Pembangunan Infrastruktur Jalan Tol, Sebuah Prestasi?


Hasrianti
 

(Mahasiswi UHO)

Guna mencapai tujuan untuk menyejahterakan masyarakat, negara memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan cita-cita nasional tersebut. Dengan adanya pembangunan infrastruktur maka akan banyak manfaat dan kenyamanan yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Tak dapat dipungkiri, kehidupan sekuler kapitalistik yang mendominasi kehidupan kaum muslim saat ini telah membawa beragam persoalan di segala bidang, tak terkecuali soal pembangunan infrastruktur. 

Jalan tol di Indonesia disebut juga sebagai jalan bebas hambatan, suatu jalan yang dikhususkan untuk kendaraan bersumbu dua atau lebih seperti mobil, bus, truk yang bertujuan untuk mempersingkat jarak dan waktu tempuh dari satu tempat ke tempat lain. Dengan menggunakan fasilitas ini, para pengguna jalan tol harus membayar sesuai tarif yang berlaku. Penetapan tarif didasarkan pada golongan kendaraan.

Jalan Tol Sebagai Prestasi?

Menjelang pilpres 2019 pada bulan April, kampanye terus dilaksanakan oleh kedua paslon. Para paslon mengeluarkan skil masing-masing dalam upaya merebut hati suara rakyat. Beragam pernyataan dilontarkan, tak terkecuali dari kubu petahana, beliau membeberkan sejumlah prestasi yang pernah ditorehkan selama menjabat dalam periode pemerintahannya. Prestasi yang dimaksud adalah prestasi beberapa pembangunan jalan tol sepanjang jakarta dan jawa. Sebagaimana baru- baru ini kembali Marak spanduk-spanduk dan isi kampanye yang mengaitkan jalan tol dengan prestasi dari rezim petahana.

Dilansir  dari kompas.com - Jakarta, Wakil Ketua DPR Fadli Zon berpendapat klaim keberhasilan pembangunan pada pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla membodohi masyarakat. Salah satunya adalah pembangunan jalan tol. "Jalan tol itu sebagian infrastruktur swasta, bukan infrastruktur publik. Bagaimana ceritanya pembangunan jalan tol diklaim sebagai prestasi pembangunan?" ujar Fadli melalui keterangan tertulis mengenai catatan awal tahunnya (2/1/2019).

Alhasil pembangunan jalan tol tidak sepenuhnya disebut sebagai prestasi pemerintah. Sebab, disisi lain banyak infrastruktur yang masih perlu pembangunan dan penanganan serius. Pembangunan yang merata di seluruh pelosok daerah, inilah lah yang menjadi harapan semua elemen masyarakat. 

Jalan Tol Untuk Siapa ?

Pasalnya pembangunan jalan tol lebih terlihat seperti praktik bisnis dengan rakyat, bukan pelayanan masyarakat. Sebab masyarakat masih harus membayar ketika melewati jalan tersebut. Seharusnya infrastuktur memberi kemudahan bagi seluruh lapisan masyarakat. Adanya jalan tol dinilai masih menjadi kontraproduktif, selain karena harga yang tidak mampu disentuh oleh masyarakat menengah ke bawah, dampak lain dari pembangunan jalan tol ialah semakin mencekik pendapatan ekonomi bagi warga sekitar Trans jalan tol. Hal ini dikarenakan para pengendara sangat minim yang melewati jalan tersebut. (www.tribunnews.com 7/2/2019).

Berdasarkan data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR yang dirangkum akhir 2018, total panjang jalan tol yang sudah dioperasikan pada periode Oktober 2014-Oktober 2018 mencapai 423,17 km  (detikfinance.com , 21/1/2019)

Jalan tol itu bukanlah  infrastruktur seperti lazimnya infrastruktur dibangun atas dasar struktur perekonomian, olehnya bisa dinikmati oleh siapa pun. Infrastruktur itu contohnya jalan raya dan jembatan.  Itu bisa dinikmati oleh siapa pun. Sebaliknya jalan tol, itu hanya bisa dinikmati bagi mereka yang sanggup membayar. Hasil penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia mencatatkan bahwa total investasi yang dibutuhkan untuk merealisasikan proyek tersebut tidak main-main. Untuk menyambungkan ruas tol dari Pejagan hingga Pasuruan yang sepanjang 626,75 kilometer, total biaya investasi yang dibutuhkan mencapai Rp 67,94 triliun. 

