Oleh : Mala Hanafie
“Politik itu kalkulasi. Jadi orang politik bawanya kalkulator, bukan tasbih." ungkapan KH Hasyim Muzadi tokoh Nahdlatul Ulama kiranya pantas menggambarkan kondisi perpolitikan yang tengah terjadi saat ini. Sebuah video yang kini jadi perbincangan, KH Maimun Zubair Pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang yang salah ucap saat mendoakan salah satu kandidat capres Jokowi ketika menghadiri acara Sarang Berzikir untuk Indonesia Maju di Pondok Pesantren asuhan beliau.
Dalam rekaman tersebut terdengar KH Maimun menyebut nama capres lain, yaitu Prabowo ketika berdoa. Sontak saja massa ramai-ramai merespon isi video tersebut. Tidak tinggal diam, tim pemenangan Jokowi segera mengklarifikasi salah ucap tersebut dengan merekam video lainnya, yang berisi dukungan KH Maimun pada mereka. Masing-masing pendukung saling mengklaim bahwa doa Sang Kiyai ditujukan untuk pihaknya. "Pak Prabowo sudah sejak lama sejak perwira muda dia sudah bersilaturrahmi dengan beliau. Jadi dengan pak Jokowi baru kali ya periodesasinya, saya ga tahu persisnya tapi kuat dugaan pasca beliau jadi wali kota Solo," kata Miftah, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga.
Sementara Waketum DPP PPP Arwani Thomafi mengatakan, "Tentu merujuk Pak Jokowi. Beliau saat ini menjadi presiden di periode pertama. Kecuali doanya 'menjadi capres kedua kali', itu tentu ditujukan ke Pak Prabowo," (https://m.merdeka.com/politik/soal-doa-mbah-moen-kubu-prabowo-nilai-tim-jokowi-panik-karena-elektabilitas-rendah.html)
Ulama selalu memiliki daya pikat tersendiri dalam perhelatanan hajatan 5 tahunan, ulama ibarat magnet penarik simpati. Harus diakui bahwa masyarakat di negeri ini yang mayoritas adalah muslim sangat menghormati sosok ulamanya. Ulama adalah panutan bagi muslim yang didengar nasihatnya, ditiru tindakannya. Ulama jadi rule model dalam menempuh jalan kebaikan. Tidak mengherankan keadaan ini di mata tim pemenangan menjadi peluang untuk mendompleng suara. Memuluskan langkah merebut kuasa.
Ulama Pewaris Nabi
Tidak ada Nabi setelah wafatnya Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi terakhir, penutupnya para Nabi. Kepadanya diwahyukan Alquran, pedoman bagi umat Islam yang di dalamnya berisi syariat-syariat mulia. Setelah wafatnya Rasulullah tongkat estafet dakwah berada pada pundak generasi shalih sesudahnya, sosok pilihan yang memahami Islam, membenarkan sunnahnya, yang ikhlas menyebarkan ajarannya merekalah para ulama "warosatul anbiya"
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi)
Ulama adalah orang yang senantiasa menjaga diri sebab rasa takut kepada Allah, dalam ketundukannya mengesakan Allah. Sosok yang Allah tinggikan derajatnya sebab kepahamannya akan ilmu agama. Ulama panutan bagi umat, penuntun dalam menapaki jalan yang dicontohkan Rasulullah. Pembimbing dan pendamping umat agar senantiasa menjaga diri dalam koridor ketaatan kepada Allah. Bukan hanya didatangi atas dasar kepentingan atau malah dijadikan pendongkrak dalam meraih kekuasaan, menunganggi ulama untuk memperoleh kedudukan. Pewaris nabi yang disematkan kepada ulama karena keberadaan ulamalah syariat Islam terpelihara.
Ulama Pendamping Penguasa Menjemput Bisyarah
Tentulah kita teringat bagaimana kisah heroik penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Mehmed II atau dikenal dengan Muhammad Al Fatih. Sultan yang dalam usia muda berhasil mewujudkan bisyarah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah Syaikh Aaq Syamsuddin ulama yang membentuk karakter Muhammad Al Fatih sejak belia. Sultan muda yang diasuh atas ijin sang ayah, dibekali dengan dasar ilmu agama juga ilmu pengetahuan. Syaikh Aaq Syamsuddin dengan keilmuannya memotivasi Muhammad Al Fatih muda menjemput janji Allah yang dikabarkan dalam hadis Nabi.
"Sungguh, Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin (yang menaklukkan)nya dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya." (Hr. Ahmad dan Bukhari)
Hadis itulah yang selalu digaungkan Syaikh Aaq Syamsuddin dalam mendidik Sultan Muhammad Al Fatih, sehingga terpatri di dalam hati dan pikiran Sultan bahwa dirinyalah sosok yang telah dikabarkan Rasulullah. Hadits tersebut dia wujudkan saat Konstantinopel berhasil dimenangkan pada 1453 H.
Doa ulama bukan sembarang doa, skalanya tak terbatas urusan dunia. Ulama akhirat pun akan menjadi rambu-rambu bagi penguasa tentang tanggung jawabnya di hadapan Allah dan penguasa yang adil adalah penguasa yang mendatangi ulama sebab ke-wara-annya, karena keimanannya menyadarkan bahwa amanah kepemimpinannya takan terlepas dari pertanggungjawaban yang terekam dalam catatan amal perbuatan.
Syaikh Aaq Syamsuddin memang bukan ulama biasa dan Muhammad Al Fatih adalah Sultan yang istimewa. Ikatan ulama dan penguasa di antara keduanya mencatatkan sejarah gemilang, hubungan yang terjalin karena ketaatan keduanya kepada Allah dan keyakinan dalam menjemput hadits Rasulullah. Kisahnya pantas menjadi pelecut bagi penguasa hari ini juga para ulama akhir zaman. Bagaimana ulama tak cukup dijadikan simbol keberpihakan.
Menghormati ulama adalah akhlak yang harus ada didalam diri penguasa. Memuliakannya bukan sekedar menjadikan batu loncatan. Tugas ulama untuk memuhasabahi penguasa yang melanggar nilai-nilai Islam dan menasehati penguasa agar melaksanakan syariat secara kaffah.
"Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawub, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Wallahu'alam bishowab