuitannya yang blak-blakan. Masih banyak korban lain yang cuitannya lebih meresahkan lainnya yang tidak ditangkap. Buktinya, kian hari banyak tokoh yang melakukan ujaran kebencian jumlahnya makin berjubel. Bahkan dari kalangan politisi pun tak sedikit yang ternyata melakukan ujaran kebencian. Mulai dari Viktor Laiskodat, Abu Janda, Ade Armando dan lain-lain mereka bebas menyuarakan apapun tanpa tersentuh hukum.
Data yang dihimpun Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), hingga 31 Oktober 2018 setidaknya ada 381 korban yang dijerat dengan UU ITE. Berdasarkan data itu, 90 persen dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik, sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian. Umumnya pelapor berasal dari mereka yang memiliki kekuasaan modal atau kekuasaan politik.
Dilema Kebebasan Berpendapat Versus Ujaran Kebencian
Kebebasan berpendapat menurut Jimly Asshiddiqie merupakan salah satu roh dan pilar tegaknya sistem demokrasi. Kebebasan berpendapat merupakan prasyarat mutlak agar rakyat dapat memainkan peran terbaiknya dalam sistem demokrasi secara cerdas dan bertanggung jawab. Bahkan salah satu hak yang paling mendasar dalam kehidupan bernegara yang dijamin oleh Konstitusi. Jika tidak ada kebebasan, apapun alasan pengkebiriannya, maka tak akan ada demokrasi.
Faktanya pasca terbit Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dari periode 2008 sampai Juni 2018, data SAFEnet & tim riset Tirto.id menemukan sebanyak 16,95% pasal yang dipakai sebagai dasar pelaporan adalah pasal 28 UU ITE.
Disebutkan dalam pasal tersebut berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)."
Hal ini oleh sebagian masyarakat dianggap menimbulkan multi tafsir, karena selain dipandang sebagai upaya pengkebirian kebebasan berpendapat juga berpeluang menjadi pasal ‘karet’ untuk menjerat siapa saja yang tidak disukai untuk diberi hukuman dengan alasan telah melakukan ‘ujaran kebencian’ yang berujung ancaman bui sampai 6 tahun dan denda sampai 1 milyar.
Wajar saja bila Ahmad Dhani menilai hak kebebasan berpendapat di Indonesia sudah hilang apabila ia diputuskan bersalah dalam sidang kasus ujaran kebencian di PN Jakarta Selatan. Ia mengklaim dirinya tidak layak menerima hukuman dalam kasus ujaran kebencian dengan alasan negara menjamin kebebasan berpendapat. Tirto.id (19/12/2019)
Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitulu menilai, vonis yang dijatuhkan hakim kepada Ahmad Dhani menambah rentetan panjang korban dari pasal karet UU ITE.
Ali Lubis, salah satu kuasa hukum Dhani mengatakan bahwa twit dari Dhani tidak mengandung unsur ujaran kebencian, baik dari fakta, termasuk keterangan saksi bahkan ahli bahasa pihak jaksa penuntut. Menyatakan bahwa tidak ada unsur ujaran kebencian hanya pendapat pribadi.
Anehnya, terhadap persoalan ini Dhani tetap diseret dalam kasus ujaran kebencian yang bermula dari laporan Jack B. Lapian pada tahun 2017 silam. Ini membuktikan UU ITE cenderung diskriminatif dan hanya digunakan penguasa sebagai alat untuk membungkam lawan politiknya namun enggan dicap refresif.
Pasal karet pada UU ITE akan terus dijadikan alat untuk mengebiri siapapun yang keras mengkritik kebijakan pemerintah. Sehingga, tak heran jika kemudian suara Islam dan suara anti rezim akan terus diberedel.
Meski rezim terus mendengungkan bahwa dalam negeri demokrasi menjamin kebebasan, namun faktanya jika mengritik pemerintah atau beropini, disamakan dengan ujaran kebencian maka dianggap mengancam posisi rezim, dan langsung diberi tindakan hukum.
Kembali pada Islam
Dalam Islam penguasa atau wakil rakyat diberi amanah membuat UU dan peraturan sesuai dengan Alqur'an dan Sunnah yang dibuat untuk menerapkan syariah Allah SWT. Bukan membuat UU dan peraturan sesuai dengan kehendak dan hawa nafsu mereka, apalagi bertentangan dengan syariah Allah SWT.
Demokrasi hanya melahirkan kebebasan individu yakni bebas mengungkapkan berpendapat, artinya masyarakat diperbolehkan berbicara atau berpendapat sekehendak hati bahkan tanpa disertai ilmu juga membiarkan perdebatan dengan cara yang batil.
Sedangkan menurut Islam, dakwah itu mengajak kebaikan. Menasehati pemimpin dengan nasehat yang baik dan cara yang bijak adalah ibadah yang sangat mulia. Bahkan Rasulullah SAW bersabda :
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Mengkritik penguasa disini dalam rangka menyampaikan kebenaran dan mencegah kemungkaran, namun menurut UU ITE bisa dikatakan sebagai ujaran kebencian.
Hanya sistem politik dan kepemimpinan Islam saja yang tegak untuk mengurusi kepentingan umat, yakni dengan menegakkan hukum-hukum islam secara kaffah dan membuka ruang pada umat untumk mengawal pelaksanaannya melalui mekanisme muhassabah atau mengkritisi penguasa sesuai tuntunan hukum-hukum syara.