Ernawati Sam, S.Pd
Pemerhati Masyarakat
Di awal tahun ini terjadi pro dan kontra perihal penggodokan RUU P-KS(RUU Penghapusan Kekerasan Seksual(https://regional.kompas.com). Draf RUU ini dipelopori oleh Komnas Perempuan sejak 2016. Sedang di tahun 2018, RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas.
Draf RUU yang diserahkan Komnas Perempuan kepada DPR telah memasukkan berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk secara verbal. Kampanye tersebut digalakkan karena maraknya pemberitaan terkait perkosaan, pencabulan, dan penyiksaan bernuansa seksual yang kadang berujung pada pembunuhan terhadap korban.
Pada catatan tahunan 2017 Komnas Perempuan, tercatat 348.446 kasus kekerasan yang dilaporkan selama tahun 2017. Angka tersebut naik 74 persen dari tahun 2016 sebanyak 259.150. Sementara data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), periode 2011-2016, angka kekerasan terhadap anak untuk kategori pornografi dan cyber crime sebanyak 1.593 kasus.
Sementara untuk trafficking dan eksploitasi berjumlah 1.254 kasus. RUU P-KS muncul didasari tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia (www.komnasperempuan.go.id).
Kekerasan seksual tak hanya marak di Indonesia, namun menjadi masalah dunia. Data dari PBB menyebutkan 35 persen perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan secara fisik dan seksual.
120 juta perempuan di dunia pernah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dan tindakan seksual lainnya. (serambinews.com). Namun, adanya tindak kekerasan seksual ini tidak bisa menjerat pelaku kekerasan seksual karena tidak ada payung hukum yang memadai.
Hal ini dikarenakan payung hukum yang saat ini ada hanyalah berupa KUHP yang pastinya kekuatan hukumnya dibawah UU. Maka mereka menganggap bahwa pengesahan RUU P-KS menjadi UU menjadi perihal yang mendesak untuk dilakukan, terlebih di tahun politik dimana akan ada pergantian anggota DPR yang baru.
Para pengusung RUU ini juga merasa khawatir bila RUU P-KS ini tidak segera disahkan tahun ini, maka usaha mereka akan sia-sia dan terancam memulainya kembali dari nol.
Hal tersebut dikarenakan RUU ini harus menunggu antrian prolegnas 2019-2024 mendatang. Maka tak heran bila sejumlah aktivis perempuan menuntut agar RUU ini bisa disahkan sebelum pemilu dimulai.
Anti Virus Pembawa Virus
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi memang sangat memprihatikan. Sehingga wajar saja bila kemudian untuk menghentikan kasus-kasus seperti ini dirancanglah RUU P-KS sebagai anti virus.
Akan tetapi, bila diteliti secara seksama dengan kaca mata politik Islam, maka akan didapati adanya virus di dalam anti virus (RUU P-KS, red) yang sedang dirancang ini. Adanya muatan barat yang mendewakan sekulerisasi dan liberalisasi turut mendominasi materi RUU ini.
Di balik RUU P-KS juga harus diwaspadai bersama adanya upaya kaum feminis (mazhab liberal) untuk menjadikan RUU ini sebagai alat untuk mengkampanyekan ideologi mereka sesuai dengan arahan PBB.
Jika RUU ini sah menjadi UU akan sangat dikhawatirkan masyarakat menjadi kian liberal dalam berinteraksi, lebih-lebih dalam pelegalan liberalisme seks itu sendiri.
Dalam RUU P-KS ada sembilan bentuk kekerasan seksual dari lima belas bentuk yang diafirmasi oleh Komnas Perempuan, yang meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Hal tersebut tertuang dalam Bab V pasal 11 RUU P-KS. Sekilas pasal ini tidak bermasalah, sehingga kebanyakan orang akan menyetujuinya, terlebih jika dibumbui dengan dalih “demi melindungi perempuan”. Padahal sejatinya, terdapat kesalahan mendasar terkait RUU P-KS ini, yakni mengenai definisi “kekerasan seksual”.
RUU ini menggunakan frasa “kekerasan seksual” yang terfokus pada makna “secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam kondisi bebas”.
Makna ini memberi kesan bahwa sebuah perbuatan seksual yang dilakukan “tanpa paksaan, dikehendaki oleh satu sama lain sekalipun relasinya tidak setara dan seseorang yang secara bebas memberikan persetujuaannya,” tidak akan dikategorikan sebagai perbuatan yang patut dipidanakan. Di sinilah peran norma dan agama terutama Islam dinafikan.
Sebagai contoh, aborsi yang dilakukan tanpa paksaan, tidak bisa dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual. Begitupun dengan perzinahan, hubungan sesama jenis (LGBT), tindakan pelacuran, perselingkuhan dan nudity yang dilakukan atas kemauan sendiri tidak dapat dihukumi dengan RUU ini.
Semua ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama yang ada. Akibatnya liberalisasi seksual hanya akan semakin menjadi-jadi dan perilaku LGBT yang semula dilarang akan menjadi legal dengan disahkannya RUU ini.
Di samping adanya virus di dalam Bab V pasal 11, juga terdapat virus lainnya di dalam Bab IV pasal 6 ayat 1 huruf a, yang isinya memasukkan materi Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bahan ajar dalam kurikulum, non kurikulum, dan/atau ekstrakurikuler pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi.
Setidaknya, ada dua hal yang perlu dikritisi terkait pasal ini jika diimplementasikan kelak. Pertama, tentang metode ajar; alih-alih mengajarkan tentang edukasi seks, malah justru memberikan panduan kepada anak-anak untuk berprilaku seks bebas.
Kedua, tentang studi empiris kasus pelecehan ataupun perilaku seks bebas yang selama ini sudah liberal dengan dilegalkannya alat kontrasepsi (kondom) berlabel “safe sex”. Sehingga dengan adanya pendidikan seks bernuansa liberal, hanya akan semakin menambah daftar panjang kejahatan seksual.
Selain pasal-pasal yang bervirus di atas, RUU P-KS ini juga dianggap melakukan pendiskriminasian gender. Sebab, penyusunan naskah akademik RUU P-KS tidak menjadikan kasus kekerasan seksual terhadap anak laki-laki sebagai dasar.
Padahal menurut hasil survei 2016 anak laki-laki itu angka kekerasannya lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki 28% sedangkan perempuan 20%. Fenomena ini membuat banyak orang tua lebih takut mempunyai anak laki-laki.
Dan yang tak kalah pentingnya, RUU P-KS ini juga membawa virus yang dapat merusak hubungan keluarga. Apabila RUU P-KS ini disahkan, maka seorang istri bisa saja melaporkan suaminya ketika dia merasa dipaksa melakukan hubungan suami-istri.
Dan hal ini diakomodir di dalam RUU P-KS dalam pasal 19 mengenai perbudakan seksual. Pun begitu, seorang anak bisa menuntut ibunya ketika ia tidak terima diminta untuk menutup aurat.
Anti Virus Hakiki terhadap Kekerasan Seksual
Solusi terhadap kekerasan seksual tidak bisa hanya diakhiri dengan RUU P-KS, karena nyatanya RUU ini justru akan menyebabkan legalnya dosa yang lebih besar lagi.
Problema kekerasan seksual juga tak bisa dientaskan dengan mengganti RUU P-KS dengan RUU Penghapusan Kejahataan Seksual atau RUU Penghapusan Kejahatan Kesusilaan. Sebab, jika tatanan kehidupan masih tetaap sekuler-liberal, maka kejahatan seksual pun akan terus berkembang di masyarakat.
Maka satu-satunya solusi yang harus diambil adalah dengan kembali menerapkan syari’at Allah SWT, baik dalam lingkup individu, keluarga, masyarakat, maupun negara.
Adapun dalam lingkup individu, maka adanya ketaqwaan individu dengan akidah yang benar akan dapat menghantarkan seseorang untuk senantiasa terikat dengan hukum syara’.
Dorongan akidah inilah yang mampu menjadikan seseorang untuk melaksanakan perintah Allah dalam hal pergaulan, seperti perintah menundukkan pandangan, menutup aurat, larangan tabarruj bagi perempuan, menerima syari’at poligami, menjadi istri yang patuh kepada suami dsb.
Dalam lingkup keluarga, syari’at Islam mengatur mengenai aurat wanita dan laki-laki di dalam rumah, mengatur pemisahan tempat tidur bagi anak sejak usia 7 tahun, mengatur kewajiban seorang ayah untuk menjaga istri dan anak-anaknya agar mereka mau menutup aurat secara sempurna, mengatur kewajiban laki-laki untuk bekerja dan ibu sebagai al-umm wa robatul bait.
Potret keluarga yang seperti inilah yang dapat menjadi benteng penjagaan dari kekerasan seksual.
Namun demikian, penjagaan keluarga saja tentunya tidaklah cukup bila tidak didukung oleh masyarakat yang Islami, yang memiliki corak yang khas dalam hal pemikiran, perasaan dan aturannya.
Jika saat ini corak masyarakat sekuler-liberal hanya dapat menimbulkan berbagai problematika dan kerusakan, maka sudah sepatutnyalah corak ini diganti corak masyarakat Islami yang akan mengontrol kemaksiatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakt.
Tidak seperti masyarakat sekuler yang menyerahkan permasalahan kepada HAM, sehingga mereka menjadi apatis dengan kondisi kemaksiatan yang terjadi di sekitar mereka, termasuk kekerasan seksual.
Penjagaan yang tuntas adalah dengan diterapkannya syari’at Islam oleh negara, karena negara lah yang berhak membuat hukum dan menerapkan sanksi di tengah-tengah masyarakat.
Seperti adanya larangan untuk berkhalwat dan ikhtilat, aturan untuk menutup aurat di ranah publik, adanya sanksi berupa rajam bagi pelaku zina yang telah menikah dan jilid bagi yang belum menikah, dan adanya sanksi bagi pelaku seks menyimpang seperti LGBT, inses, maupun berhubungan seks dengan hewan.
Negara juga akan menjamin informasi bersih dari pornografi dan pornoaksi. Inilah antivirus hakiki terhadap kekerasan seksual. Maka sampai kapan lagi kita mau hidup dan diatur dengan hukum kufur yang telah nyata kerusakannya?.
Marilah bersegera kembali pada penerapan syari’at Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah ‘ala minhajinnubuwah.
WalLahu’alam bi ash-shawab