Sedangkan biaya pembebasan lahan proyek tersebut menyentuh angka Rp 5,9 triliun. Artinya, rata-rata biaya investasi yang dibutuhkan untuk setiap 1 kilometer jalan yang akan dibangun mencapai Rp 108,4 miliar, di luar biaya pembebasan lahan. Bahkan pada tanggal 25 Januari lalu, di Kota Pekalongan terjadi peningkatan volume kendaraan sebesar 70% akibat berlaku penuhnya tarif tol Trans Jawa berdasarkan data Dinas Perhubungan Setempat. (detikfinance.com , 21/1/2019)

Hal itu mengindikasikan bahwa faktor harga masih menjadi penentu utama keputusan pengguna jalan tol. Apabila pengelola jalan tol masih mempertahankan harga yang sekarang, bukan tidak mungkin tingkat okupansi menjadi tidak maksimal, yang berhujung pada melesetnya perhitungan investasi. Pemerintah harus  mengevaluasi kembali tarif jalan tol. Sebaliknya, masyarakat secara luas sangat mengharapkan pembangunan infrastruktur secara merata. Seperti yang kita lihat pembangunan berat sebelah, pada umumnya menguasai bumi pantura Jawa. Lalu bagaimana dengan daerah lain, yang jelas-jelas sangat membutuhkan akses jalan maupun jembatan yang layak. Terlebih lagi pembangunan jalan tol berimbas semakin bertambahnya utang negara.

Pembangunan infrastruktur akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, di antaranya meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong berkembanganya sektor lain dalam perekonomian Nasional. Sistem Kapitalisme kiblat ekonomi Indonesia, berhasil mengubah tatanan perekonomian hingga berimbas pada roda pembangunan infrastruktur. Kondisi ini berbanding terbalik dengan sistem ekonomi yang kapitalistik yang  bertumpu pada investor swasta sehingga tidak hanya memikirkan berapa besar investasi yang diperlukan, dari mana asalnya tapi juga harus berpikir keras bagaimana mengembalikan investasi bahkan menenggak keuntungan dari proyek tersebut.

Pembangunan Infrastruktur Dalam Islam

Sistem ekonomi Islam meniscayakan sebuah negara mengelola seluruh kekayaan yang dimilikinya sehingga mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik. Dengan pengelolaan kekayaan umum (milkiyyah ‘ammah) dan kekayaan negara (milkiyyah daulah) yang benar berdasarkan Islam, menjadikan sebuah negara mampu membiayai pembangunan negara tanpa harus ngutang, termasuk untuk membangun infrastruktur transportasinya. Pembangunan infrastruktur dalam Islam adalah tanggung jawab negara, bukan sebagai ajang mencari keuntungan atau ajang untuk melancarkan hubungan diplomatis dengan Negara lain. 

Sistem ekonomi Islam membahas secara rinci dan tuntas masalah kepemilikan (milkiyyah), pengeloaan kepemilikan (tasharruf), termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat, juga memastikan berjalannya ekonomi dengan benar. Rancangan tata kelola ruang dan wilayah dalam negara didesain sedemikian rupa sehingga mengurangi kebutuhan transportasi. 

Pendanaan pembangunan infrastruktur dalam Islam berasal dari dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Hal itu sangat memungkinkan karena  kekayaan milik umum dan kekayaan milik Negara memang secara  keseluruhan dikuasai dan dikelola oleh negara. Ekonomi Islam hanya bisa dijalankan dalam Negara  daulah Islam. 

Pembangunan infrastuktur dalam sistem Islam telah terbukti berjalan dengan baik. Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak.  Sementara Paris baru dua ratus tahun kemudian (tahun 1185) berhasil meniru Cordoba. Yang menariknya lagi pada abad 19 Khilafah Utsmaniyah konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi.  Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji.  Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”.  Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah.  Wallahu’alam bi shawwab


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak