Oleh : Cucu Asifa (Komunitas Pena Islam)
Salah satu pernyataan Joko Widodo pada debat capres putaran kedua di Hotel Sultan, Minggu (17/2/2019) yaitu menyatakan, "Tidak ada yang saya takuti selain Allah SWT". Pernyataan ini adalah pernyataan yang paling baik dari seorang manusia, dan memang seharusnya begitu. Tidak ada sesuatupun yang lebih berhak ditakuti selain daripada Allah SWT.
Tapi, suatu perbuatan atau ucapan bukan hanya dilihat dari perbuatannya itu sendiri, melainkan juga faktor eksternal yang mempengaruhinya. Misalnya, faktor pendorong dan tujuan dari dilakukannya perbuatan atau terlontarnya pernyataan itu.
Tentu tidak mengherankan jika ada seorang pencuri yang mengatakan "saya tidak mencuri" karena didorong oleh perasaan takut dihukum dan dengan tujuan agar lolos dari hukuman. Juga pembohong yang mengatakan "saya tidak berbohong", dengan alasan yang sama, agar lolos dari penilaian manusia. Pada tingkat kesesatan yang parah, para pendosa ini tidak lagi segan menyebut asma Allah SWT untuk mendukung kebohongannya.
Kalimat "Tidak ada yang saya takuti selain Allah SWT" tentu sangat baik jika dilandasi oleh keimanan terhadap Allah SWT dan dengan tujuan untuk mendapatkan keridha'an-Nya. Namun, apakah orang yang menyatakan hal itu adalah orang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT? Iman dalam arti menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? ataukah hanya sebatas ucapan dari orang mengaku beriman, tapi enggan menerapkan hukum Allah SWT, sedang ia menjalankan aturan lain, yakni aturan buatan manusia?
Jokowi dalam masa jabatannya dikenal tidak begitu ramah terhadap syariat Islam. Bahkan, cenderung antipati terhadapnya. Seharusnya jelas bagi kita umat muslim untuk melihat krtidaksinkronan antara perbuatan dengan pernyataan. Dan ini bukan kali pertama ucapannya tidak sinkron dengan apa yang diperbuatnya.
Pasca debat capres kedua kemarin, di media sosial para netizen ramai memberikan julukan kepada jokowi sebagai bapak hoax atau raja hoax. Tidak lain karena banyaknya ketidaktransparansian data yang akurat dari yang diucapkannya juga refleksi dari apa yang dinyatakannya, baik berurusan dengan angka-angka maupun kesejahteraan yang diklaimnya membaik di masa jabatannya.
Lalu apa gunanya bagi kita menjelaskan kebohongan-kebohongan seorang yang sangat sering berbohong. Bukahkah itu suatu yang melelahkan? Berapa lama waktu yang dia perlukan untuk sekali berbohong?, 10 detik atau mungkin 5 detik. Apalagi, jika yang melakukannya itu penguasa yang dia berwenang untuk "menyimpan" data-data. Berapa lama waktu yang kita perlukan untuk membongkar 1 kebohongannya? Jelas jauh lebih lama dari waktu yang dia perlukan untuk berbohong. Ingatlah, bahwa kebohongan yang dilakukan oleh seorang penguasa akan berdampak pada masyarakat luas. Kita tidak bisa berdiam diri saja dalam hal ini. Lalu apa yang seharusnya kita lakukan?
Manusia sesungguhnya hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, jadi yang harus kita lakukan hanyalah fokus pada bagian kita masing-masing. Tentu saja kita tidak bisa protes terhadap Sang Pencipta dan menuntut pada-Nya agar didunia ini tidak ada pembohong, tidak ada pencuri, tidak ada koruptor, dan bersih dari para pelaku kemungkaran lainnya.Yang seharusnya kita cermati adalah hal apa yang seharusnya kita lakukan ketika kebohongan terus berulang.
"Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).
Hadits di atas menjelaskan bahwa kita wajib meluruskan suatu kemaksiatan semampu kita. Dalam hal ini membongkar kebohongan demi kebohongan yang dilakukan penguasa. Meskipun itu melelahkan dan berpotensi mendapatkan tindakan persekusi dari penguasa seperti yang terjadi belakangan ini terhadap ormas HTI yang dicabut BHP-nya tanpa alasan yang jelas. Tapi, kita pun harus memahami, tidak akan berkuasa orang-orang yang dzalim jika masyarakat atau kita sendiri tidak memberikan amanat kekuasaan kepadanya. Maka, barang siapa yang memiliki andil memberikan amanat terhadap orang-orang dzalim sehingga mereka berkuasa diapun memikul dosa yang besar. Sesungguhnya amanat itu seharusnya diberikan pada orang yang berhak.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…" (An Nisaa [4] : 58).
Lalu siapa orang yang berhak mendapatkan amanah dalam pandangan seorang muslim untuk menjadi seorang pemimpin? Jawabannya hanyalah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya iman terhadap Allah SWT. Ia melaksanakan apa-apa yang diperintahkan-Nya, berkeinginan menerapkan syariat Islam dalam masyarakat, dan menegakan sebuah negara yang menjadikan Al Qur'an dan Hadits sebagai dasar hukumnya. Selain itu, ia pun harus kompeten dalam hal ketaatan dan keilmuannya.
Maka, pilihan sebenarnya bagi masyarakat terutama kaum muslimin memilih calon penguasa yang benar-benar takut pada Allah SWT. Ciri-ciri penguasa ini adalah penguasa yang mau menerapkan hukum Allah SWT kepada setiap warga negaranya, baik muslim maupun non muslim. Menerapkan hukum Allah SWT berupa syariah Islam membutuhkan satu sistem pemerintahan tersendiri, bukan dengan mendompleng sistem pemerintah demokrasi yang ada saat ini. Bagi orang-orang yang menyakini kebaikan Syariat Islam tentu akan memilih sistem Islam dan bukan demokrasi.
“Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8).
Semoga kelak akan terpilih penguasa yang benar-benar takut kepada Allah SWT. Penguasa yang membuktikan kebenaran keimanannya, yaitu dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah. Wallahua'lam bishshowwab.