Pemimpin Amanah, Dengan Muhasabah

Oleh : Eva Farida, S.Pd (IRT, Pemerhati Urusan Kaum Muslimin)


Di awal tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca mengingat sebuah peristiwa tentang Indahnya Hidup dalam Kepemimpinan yang senantiasa meninggikan Kalimat Tauhid, yaitu Peristiwa yang menjadi contoh terbaik bahwa sebuah Kepemimpinan meniscayakan adanya masukan dan kritik. Adapun yang menjadi dasarnya adalah ketika Sahabat Rasulullah SAW, Para Khulafaur Rasyidin yang di jamin Surga oleh Allah SWT, Khalifah Ali bin Thalib pernah mengingkari Utsman yang saat itu menjadi khalifah, yaitu berkaitan dengan perkataan Utsman mengenai kesempurnaan haji dan umrah. Imam Ahmad telah menuturkan riwayat dengan sanad sahih dari Abdullah bin Zubair yang mengatakan:  Kami sedang bersama Utsman di Jahfah. Bersamanya ada sekelompok orang dari Syam. Diantaranya adalah Habib bin Salamah al-Fihri. Ketika itu Utsman—yang telah disebutkan kepadanya tentang mengerjakan umrah sebelum berpisah dengan haji—berkata, “Sesungguhnya kesempurnaan haji dan umrah hendaknya keduanya tidak dilakukan bersamaan pada bulan haji. Seandainya kalian menunda umrah hingga kalian mengunjungi Baitullah untuk kedua kalinya, maka itu adalah lebih afdhal.” Padahal sesungguhnya Allah telah memberi keluasan dalam kebaikan. 

Sementara itu, Ali bin Abi Thalib saat itu tengah berada di dasar lembah sedang menggembalakan unta miliknya. Amir berkata: Lalu apa yang dikatakan Utsman itu sampai kepada Ali. Ali kemudian segera pergi menemui Utsman hingga berdiri di hadapan Utsman. Beliau lalu berkata, “Apakah Engkau membatalkan sunnah yang telah disunnahkan Rasulullah saw. dan membatalkan rukhshah yang telah Allah tetapkan di dalam Kitabulah sebagai keringanan untuk hamba-Nya. Engkau telah mempersempit mereka dan melarangnya. Sungguh, hal itu adalah keringanan bagi orang-orang yang memiliki keperluan dan jauh negerinya?... Lalu Utsman menghadap orang-orang dan berkata, “Apakah aku melarang melaksanakan umrah sebelum berpisah dengan haji? Aku tidak pernah melarang itu. Itu hanyalah pendapat yang aku ajukan. Siapa saja yang ingin, silakan melakukannya, dan siapa saja yang tidak mau, silakan meninggalkannya.”

Itu baru satu peristiwa, bagaimana dengan peristiwa yang lain, masih seorang khalifah, yang kepemimpinannya tiada ada bandingannya dengan pemimpin saat ini yaitu Khalifah Umar Bin Khattab yang ikhlas mendapatkan muhasabah langsung dari seorang wanita yang telah mengingkari Umar atas larangan beliau agar orang-orang tidak menetapkan mahar lebih dari empat ratus dirham. Wanita itu berkata: Wahai Umar, engkau tidak berhak menetapkan demikian. Bukankah engkau telah mendengar firman Allah: Kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak. Karena itu, janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikitpun. (TQS an-Nisa’ [4]: 20). Umar lalu berkata, “Wanita itu benar dan Umar yang salah.”

Demikianlah muhasabah atau mengoreksi penguasa sesuai dengan ketentuan hukum syara’ adalah sesuatu yang lumrah , bahkan dalam Islam itu adalah merupakan kewajiban. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mengawal penerapan hukum Islam yang dilakukan oleh seorang Khalifah. Bayangkan saja, pemimpin sekaliber para khulafaur Rasyidin yang sudah menerapkan Islam secara Kaffah saja, tidak sungkan untuk dikoreksi dan menerima ketika diberi masukan. Maka sudah sepatutnya, kritik dan masukan menjadi kewajiban yang tidak bisa ditawar tawar lagi bagi Penguasa yang belum meninggikan Kalimat Tauhid dalam aktivitasnya mengurusi masyarakat. Dalam artian belum secara totalitas mencontoh Rasulullah SAW secara keseluruhan dalam posisi beliau sebagai seorang Kepala Negara atau belum menerapkan Islam secara Kaffah. 

