Oleh : Ita Djamari
(Aktivis Revowriter)
Zaman milenial yang identik dengan kecanggihan teknologi tak urung membuat informasi digital tersebar secara cepat. Namun sangat disayangkan ketika isi berita tidak sesuai dengan kebenaran. Kemudian munculah istilah hoax. Menurut wikipedia, hoax adalah berita bohong yaitu infromasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.
Berita palsu ini tentu saja merugikan semua kalangan. Terlebih jika yang melakukan penyebaran merupakan publik figur. Pemerintah menggadang-gadang untuk memerangi hoax. Namun fakta di lapangan berkata lain. Menurut Ahmad Riza Patria, “Benar kata Rocky Gerung bahwa pabrik hoax itu ada pada penguasa yaitu pemerintah. Karena pemerintah punya kekuasaan, membuat regulasi, punya aparat, punya media, punya logistik, punya banyaklah pemerintah.” (Senin 24/2)
Bahkan pemimpin tertinggi negeri saat ini, Jokowi, sempat tersandung hoax saat melontarkan serangan terhadap rival capresnya. “Seperti yang saya sampaikan, teori propaganda Rusia seperti itu. Semburkan dusta, kebohongan. Hoax, sehingga rakyat ragu. Memang teorinya seperti itu.” Tuduhan tersebut ditujukan kepada pasangan capres Prabowo-Sandi. Bahkan Jokowi menambahkan, “Terus yang antek asing siapa? Jangan sampai kita disuguhi kebohongan terus menerus. Rakyat kita sudah pintar, baik yang di kota atau di desa.” (Senin 4/2).
Tak berselang lama, Kedubes Rusia beraksi keras menampik tudingan tak berdasar tersebut. Jokowi pun buru-buru mengklarifikasi ucapannya bahwa istilah “propaganda Rusia” dia dapatkan dari sebuah artikel di jurnal RAND Corporation.
Kegaduhan tak berhenti sampai di situ. Baru-baru ini dalam debat capres Jokowi mengklaim dalam tiga tahun terakhir tidak terjadi kebakaran hutan. Hal itu langsung dibantah berbagai kalangan. Bahkan Eggi Sudjana melaporkan Jokowi ke Bawaslu terkait berita bohong yang disampaikan pada debat capres beberapa waktu lalu, “Ya, yang utama di Riau ya. Di sekitar Kalimantan, Sumatera, banyaklah. Tinggal klik Google cari aja. Yang utama lagi juga ada protes dari Greenpeace langsung. Jadi poin penting sekarang adalah kita disodorkan rakyat dengan pemimpin pembohong.” (detik.com, 19/2).
Dalam negara penganut sistem pemerintahan sekuler, penyebaran berita bohong merupakan hal yang biasa terjadi. Sebab dalam sistem ini tidak menyertakan norma keagamaan dalam aktivitas keseharian. Tak ayal dari rakyat jelata hingga calon pemimpin terseret pusaran berita palsu. Terlebih lagi pada masa kampanye saat ini. Untuk meraih simpati pemilik hak suara pemilu, tim sukses kampanye terkadang menyambar data secara asal. Yang terpenting terlihat heboh dan mampu menarik atensi masyarakat. Ditambah lagi dengan tujuan saling menjatuhkan pihak lawan, maka berita palsu pun berkeliaran bebas. Masyarakat bahkan menjadi bingung membedakan manakah yang berita asli mana yang berita bohong.
Demi memenangkan pencalonan usaha apa pun dilakukan. Sebab auran Allah tak lagi digunakan dalam pengaturan kehidupan sehari-hari. Urusan akhirat dibatasi seputar ibadah mahdhoh. Sementara urusan dunia –termasuk memilih pemimpin— menggunakna aturan buatan manusia. Ucapan takut kepada Allah pun sekadar lips service untuk menyakinkan pemilih konservatif yang masih lekat menggunakan pertimbangan nilai agama.
Mengingat begitu beratnya persaingan dan besarnya dana yang dikeluarkan untuk menjaring suara, tak heran segala cara ditempuh para kontestan pemilu. Hal ini tentu saja berpengaruh pada perhitungan untung rugi. Modal besar tersebut mau tidak mau harus balik. Tak ada jalan lain selain memenangkan jago mereka. Tatakala sudah berkuasa maka secara alami penguasa ini jungkir balik mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Entah berupa realisasi janji-janji kebijakan yang menguntungkan pemilik modal atau pun dengan cara kasar mengkorupsi rakyat. Berkata masalah korupsi, hal ini sangat wajar menggurita dalam alam sekuler yang tidak mengindahkan aturan Allah.
Kekuasaan dalam negara sekuler memiliki arti menguasai segala lini kehidupan. Berbanding terbalik dengan konsep kekuasaan dalam Islam. Islam memandang bahwa kekuasaan dijalankan penguasa untuk meraih ridha Allah. Sehingga tidak ada unsur kepentingan individu atau kelompok dalam roda kekuasaan. Inilah yang dimaksud dengan takut kepada Allah. Yaitu mampu mengendalikan roda kekuasaan sejalan dengan perintah dan larangan Allah. Kekuasaan didudukkan semata-mata sebagai alat meraih kebahagiaan di sisi Allah. Bukan untuk meraup keuntungan dunia.
Mengharapkan keberpihakan penguasa terhadap rakyat rasanya semakin pesimis. Berulang kali ganti pemimpin namun, negeri ini masih bergulat dengan kemiskinan, kerusakan moral dan beragam kriminalitas yang tidak terselesaikan bahkan kian menggunung. Sistem sekuler inilah biang kerok dari kebrobokan yang menimpa negeri ini. Aturan buatan manusia tersebut telah menjerumuskan manusia dalam kemaksiatan yang sistematis. Mulai dari pemimpin yang ‘terpaksa’ membangkang perintah Allah hingga nasib umat yang terlunta-lunta dalam negara yang katanya gemah ripah loh jinawi.
Kini saatnya menyongsong era baru. Masa kejayaan sistem Islam kembali berkibar mengikat seluruh perbuatan manusia. Islam sebagai rahmatan lil alamin pun niscaya terwujud.
Wallahu’alam bishowab. Opini