Oleh: Fina Restiar
(Aktivis BMI Community Bau Bau)
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dikritik habis-habisan oleh media ekonomi dari Inggris, The Economist. Kritik tersebut menekankan pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan mengedepankan geliat investasi menarik investor. (Detik.com, Jakarta)
Dikutip dari CNBC Indonesia, The Economist menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mampu membantu laju pertumbuhan ekonomi suatu negara, ialah investasi. Investasi sendiri merupakan hal yang masih diupayakan pemerintah, apalagi melihat potensi pertumbuhan ekonomi yang besar.
"Ketika Jokowi menjabat, Bank Dunia menghitung bahwa tingkat pertumbuhan potensial Indonesia adalah 5,5%. Cara terbaik untuk meningkatkan jumlah itu adalah dengan menghidupkan kembali sektor manufaktur, meniru negara-negara Asia lainnya dengan menjadi bagian dari rantai pasokan global," demikian isi artikel The Economist, Kamis (25/1/2019)
Namun, hingga kini justru para investor masih ragu untuk menggelontorkan hartanya ke Indonesia. Keraguan itu bukan tanpa alasan, ada beberapa alasan yang diungkap, dan menyentil pemerintah untuk segera mengevaluasi dan berkaca diri, tentunya untuk menjadi lebih baik.
Alasan pertama menurut The Economist adalah saat ini merupakan tahun politik, yang membuat para investor masih menahan untuk berinvestasi sembari menunggu siapa presiden terpilih dan apa kebijakan ekonominya.
Lalu, kalaupun Jokowi kembali terpilih, The Economist menegaskan bahwa banyak pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan dalam sektor ekonomi. Bahkan, dalam artikel disebutkan bahwa justru kerentanan terbesar pemerintahan Jokowi adalah perekonomian.
"Kerentanan terbesar Jokowi adalah ekonomi, di mana pengembalian belum sesuai dengan janjinya. Selama kampanye 2014, Jokowi berjanji untuk memberikan pertumbuhan PDB sebesar 7% per tahun pada akhir masa jabatan pertamanya. Realisasinya sekitar 5% sejak ia menjabat."
Prospek untuk 2019 terlihat tidak lebih baik, terutama karena bank sentral telah menaikkan suku bunga enam kali dalam sembilan bulan terakhir untuk menahan penurunan yang mengkhawatirkan dalam mata uang."
Kedua, infrastruktur yang mendukung untuk menarik investasi, pembangunan infrastruktur sudah menjadi kunci. Memang, beberapa tahun masa jabatannya, Jokowi bisa menyelesaikan pembangunan yang tertunda bertahun lamanya, dan membangun apa yang belum ada.
Namun, dalam anggaran tahun lalu The Economist menilai, Jokowi telah "berubah arah". Fokusnya kini telah terbagi dengan anggaran pembelanjaan subsidi, sehingga membuat anggaran belanja modal untuk infrastruktur justru menurun.
Alasan ketiga, berkaitan dengan regulasi pemerintah yang terkesan "maju-mundur". Jokowi dalam mengeluarkan peraturan terkesan plin-plan.
Memang selama ini, pemerintah telah menawarkan sejumlah insentif dan menjanjikan kemudahan dari sisi perizinan, namun The Economist menyebut program itu "setengah hati". Ketegasan pemerintah sangat diperlukan agar regulasi yang diterbitkan menjadi optimal manfaatnya.
"Untuk merayu investor, pemerintah telah mengurangi batasan kepemilikan asing, tetapi hanya dengan setengah hati. Setiap kali peraturan dilonggarkan, kaum nasionalis melolong, jadi pembatasan tetap keras, membuat para investor kecil hati."
Alasan berikutnya berkaitan dengan ketenagakerjaan di Indonesia. The Economist menilai bahwa tenaga kerja Indonesia masih belum terampil, bahkan mereka pun menuntut upah yang tinggi.
Upah tenaga kerja Indonesia mencapai 45% lebih tinggi dari tenaga kerja Vietnam. Padahal Vietnam selama ini disebut-sebut menjadi saingan terberat Indonesia dalam menarik hati investor, khususnya dari negeri China yang hingga kini terseok-seok karena perang dagang.
"Sayangnya, tenaga kerja Indonesia tidak memiliki kualifikasi yang baik atau harga yang seharusnya. Para pemimpin bisnis mengeluh tentang kurangnya pekerja terampil. Standar pendidikan rendah, meskipun ada hukum yang memaksa pemerintah membelanjakan seperlima dari anggarannya untuk sekolah."
The Economist mengingatkan agar pemerintah lebih serius dalam melihat potensi ekonomi yang dimiliki Indonesia. Baik dari sumber daya alam, maupun bonus demografinya, sehingga dalam menentukan regulasi pun bisa tepat objek dan sasaran.
Apalagi jika Jokowi yang kembali terpilih sebagai Presiden indonesia periode 2019-2024. Pekerjaan rumah yang menumpuk menanti Jokowi.