Namun kenyataannya, kritikan dan masukan dari Kaum Muslim pada Penguasa khususnya di Negeri ini,  malah membuat sang penyuaranya mendapatkan sanksi. Ini menunjukkan telah rusaknya tatanan Keadilan Negeri ini.  Sebagaimana fakta penahanan salah satu musisi Indonesia, Ahmad Dhani yang telah mendapatkan sanksi atas anggapan sebagai Ujaran Kebencian(Tirto.id 29/01/2019) dan masih banyak lagi Para ulama yang dikriminalisasi, dan beberapa orang yang sudah kita ketahui malah dipidanakan.  Sementara disisi lain beberapa orang yang sudah jelas melakukan Penistaan Agama hanya mendapatkan masa penahanan yang pendek, bahkan beberapa lainnya tidak di gubris. Entah apa yang di inginkan dari semua peristiwa ini, lupakah mereka bahwa ketidakadilan didunia akan di Pengadilkan di Akhirat nanti. Ini menunjukkan bahwa urusan kepentingan masyarakat lebih dikebelakangkan. Memang tidak mengherankan, karena beginilah sistem demokrasi. Tahun ketahun tidak ada perbaikan, malah yang ada kondisi semakin carut marut. Karena aktivitas muhasabah terhadap penguasa di tutup rapat rapat. 

Maka marilah kita berfikir, masihkah kita ingin mempertahankan sistem demokrasi ini, apa yang membuat kita (sebagai Hamba Allah )ragu untuk mengadopsi sistem kehidupan yang Allah perintahkan kepada kita termasuk masalah kepemimpinan, kepemimpinan seperti di  Masa Rasulullah SAW? Jika tidak bersandar kepada Allah SWT dan hukumnya, apalagi yang mau kita jadikan sebaik baik sandaran? Tidakkah kita merasa takut dengan peringatan Allah SWT mengenai diamnya kita terhadap Penguasa yang tidak menjalankan amanahnya mengurusi umat dengan Hukum tertinggi yaitu Hukum Allah.

Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “ Nanti akan ada para pemimpin. Lalu kalian mengakui kemakrufan mereka dan mengingkari kemungkaran mereka. Siapa saja yang mengakui kemakrufan mereka akan terbebas dan siapa saja yang mengingkari kemungkaran mereka akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridha dan mengikuti (kemungkaran mereka akan celaka). Para Sahabat  bertanya “Tidakkah kita perangi saja mereka?” Nabi menjawab, “Tidak selama mereka masih menegakkan shalat.” Kata shalat dalam hadist ini menunjukkan Kinayah (kiasan) dari aktivitas memerintah atau memutuskan perkara dengan (hukum-hukum) Islam (Struktur Negara Khilafah ; Syeikh Abdul Qodim Zallum 2002).

Setelah kita membaca Hadist di atas, tinggal kita memutuskan bagaimana kita memutuskan sikap kita dan mencari tau bagaimana upaya kita sebagai individu, untuk berusaha dengan cara yang Allah ridhoi, yang sesuai dengan syariat dalam melakukan Muhasabah terhadap penguasa. Sehingga akan terwujud penguasa yang tidak melanggar hak hak rakyat, melalaikan kewajiban kewajibannya terhadap rakyat, menyalahi Hukum Islam, dan memutuskan hukum selain dengan wahyu yang telah Allah SWT turunkan. Tidakkah kita rindu dan ingin kembali menjalani kehidupan seperti di Masa Rasulullah SAW, dimana terwujud Negeri yang Allah Ridhoi dan senantiasa mendapatkan ampunan yang luas dari  Allah SWT.

 Wallahu ‘alam Bisawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak