By : Messy (Member Penulis Ideologis)
Semenjak tahun 2014, Komnas Perempuan sudah meminta negara agar sigap merancang hukum mengenai penghapusan kekerasan seksual, memandang penambahan korban yang terus meningkat cepat.
Wakil ketua bidang program Kalyanamitra menjadi bagian dari anggota CEDAW Working Group Indonesia, Rena Herdiyania mengatakan bahwa ia mendapatkannya saran dari komite konvensi penghapusan semua jenis diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) PBB untuk merancang peraturan perundang-undangan yang menghapus kekerasan berbasis gender.
Kekerasan berbasis gender salah satunya adalah kekerasan seksual, “jadi, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan rekomendasi CEDAW tersebut”, ucap Rena. (tempo.co, 24/11/2018).
Selayang RUU ini terlihat sangat elok. Tapi, ada celah hampa yang seakan-akan terencana dibuat agar mudah disusupi oleh 'penyusuk ilegal'. Artinya, tidak aturan yang terikat mengenai kejahatan seksual yang keluar dari batas norma dan agama.
Demokrasi, Suburkan Kejahatan Seksual
Demokrasi lahir dari sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Dimana agama tidak boleh mengatur aktivitas manusia seperti politik, ekonomi dll. Agama dianggap hanya boleh perkara ibadah ritual saja. Sebab pemikiran ini melahirkan berbagai tindakan yang melanggar aturan norma dan agama. Salah satunya adalah kejahatan seksual terhadap perempuan.
RUU P-KS yang dianggap sebagai solusi. Hanya tinggal khayalan semata. Rupa RUU ini yang tampak elok. Padahal memiliki efek yang sangat buruk. RUU ini berpandangan bahwa perempuan memiliki hak vekto terhadap dirinya sendiri. Perempuan bebas dari belenggu kejahatan seksual. Bahkan perempuan harus diberikan ruang hukum untuk melindungi dirinya.
Apalagi pengertian kejahatan seksual menurut RUU ini memiliki makna yang banyak. Pengertian ini bermaksud bahwa setiap perbuatan terhadap tubuh secara memaksa dilihat sebagai kejahatan seksual. Misalnya, seorang suami yang memerintahkan istrinya untuk memenuhi keinginan seksualnya tapi istrinya tidak mau. Maka, perbuatan suaminya tersebut dinyatakan sebagai kejahatan seksual.
Atau ada ayah dan ibu yang mengajarkan pendidikan kepada buah hatinya dengan mewajibkan menutup aurat. Itu pun juga diqnggap sebagai bagian dari kejahatan seksual. Padahal, jika dilihat kedua sampel ini sesuai dengan kacamata Islam.
Artinya, RUU P-KS yang diklaim dapat mengantisipasi terjadi kejahatan seksual malah tidak berhasil. Selain itu, kehadiran RUU P-KS mengganggu eksistensi Islam. Sebab, membuat umat tidak bersahabat dengan agamanya sendiri. Tak salah, RUU yang lahir dan sistem sekuler yang berpandangan terhadap persamaan gender. Jelas menusuk syariat Islam. Oleh sebab itu, RUU ini harus segera dibasmi.
Kembali Pada Islam
Islam yang sejatinya berasal dari aturan Sang Pencipta memiliki aturan yang sempurna termasuk bagaimana mencegah kasus pelecahan seksual maupun kejahatan seksual. Bukan dengan RUU P-KS yang identik dengan liberalisasi.
Islam memiliki upaya preventif, antara lain:
1. Aturan berbusana sesuai syariat Islam ketika keluar rumah sesuai QS Al Ahzab : 59 dan An Nuur : 31.
2. Islam melarang segala sesuatu interaksi yang mengantarkan kepada zina seperti khalwat (berdua-duaan) dan iktilat (campur baur). Dan Islam memerintahkan kepada lelaki dan perempuan untuk menundukkan pandangan (QS An-Nuur : 30-31).
3. Mengatur hubungan suami dan istri. Dan relasi keduanya berlaku baik untuk menggapai ketaatan kepada Allah.
4. Penerapan sanksi hukum Islam. Islam memiliki hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan seksual.
Perempuan membutuhkan syariat Islam bukan RUU P-KS. Begitulah kemuliaan dan kehormatan perempuan sangat dijaga dalam Islam. Muncul kesadaran dari invidunya yang malu karena auratya terlihat, kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya, dan perlindungan yang tegas dari negara.
Hanya saja, semua itu akan terwujud tatkala aturan Islam sudah terterapkan secara sempurna dalam institusi khilafah sesuai manhaj kenabian. Insyaa Allah.