Oleh: Sri Eni Purnama Dewi, S.Pd.Si
(Member Revowriter)
Penahanan beberapa tokoh yang vokal terhadap penguasa membuktikan rezim semakin represif. Sebut saja, Ahmad Dhani. Musisi sekaligus politisi Gerindra ini divonis 1,5 tahun oleh PN Jakarta Selatan karena melakukan ujaran kebencian pada akun Twitter-nya pada tahun 2017 (RMOL, 02/01/2019).
Deretan nama lainnya termasuk Habib Bahar bin Smith dipolisikan karena kasus dugaan penganiayaan anak. Meski awalnya dilaporkan dalam kasus dugaan penghinaan terhadap presiden, namun akhirnya ditangkap berdasarkan bukti video penganiayaan terhadap anak. Herannya mereka adalah orang-orang yang selama ini kritis dan vokal terhadap penguasa.
Sangat disayangkan sikap tegas dan cepat, tidak berlaku manakala kawan sekubu melakukan hal serupa. Banyak kawan sekubu yang lolos dari jerat hukum padahal jelas melanggar hukum. Contohnya kasus Viktor Bungtilu Laiskodat, politisi Nasdem yang melakukan penghasutan kepada masyarakat untuk melakukan kekerasan sekaligus menebarkan kebencian, telah dihentikan proses penyelidikannya. Hal serupa dialami Permadi Arya alias Abu Janda yang sering sekali berbuat ulah dengan menyebarkan fitnah. Ade Armando terkait soal dugaan ujaran kebencian dan penistaan agama pun sudah mandek penyelidikannya.
//Kritik dalam Demokrasi//
Rakyat tentu menolak rezim represif yang menerapkan hukum tebang pilih. Terutama ketika penguasa sewenang-wenang terhadap keadilan dan para pendukung penguasa diberi ‘keistimewaan’ daripada rakyat biasa yang suka mengkritisi pemerintah. Alih-alih tak ingin disebut rezim represif anti kritik, tapi kenyataannya banyak oposisi yang mengkritisi malah masuk jeruji besi.
Kasus pemenjaraan Ahmad Dhani diduga akan memengaruhi elektabilitas petahana. Peneliti LSI, Adjie Alfaraby mengatakan Kasus ini akan berpengaruh pada segmen tertentu, seperti kalangan terpelajar. Sebab, kalangan ini biasanya tak suka jika negara terlalu kuat dalam menghadapi kritik (Tempo.co, 07/02/2019).
Dari internal pendukung petahana ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar membuat status yang menyatakan tidak setuju atas sikap Jokowi menghadapi penentangnya. "Saya tidak setuju memenjarakan ide gagasan dan wacana, keberhasilan reformasi yang bisa dibanggakan salah satunya adalah kebebasan berpendapat dan berpikir. Agar kita menjadi bangsa yang cerdas" (Inspiratormedia.id, 04/02/2019).
Melihat kasus ini, maka politik demokrasi dapat menciptakan sikap anti kritik dan represif bagi para penguasa. Hal tersebut ditujukan hanya untuk melanggengkan kekuasaan, bukan untuk mengurusi kepentingan rakyat. Oleh karena itu, kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi hanyalah omong kosong, karena penguasa telah membungkam kritik dari masyarakatnya sendiri.
//Kritik dalam Islam//
Dalam Islam rakyat boleh mengkritik dan menegur penguasa. Bahkan, boleh ditujukan langsung kepada khalifah yang memimpin. Sehingga penguasa dapat memperbaiki diri dan meninjau ulang atas kebijakan dan peraturan yang ditetapkan apakah sudah sesuai dengan syariat Islam atau belum.
Dalil mengenai bolehnya mengkritik penguasa ada dua. Pertama, dalil mutlak mengenai kritik kepada penguasa. Sebagaimana sabda Nabi SAW : ”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) kepada penguasa (sulthan) yang zalim.” (HR Abu Dawud 4346, Tirmidzi no 2265, dan Ibnu Majah no.4011).
Dalil ini mutlak tanpa menyebut batasan tertentu mengenai cara mengkritik penguasa, apakah secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tersebut, sesuai kaidah ushuliyah : al ithlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ‘ala al taqyiid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat). (M. Abdullah Al Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm. 60).
Kedua, adanya dalil-dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan dalam Islam. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Sholihin telah menjelaskan banyak hadits Nabi SAW mengenai hal ini. Misalnya, hadits dari Aisyah RA:“Seorang laki-laki minta izin (untuk bertemu) Nabi SAW, kemudian Nabi SAW bersabda,”Dia adalah saudara yang paling jahat bagi keluarganya atau anak yang paling jahat di tengah-tengah keluarganya.” (HR Bukhari no 5685 & Muslim no 2591). Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi SAW menyebut seseorang di hadapan umum lantaran kejahatan orang itu.
Berdasarkan dalil-dalil semacam ini, para ulama telah menjelaskan bahwa ghibah di hadapan umum kepada orang yang jahat, termasuk penguasa yang zalim, hukumnya boleh.
Dari penjelasan kebolehan mengkritik dalam Islam, maka sudah jelas hanya sistem politik dan kepemimpinan Islam sajalah yang akan benar-benar menjamin kebebasan berpendapat yang sesuai syariat. Rakyat tidak akan takut lagi mengkritik akibat rezim represif.
Dengan menegakkan hukum-hukum Islam secara kaffah kepentingan ummat akan terpenuhi dan membuka ruang pada ummat untuk mengawal pelaksanaannya pemerintahan melalui mekanisme muhasabah/mengkritisi penguasa sesuai tuntunan hukum syara'. Islam adalah Rahmat untuk seluruh Alam, maka solusi Islam juga untuk semua baik muslim ataupun non-muslim.