"Jika upaya pemerintah dalam keterbukaan ekonomi lemah, pertumbuhan 7% akan tetap di luar jangkauan. Jika pada April Jokowi kembali memenangkan pemilihan, dia memiliki mandat untuk melakukan perubahan besar yang dibutuhkan Indonesia," tulis The Economist.
- Buah dari Sistem Bobrok -
Analisis yang dilontarkan oleh The Ekonomics setidaknya telah menjelaskan betapa sistem yang diterapkan di negeri ini tidak mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Buktinya, setiap hari dilayar kaca maupun media massa dan elektronik, kita selalu disuguhkan dengan berita-berita yag tak kunjung ditemukan ujungnya. Sebut saja seperti tingginya angka kriminalitas, membengkaknya jumlah pengangguran, ataupun angka kemiskinan yang kian hari kian melonjak tinggi, dan sederet kasus yang serupa meski tak sama lainnya.
Benar saja. Di bawah payung kekuasaan sistem jahiliyah bernama Demokerasi Kapitalisme, pengaturan sistem ekonomi yang diterapkan pun jelas hanya untuk mensejahterakan segelintir pihak yang bermodal tinggi, yang notabene rata-rata berasal dari luar negeri. Dalam sistem ini, orang kaya akan semakin kaya, dan yang miskin akan semakin tercekik.
Tidak hanya itu, dengan menganut paham Neoliberal, sistem bobrok (yang tinggal menunggu ajalnya) ini telah berhasil menghilangkan campur tangan pemerintah dan peran negara dalam pelayanan sosial, seperti pendidikan dan kesehatan.
Disisi lain, sistem ekonomi kapitalisme neoliberalisme hanya membawa kerusakan di muka bumi dan kesengsaraan bagi penduduk bumi. Bagaimana tidak, berbagai kebijakan-kebijakan dzolim dikerahkan. Mulai dari pencabutan subsidi, krisis moneter dan finansial, kebiasaan 'gemar' berhutang, sampai pada liberalisasi BUMN dan berbagai kebijakan-kebijakan pro asing dan aseng lainnya.
Benar saja. Segala bentuk kecarutmarutan di negeri ini adalah buah dari pada penerapan sistem busuk dan bobrok bernama Kapitalisme, beserta turunannya seperti imperialisme dan neoliberalisme yang sejatinya mendapat 'lampu hijau' dari penguasa negeri ini.
Dengan dalih 'investasi', perlahan namun pasti sejengkal demi sejengkal tanah ibu pertiwi mulai di kuasai oleh para kapitalis.
- Bagaimana Sistem Ekonomi dalam Islam? -
" Pada hari ini, telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhoi Islam sebagai agamamu" (TQS. Al-Maidah : 3)
Sebagai agama yang sempurna, tentulah Islam juga mengatur bagaimana sistem ekonomi yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh sang pemilik jagad raya ini dan telah dicontohkan oleh kekasihNya, Rasulullah SAW.
Tinta emas sejarah telah mencatat, bahwa dulu pernah ada sebuah peradaban luar biasa yang luasnya menyeberangi samudera dan pengaruhnya melintasi benua. Sebuah peradaban yang tak kurang dari 1.200 tahun lamanya menguasai 2/3 belahan dunia. Adalah Daulah Khilafah Islamiyyah namanya. Yang dengannya seluruh isi kandungan Al-Quran akan diterapkan secara kaffah (sempurna).
Begitupun dengan sistem ekonominya. Dalam sistem ekonomi Islam, kekayaan didistribusikan kepada seluruh umat manusia, sehingga tercipta keadilan yang merata. Selain itu, sistem ekonomi Islam juga melarang keras transaksi ribawi, pasar modal dan non real (barang, penjual pembeli dan akad saling tidak jelas), serta penggunaan mata uang yang tidak distandarkan pada emas dan perak.
Sistem ekonomi Islam akan mampu membangun kemandirian negara, sekaligus menjamin berkembangnya industri-industri dalam negeri serta sektor ekonomi lainnya. Di dalamnya diatur kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Sehingga jrlas, kepemilikkan individu tidak boleh di miliki oleh umum apalagi negara. Kewajiban negara adalah memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyatnya, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan.
Sekali lagi, tinta emas sejarah telah mencatat kegemilangan negara Islam dalam bidang ekonomi yang terbukti telah mampu mensejahterakan rakyat dan membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan, serta adanya distribusi kekayaan yang baik ditengah-tengah ummat.
Selama 1.200 tahun lamanya Islam berjaya, tidak pernah ada sejarah krisis moneter ataupun finansial terjadi dalam Daulah (baca : Negara). Sampai-sampai, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tidak ada seorangpun yang berhak menerima zakat karena seluruh warga sudah berkecukupan dan hidup sejahtera.
Sungguh, hanya Islam satu-satunya aturan yang dapat menyelamatkan negeri ini dari kehancuran. Dengan betul-betul menerapkan syariatNya yang agung, negeri yang kita cintai ini akan dipenuhi dengan keberkahan dari langit.
" Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan melipahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat kami itu). Karena itu kami menyiksa mereka karena perbuatan mereka itu" (TQS. Al-A'raf : 96).
Wallahu A'lam Bisawwab..