Oleh: Nurhayati (Aktivis BMI Community Baubau)
Beberapa waktu terakhir, UU ITE menjadi perbincangan publik setelah Ahmad Dhani dijebloskan ke penjara setelah majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta selatan menjatuhkan vonis hukuman penjara selama satu tahun enam bulan kepada terdakwa ahmad Dhani. Kasus ini bermula saat Dhani berkicau melalui akun Twitter @AHMADDHANIPRAST yang nadanya dianggap menghasut dan penuh kebencian terhadap pendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Pendiri Republik Cinta Managemen, Ahmad Dhani Prasetyo menilai hak kebebasan berpendapat di Indonesia sudah hilang apabila ia diputuskan bersalah dalam sidang kasus ujaran kebencian di PN Jakarta Selatan. “Kalau saya sampai dihukum, berarti tidak ada lagi kebebasan berpendapat, tidak ada perlindungan untuk berpendapat. Benar presiden kita, banyak politisi sontoloyo," kata Dhani di PN Jakarta Selatan, pada Senin (19/11/2018). (tirto.id)
Sebelumnya dengan kasus yang sama, Jonru Ginting ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan oleh penyidik Ditkrimsus Polda Metro jaya pada Jumat, 29 September 2017. Jonru dilaporkan oleh Muannas Alaidid atas tuduhan ujaran kebencian karena menulis status di facebook yang dinilai mengandung pelanggaran unsur, suku, agama, ras dan antargolongan.
Penilaian terhadap hukum atas ujaran kebencian pernah disampaikan oleh Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno dalam CNN Indonesia (7/8/2017) terkait penangkapan Sri Rahayu (32) karena diduga menyebarkan berbagai konten yang menghina Presiden Joko Widodo, lambang negara, sejumlah partai politik, serta organisasi kemasyarakatan. "Tersangka mendistribusikan puluhan foto-foto dan tulisan dengan konten penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo, beberapa partai, organisasi kemasyarakatan dan kelompok dan konten hoax lainnya," tutur Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri Brigadir Jenderal Fadil Imran, Minggu (6/8). Adi Prayitno mengatakan, penangkapan terhadap orang-orang yang menghina Jokowi itu bisa disebut sebagai simtom atau gejala pemerintahan Jokowi menuju pemerintahan yang anti-kritik. Walaupun demikian, menurut Adi, justru keliru ketika pemerintah menanggapi kritik dan pendapat masyarakat dengan langkah yang cenderung represif tanpa ada klarifikasi dari pihak yang bersangkutan. Dia menegaskan masih banyak kalangan yang tidak memahami UU ITE beserta ancaman hukuman yang bakal menjeratnya.
Bersamaan penilaian akan tudingan pemerintah sebagai rezim reprensif bukan tanpa bukti. Nyaris banyak oposisi yang dijebloskan ke penjara hanya karena mereka lugas menyampaikan kritik. Sementara banyak kawan sekubu yang lolos dari jerat hukum padahal jelas melanggar hukum. Hal ini ditinjau dari penerapan UU ITE itu sendiri yang awalnya untuk melindungi kepentingan publik, negara dan swasta dari kejahatan siber (cyber Crime), akan tetapi banyak disalah gunakan oleh pihak tertentu untuk mengkriminalisasikan masyarakat yang memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, menyampaikan pendapat dan kritik terhadap pemerintah maupun pihak swasta. Karena penetapannya yang sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan pihak lain. Penyalahgunaan ini bisa dilihat saat penanganan ketika ujaran kebencian dilakukan oleh tokoh dekat dan pro rezim. Misalnya Kasus Victor Laiskodat dari Partai Nasdem yang telah memprovokasi rakyat untuk saling bunuh " jika ketemu kelompok ekstrim maka bunuh dulu, sebelum dibunuh" (Compas. Com 4/8/2017).
Penerapan UU ITE sepertinya menjadi alat membungkam kritik. Dalam laman Harianjogja.com (5/2/2019), Menurut Dahnil Azhar Simanjuntak, sebanyak 35% pelapor UU ITE merupakan pejabat negara. Dari temuan itu, memperlihatkan kalau UU ITE menjadi alat untuk pejabat negara membungkam kritik masyarakat. Keadaan seperti ini, menurutnya menjadi contoh apabila pejabat-pejabat pemerintahan saat ini sangat anti menerima kritikan.
Sikap anti kritik dan reprensif menunjukkan bahwa politik dalam demokrasi memang semata ditujukan untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan, bukan untuk kepentingan rakyat. Sehingga UUD 1945 pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, sudah tak bisa lagi menjadi pegangan atas Hak Asasi Manusia dalam bermasyarakat. Konsep demokrasi buatan manusia yang lemah justru sebenarnya sangat mudah digunakan untuk membunuh suara rakyat dan membuat keadilan hanyalah angan. Jadi jangan harap bahwa pemerintahan demokrasi akan mampu melayani dan mengurusi rakyat.
Hanya dengan Islam Keadilan dapat ditegakkan
Dalam aturan Islam dan teladan Rasulullah SAW serta para sahabat Nabi, penguasa adalah pengurus sekaligus pemimpin rakyatnya yang membutuhkan nasehat agar terhindar dari perbuatan tidak adil serta dzalim. Bahkan seorang khalifah sekelas Umar bin Khattab yang sangat takut jika seekor keledai terperosok kakinya di jalan dalam negeri yang dipimpinnya pun berseru, “Wahai sekalian manusia! Barang siapa di antara kalian ada yang melihat aku melakukan suatu tindakan yang kalian anggap “bengkok”, hendaklah dia cepat meluruskan tindakanku”. Dan juga dalam sebuah hadits tentang amar ma’ruf nahi munkar kepada pengusa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Madja bahwa Rasulullah bersabda : “Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) kepada penguasa yang zalim”. Maka sudah jelas bahwa hanya Islam yang mampu melayani dan mengurusi rakyat. Hanya sistem politik dan kepemimpinan islam yang benar-benar tegak untuk mengurus kepentingan umat, yakni dengan meneggakkan hukum-hukum islam secara kaffah dan membuka ruang pada umat untuk mengawal pelaksanaannya melalui mekanisme muhassabah/ mengkritisi penguasa sesuai tuntunan hukum-hukum syara.
Wallahu A’lam Bissawab..