SUARA KRITIS TAK BERUJUNG MANIS


Oleh Nanik Farida Priatmaja, S.Pd


Semenjak negeri ini memasuki era reformasi, banyak kalangan rakyat yang mulai lantang menyuarakan aspirasinya. Berbeda dari masa orde baru, tak ada yang berani bersuara lantang mengkritik jalannya roda pemerintahan. Hal ini karena pemerintahan masa Orba terkesan diktator yang tak memberi ruang kritis pada rakyat.


Era reformasi, seolah kebebasan bersuara telah terbuka lebar. Siapapun bebas menyampaikan aspirasinya. Ide liberalisme telah ditelan mentah-mentah oleh rakyat. Lengsernya rezim Orba telah menjadikan negeri ini membuka lembaran baru dengan orde reformasi yang membawa Indonesia menganut demokrasi liberal. Tabiat liberalisme mengagungkan kebebasan berperilaku, berpendapat, beragama, serta kepemilikan. Sangat wajar jika rakyat mulai terbiasa menuntut kebebasan berpendapat. Meskipun aspirasi rakyat tak selalu didengar oleh wakil rakyat. Namun dengan kebebasan bersuara rupanya telah menyihir rakyat bahwa mereka telah "merdeka" dari pembungkaman suara seperti saat Orba.


Kebebasan bersuara yang telah diagungkan dalam sistem buatan manusia tersebut ternyata tak banyak mengubah keadaan negeri ini menjadi lebih baik. Malah banyak yang merasa rindu suasana orba yang "ayem tenteram", yangmana rakyat tak pernah tahu problematika di negeri ini. Media hanyalah menyuguhkan pencitraan yang dilakukan pemerintah tanpa mengekspos kondisi rakyat yang sebenarnya.


Kini kebebasan bersuara telah menjadi hal biasa di negeri ini. Rakyat terbiasa melakukan kritik terhadap penguasa. Hal ini seharusnya mampu menjadikan penguasa lebih baik dalam menjalankan pemerintahan. Pasalnya adanya kritik seharusnya menjadikan lebih baik. Namun faktanya tidaklah demikian. Penguasa negeri ini merasa terancam ketika menerima kritikan dari rakyatnya. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kasus penangkapan para politisi, ulama ataupun rakyat biasa yang melakukan kritik terhadap pemerintah. Dengan berbagai dalih penangkapan mulai dari pencemaran nama baik hingga ujaran kebencian. Padahal bisa jadi, kritik tersebut dalam rangka menyampaikan aspirasinya terhadap kebijakan penguasa yang dirasa tidak pro rakyat. Munculnya kebijakan yang dinilai tidak pro rakyat, menjadikan bermunculan para kritikus yang merasa peduli terhadap keadaan negeri ini. Hal ini ternyata dianggap membahayakan penguasa karena tidak sejalan dengan kepentingan penguasa saat ini atau menurunkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap penguasa.


Pada Kamis (18/10/2018), suami Mulan Jameela, Ahmad Dhani telah resmi di tetapkan sebagai tersangka. Ahmad Dhani ditetapkan sebagai tersangka setelah diadukan atas kasus pencemaran nama baik. Kasus Ahmad Dhani yang akhirnya jadi tersangka ini berawal dari unggahan vlog 'idiot' yang beredar luas di media sosial.(Tribunnews.com, 20/10/18).


Sungguh aneh, negara yang mengaku menganut demokrasi namun tak mau menerima kritik. Hal ini karena ketidakkonsistenan pemerintah dalam menerapkan sistem buatan manusia tersebut. Sistem demokrasi memang cacat dari lahir. Kebebasan yang diagungkan ternyata tak sejalan dengan kesejahteraan yang bisa dinikmati. Rakyat hanya diberikan kebebasan bersuara semata tanpa diperhatikan kesejahteraannya. 


Kebebasan bersuara faktanya tak pernah terealisasi secara penuh. Hanya rakyat yang dekat dengan penguasa lah yang diberi ruang. Rakyat yang dinilai berseberangan dengan penguasa akan menjalani proses hukum tanpa mampu melakukan pembelaan. Penguasa bebas melakukan penangkapan terhadap siapapun yang dianggap tak sejalan dengan kepentingannya. Rakyatlah yang menjadi korban. 


Kebebasan berpendapat dalam sistem buatan manusia itu hanyalah alat pendongkrak pularitas penguasa semata. Suara rakyat yang sejalan dengan rezim tak pernah dinilai melakukan kesalahan meskipun berupa ujaran kebencian. Namun jika suara rakyat berseberangan dengan kebijakan rezim maka akan segera ditindak dengan berbagai tuduhan. Hal ini bukti bahwa demokrasi hanyalah alat memuluskan rezim mempertahankan kekuasaan.


Islam memiliki konsep yang jelas terkait memberikan kritik atau mengoreksi kebijakan penguasa. Melakukan ketaatan kepada penguasa meskipun penguasa berbuat dzalim dan merampas hak rakyat, bukan berarti harus mendiamkan. Tetapi mentaati penguasa hukumnya tetap wajib, sedangkan melakukan koreksi terhadap penguasa atas perilaku dan tindakan-tindakan yang dilakukan juga sama-sama wajib.


Allah SWT. telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk melakukan koreksi terhadap penguasa mereka. Sifat perintah kepada mereka agar merubah para penguasa tersebut bersifat tegas; apabila mereka merampas hak-hak rakyat, mengabaikan kewajiban-kewajiban rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, menyimpang dari hukum-hukum Islam, atau memerintah dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah.


Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Umi Salamah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Akan ada para pemimpin, lalu kalian akan mengetahui kema’ rufannya dan kemunkarannya, maka siapa saja yang membencinya dia akan bebas, dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka). Mereka bertanya: “Tidakkah kita akan memerangi mereka?” Beliau bersabda: “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam).”

Dalam riwayat lain:

“Maka, siapa saja yang membencinya, dia akan bebas. Dan siapa saja yang mengingkarinya, dia akan selamat. Tetapi, siapa saja yang rela dan mengikuti (akan celaka).”

Riwayat ini menjelaskan maksud riwayat di atas, bahwa Rasulullah saw. telah memerintah agar mengingkari seorang penguasa, bahkan wajib mengingkarinya dengan sarana apapun yang bisa ia pergunakan. Baik dengan tangan, tetapi dengan catatan tidak membunuh atau menggunakan pedang, ataupun dengan lisan, yaitu dengan ucapan, apapun ujudnya, maupun dengan hati, apabila tidak mampu menggunakan tangan dan lisan. Sehingga orang yang tidak mengingkarinya, dianggap ikut berdosa sama seperti penguasa tersebut. Karena beliau menyatakan: “Siapa yang rela dengan apa yang mereka lakukan, serta mengikutinya, maka dia tidak bebas dan tidak selamat dari dosa.

Dalil-dalil tentang perintah pada kema’rufan serta menolak kemunkaran itu merupakan dalil-dalil yang mewajibkan muhasabah terhadap penguasa. Karena, dalil-dalil itu bersifat umum yang mencakup penguasa maupun yang lain. Dimana Allah telah memerintahkan amar ma’ruf dan nahi munkar itu dengan perintah yang tegas. Allah SWT. berfirman:

“Hendaknya ada di antara kalian, sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan serta menyeru pada kema’rufan dan mencegah dari kemunkaran.” (Q.S. Ali Imran: 104)

“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dihadirkan untuk seluruh umat manusia; maka kalian (harus) menyeru pada kema’rufan dan menolak kemunkaran.”(Q.S. Ali Imran: 110)


“Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan kemunkaran dan melarang mereka dari yang munkar.” (Q.S. Al A’raf: 157)

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji Allah, yang melawat (untuk mencari ilmu dan sebagainya), yang ruku’ dan sujud yang menyeru berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.”(Q.S. At Taubah: 112)


Di dalam semua ayat tersebut,  Allah SWT. telah memerintahkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Dan Allah menyertai perintah itu dengan qarinah (indikasi) yang menunjukkan adanya suatu keharusan (jazman) yaitu pujian bagi orang yang melakukannya, dengan firman-Nya:

“Mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran: 104)

“Kalian adalah sebaik-baik umat.” (Q.S. Ali Imran: 110)

“Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (Q.S. At Taubah: 112)

Maka, indikasi tersebut merupakan sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu merupakan perintah yang bersifat tegas, dan itu berarti hukumnya fardlu. Sedangkan melakukan koreksi terhadap penguasa itu tidak lain hanyalah memerintahkannya berbuat ma’ruf dan mencegahnya berbuat munkar. Sehingga muhasabah itu hukumnya fardlu.

Banyak hadits yang menjelaskan perintah pada kema’rufan dan mencegah perbuatan munkar. Dari Hudzaifah Al Yaman, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Demi dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, hendaknya kalian benar-benar memerintahkan pada kema’rufan, serta mencegah dari perbuatan munkar, atau sampai Allah betul-betul akan memberikan siksa untuk kalian dari sisi-Nya, kemudian kalian dengan sungguh-sungguh berdo’a kepada-Nya, niscaya Dia tidak akan mengabulkan (do’a) kalian.”

Dari Abi Sa’id Al Khudri yang menyatakan: Rasulullah saw. bersabda:

“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman.”

Dari Adi Bin Umairah yang menyatakan: “Aku mendengarkan Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab orang-orang secara massal, karena perbuatan orang tertentu (di antara mereka), kecuali kalau mereka melihat kemunkaran di depan mata mereka, dimana mereka sanggup untuk menolaknya, lalu tidak menolaknya. Apabila mereka melakukannya, niscaya Allah akan mengadzab orang (yang melakukan) tadi beserta semua orang (yang ada) secara massal.”


Hadits-hadits ini menunjukkan hukum wajibnya melakukan muhasabah terhadap penguasa. Karena itu, hadits-hadits ini juga menunjukkan hukum wajibnya memerintah penguasa untuk melakukan kema’rufan serta mencegahnya dari perbuatan munkar. Jelas, bahwa maksudnya adalah mengoreksi tindakan-tindakan penguasa tersebut. Hanya saja, di sana banyak hadits yang menyatakan tentang penguasa secara khusus, yang berarti ta’kid (penguatan) bagi kewajiban melakukan muhasabah, sehingga melakukan koreksi terhadap seorang penguasa, serta memerintahnya agar berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar itu adalah sesuatu yang sangat penting. Dari Umu ‘Atiyah dari Abi Sa’id yang menyatakan: “Rasulullah saw. bersabda:

“Sebaik-baik jihad adalah (menyatakan) kata-kata yang haq di depan penguasa yang dlalim.”


Dari Abi Umamah yang menyatakan: “Ada seorang laki-laki, pada saat melakukan jumrah ula (melempar batu kerikil yang pertama), bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, jihad apa yang paling baik?” Beliau diam. Maka ketika melakukan jumrah tsaniyah(melempar batu yang kedua), dia bertanya lagi, dan beliau pun diam. Dan ketika melakukan jumrah aqabah(melempar batu yang terakhir), lalu beliau memasukkan kaki beliau ke pelana kuda untuk menaikinya, beliau bertanya: “Mana orang yang tanya tadi?” Dia menjawab: “Aku (di sini) wahai Rasulullah.” Beliau menjawab: “(sebaik-baik jihad adalah) kata-kata haq yang disampaikan di depan penguasa yang dlalim.”

Ini merupakan nash yang ditujukan kepada seorang penguasa, serta kewajiban untuk menyampaikan kata-kata yang haq kepadanya, atau mengoreksinya. Maka perjuangan untuk menentang para penguasa yang merampas hak-hak rakyat, atau mengabaikan kewajiban-kewajiban mereka kepada rakyat, atau melalaikan salah satu urusan mereka itu hukumnya fardlu. Karena Allah SWT telah memfardlukannya, bahkan menganggapnya seperti jihad, malah sebaik-baik jihad. Hingga seakan-akan beliau bersabda: Sebaik-baik jihad di sisi Allah adalah perjuangan menentang penguasa yang dlalim. Dalil ini saja sebenarnya cukup untuk membuktikan, bahwa mengoreksi para penguasa hukumnya hukumnya wajib.


Sangat berbeda antara sistem demokrasi dengan sistem Islam dalam hal mengoreksi penguasa. Dalam sistem demokrasi, kebebasan berpendapat hanyalah slogan semata yang bisa dimanfaatkan oleh pihak penguasa dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Sehingga suara kritis tak berujung manis.







Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak