By : Siti sulistiyani
Pemenjaraan para aktivis dalam kekuasaan saat ini suatu hal yang lazim terjadi. Baru saja Ahmad Dani di penjarakan atas tuduhan ujaran kebencian. Sebelumnya pun banyak yang diperkarakan atas tuduhan ujaran kebencian. Namun jika kita cermati pengadilan dan pemenjaraan hanya nampak tajam untuk orang orang yang bersebrangan dengan penguasa. Dan tidak sebaliknya. Nyaris banyak oposisi yang dijebloskan ke penjara hanya karena mereka lugas menyampaikan kritik.
Sementara banyak kawan sekubu yang lolos dari jerat hukum. Padahal jelas melanggar hukum. Contoh viktor leiskodat, dan lain lain. Demokrasi yang katanya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat ternyata hanya sebuah ilusi. Ketika dikatakan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk ternyata hanya sekedar angan. Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa kekuasaan itu ada hanya untuk melanggengkan kekuasaan. Ketika umat merasakan ketidakadilan dan menyampaikan apa yang dirasakan maka dianggap orang yang tidak medukung kekuasaan. Dan main bungkam itu yang dilakukan. Saat kedzaliman dirasakan kemudian menyampaikan kedzaliman tersebut maka kekuasaan dimainkan untuk menyingkirkan. Maka kita dapat menyaksikan bagaimana demokrasi dimainkan sesuai dengan keinginan penguasa dan kelompoknya.
Padahal kritis itu sangat diperlukan dalam relasi publik agar dipahami apakah kebijakan kebijakan yang dijalankan sudah baik dan dirasakan dampaknya secara positif ataukah belum. Namun saat kekuasaan hanya untuk mengekaiskan kekuasaan maka tipu daya yang terus dilalukan agar dilihat kekuasaan itu baik. Media media yang kritis terhadap berbagai kebijakan dibungkam. Hingga yang ada hanya media media yang pro dengan kekuasaan. Inikah yang dinamakan suara rakyat suara tuhan? Slogan slogan kebebasan menjadi sesuatu yang sifatnya tarik ulur sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Jadi sebenarnya apa yang ditawarkan demokrasi ini hanya ilusi. Hanya jargon jargon untuk meraih lekuasaan. Setelah berkuasa maka rakyat ditinggalkan.
Jadi jangan harap kepentingan umat ini terurusi dengan baik jika masih berharap pada demokrasi. Pesta demokrasi lima tahunan menjadi ajang umbar janji dan sekaligus menutup mata atas janji lalu hanya membius umat dengan harapan harapan baru yang faktanya tidak pernah terealisasi. Umat hanya dijadikan sarana untuk meraih kekuasaan. Selanjutnya umat dilupakan. Ketika dalam demokrasi yang memberikan wewenang manusia untuk membuat aturan maka berbagai aturan perundang undangan hanya untuk nafsu syahwati atas kekuasaan. Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi telah masyhur didengar meski anggapan ini sesungguhnya tidak benar. Anggapan itu muncul karena kafir penjajah sukses menyembunyikan kebusukan demokrasi. Demokrasi dijadikan oleh kafir Barat sebagai salah satu penjajahan atas negeri-negeri kaum Muslim, selain itu juga digunakan untuk memalingkan Islam dari umatnya. Memang dalam demokrasi suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam setiap bidang permasalahan.
Adapun dalam syura kriteria pendapat yang diambil bergantung pada permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya ada tiga. Pertama: dalam penentuan hukum syariah (at-tasyri’). Kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash al-Quran dan as-Sunnah. Sebab yang menjadi Pembuat hukum (Musyarri’) hanyalah Allah SWT. bukan umat atau rakyat. Sebagai contoh, tidak perlu meminta pendapat kepada umat apakah khamr haram atau tidak walaupun di situ ada kemanfaatan dan pendapatan sebagaimana dalam sistem kapitalis-sekular. Jelas, Islam mengharamkannya.
Kedua: dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Dalam hal ini, yang dijadikan kriteria adalah ketepatan dan kebenarannya, bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi, masalah yang ada harus dikembalikan pada para ahli yang berkompeten. Merekalah yang memahami permasalahan yang ada secara tepat. Masalah kemiliteran, misalnya, dikembalikan kepada pakar militer. Masalah fikih dikembalikan kepada para fukaha dan mujtahid. Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah saw. mengikuti pendapat Hubab bin Al-Mundzir pada Perang Badar—yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis—yang mengusulkan kepada Nabi saw agar meninggalkan tempat yang dipilih beliau sekiranya tempat itu bukan dari wahyu (Sirah Ibnu Hisyam, II/272).
Ketiga: masalah yang langsung menuju pada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam. Dalam hal ini, yang menjadi patokan adalah suara mayoritas karena mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya degan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Sebagai contoh, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi), apakah kita akan keluar kota atau tidak. Masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang. Mereka dapat memberikan pendapatnya. Dalil untuk ketentuan ini ketika ada dua pendapat dari para sahabat dalam Perang Uhud. Nabi saw mengikuti pendapat sahabat muda yang menyarankan untuk keluar dari Kota Madinah dan mengabaikan pendapat sahabat senior yang meminta tetap di Kota Madinah. Dengan demikian, jelas bahwa syura berbeda dengan demokrasi. Sehingga ada perbedaan yang jelas konsep berpendapat dalam demokrasi dengan Islam.
Sehingga berpendapat didalam Islam mempunyai standar yang jelas. Sebuah pendapat bukan untuk memakzulkan namun untuk menjaga agar sesuai dengan syariat. Seorang Pemimpin yang menerima kritikpun akan memahami sebagai sesuatu yang positif. Dan gambaran seperti itu hanya akan ada dalam sistem islam. Waallahu a'lm bishowwab.