Oleh : Subaidah S.Pd
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Tidak ada manusia yang sempurna. Begitulah gambaran yang tepat bagi insan manusia sehingga dalam menjalani kehidupan tidak terlepas dari sebuah kekurangan dan kesalahan. Maka wajar jika dalam menjalani kehidupan kita membutuhkan saran dan kritikan demi perbaikan kualitas kehidupan yang kita jalani.
Terlebih lagi bagi seorang penguasa. Karena ditangan mereka kebijakan dibuat dan diterapkan untuk seluruh rakyat. Akan tetapi hal yang miris terjadi di negeri ini, tidak boleh ada kritikan yang mengganggu sebuah kebijakan. Maka yang terjadi seperti yang dialami musisi Ahmad Dhani, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjebloskan Ahmad Dhani ke Lapas Cipinang, Senin (28/1/2019). Dhani divonis 1,5 tahun penjara dalam kasus penyebaran ujaran kebencian terkait SARA lewat akun Twitter miliknya (teropongsenayan.com)
Serupa dengan kasus Ahmad Dhani, Sebelumnya pihak kepolisian juga menangkap Sri Rahayu (32) di kediamannya di Desa Cipendawa, Cianjur, Jawa Barat pada Sabtu (5/8/2017). Sri Rahayu di amankan pihak kepolisian karena menyebarkan konten penghinaan dan SARA melalui akun Facebooknya (detik.com)
Anggapan rezim saat ini anti dengan kritikan dibenarkan oleh Wakil Ketua DPR-RI Fadli Zon, dia mengakui bahwa pemerintahan di bawah Joko Widodo sangat anti terhadap kritik publik. Sikap anti kritik itu terlihat dengan keputusan pencopotan terhadap orang-orang berada dalam lingkaran mereka yang sering melayangkan kritik atas kinerja Pemerintah (fajar.co.id)
Kasus Muhammad Said Sidu juga gambaran bagaimana rezim ini mencopot orang-orang yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, Said Sidu diberhentikan dari jabatan komisaris BUMN karena mengkritik keras masalah Kebijakan Pemerintah divestasi saham freeport. Said Sidu menuliskan dalam tweetnya soal pembelian saham, dampak lingkungan, pajak, hingga pengendali freeport. Said Sidu juga mengkritik mengenai Freeport Mc Moran yang akhirnya dapat menghindar dari sanksi lingkungan terkait dengan pengelolaan limbah (voa-islam.com)
Beberapa kejadian diatas menunjukkan bahwa rezim sakarang adalah rezim anti kritik dan lebih mementingkan pandapat atau kebijakan sendiri tanpa mau mendengar masukan dari rakyat yang merasakan langsung dampak dari kebijakan-kebijakan yang sudah ditetapkan. Seharusnya pemerintah lebih mendengar masukan atau kritikan-kritikan dari rakyat sebab kritik tersebut dilontarkan untuk kebaikan masyarakat negeri ini, akan tetapi yang terjadi pemerintah justru lebih memilih mempertahankan kebijakannya atau bahkan condong pada kepentingan asing sebagaimana contoh dalam kasus Said Sidu yang berkaitan dengan freeport.
Fakta pemerintah telah membungkam kritik dari masyarakatnya sendiri dan memilih kepentingan asing di atas kepentingan rakyat sendiri. Atau rakyat tidak boleh memberikan kritikan atas kebijakan yang sudah dibuat yang telah nyata-nyata merugikan banyak pihak. Ini membuktikan bahwa kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi adalah omong kosong. Dan semakin mempertegas bahwa rezim saat ini semakin otoriter dan menindas hak berpendapat baik secara lisan maupun tulisan
Menjadi pertanyaan besar bagi kita sebagai rakyat di negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dimana dalam demokrasi diakui dan diagung-agungkan dalam hal kebebasan berpendapat, tapi mengapa dalam rezim sekarang anti dan alergi terhadap kritik?
Ternyata oh ternyata dalam demokrasi - sekuler, meletakkan kewenangan membuat aturan (yang nantinya dijadikan standar) ditangan manusia tepatnya di tangan pemilik modal (kapitalis) yg hari ini berada di lingkaran kekuasaan. Disinilah ada standard ganda dalam demokrasi dan ada tebang pilih pada penerapan kebijakan. Karena demokrasi sejatinya hanyalah jargon untuk melanggengkan kekuasaan. Hal senada ditegaskan George W. Bush pasca tragedi penyerangan World Trade Center pada 9/11 silam. bahwa jika AS ingin tetap bisa memimpin dunia, hal yang harus dilakukan adalah terus menerus mengkampanyekan demokrasi dan liberalisasi. So...tegas sekali bahwa demokrasi adalah alat penjajahan dan tidak memberikan kesempatan untuk menyuarakan kebijakan pemerintah yang sudah menyusahkan rakyat.
Hal ini berbanding terbalik dalam sistem Islam, dimana seorang rakyat diberi kebebasan dalam mengkritik pemerintah atas dasar keimanan. Bahkan rakyat juga bisa secara langsung memberi kritikan atas kebijakan yang di buat oleh Kholifah sekiranya kebijakan yang ditetapkan merugikan rakyat. Dan dengan kritikan yang diterima, seorang Kholifah akan mengoreksi kebijakan dan akan memperbaiki bahkan menghapus jika memang kebijakan itu melanggar apa yang sudah Allah tetapkan
Salah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi (muhasabah) terhadap pemerintah, menasihati mereka, adalah hadits dari Tamim al-Dari r.a bahwa Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Agama itu adalah nasihat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa ya Rosulullah?” Nabi SAW bersabda: “ Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Daud)
Contoh koreksi atau kritikan terhadap penguasa (kholifah) terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab ketika seorang wanita memprotes kebijakan Kholifah Umar. Ketika beliau menyampaikan “Jangan memberikan mahar lebih dari 40 uqiyah (1240 gram). Barangsiapa melebihkannya akan kuserahkan ke baitul Maal". Seorang wanita yang mendengar perkataan Kholifah Umar dengan berani menegurnya, “Apakah yang dihalalkan Allah akan diharamkan oleh Umar? Bukankah Allah berfirman, "sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka sejumlah harta, maka janganlah kamu mengambil dari mereka sedikitpun (QS. An-Nisaa:20). Kholifah Umar menjawab, “wanita ini benar dan aku salah”.
Jelas tergambar bagi kita bagaimana figure seorang pemimpin dalam islam yaitu mengakui kesalahan, menerima kritikan dari rakyat tanpa mengeluh apalagi bertindak represif bagi mereka. Sungguh sangat nampak perbedaan mengkritik penguasa dalam sistem Islam vs kritikan terhadap penguasa dalam sistem kapitalis. Atas landasan keimanan, dalam sistem Islam rakyat tidak merasa takut untuk mengoreksi jalannya pemerintahan. Sedangkan penguasa (kholifah) dengan "legowo" menerima kritikan atas dasar rasa takut kepada Allah, khawatir menjadi pemerintah dan membuat kebijakan tidak sesuai dengan perintah Allah dan yang di contohkan oleh Rosul Muhammad SAW.
Maka tidak ada pilihan lagi untuk kita. Harus memilih dan mengambil sistem yang berasal dari Sang Pencipta. Sistem yang menjadikan rakyat dan penguasa melakukan segala aktifitasnya berdasarkan keimanan kepada Allah, sehingga dalam melakukan apapun tidak terlepas dari tuntunan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rosul-Nya tak terkecuali dalam mengkritik dan menerima kritikan dengan landasan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Wallaahu a'lam bishowab.