Pejabat Rebutan, Rakyat Jadi Korban, Kapitalis Sekuler Biangnya


Oleh : Sayyida Marfuah* 


Geram! Satu kata yang nampaknya cukup untuk mewakili perasaan kita selama ini. Bak gergasi yang teramat lapar, apapun dicaploknya, bahkan seakan manusiapun tak dikehendakinya untuk hidup menjalani fitrahnya, hak-hak mereka diambil, nyaris tak bersisa. 


Bukan berita baru, bukan pula kebiasaan yang tak banyak rakyat tahu, sebagaimana diberitakan, para pejabat rebutan, merekapun lantas bancakan dari hasil menjual murah sumber daya alam untuk kepentingan pribadinya. Ironisnya, baru sedikit saja dari pejabat nakal tersebut yang ditangkap dan terbukti melakukan korupsi.

 

Dilansir oleh Okenews.com pada 25 Januari 2019, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M. Syarief menyoroti maraknya korupsi di sektor Sumber Daya Alam (SDA). Menurut Laode, banyak pejabat di Indonesia yang sengaja menjual murah SDA dan yang sudah ditangkap baru sebagian kecil. Sejauh ini, kata Syarief, pihaknya baru dapat memproses sekira 20 penyelenggara negara ataupun pejabat daerah yang melakukan korupsi di sektor SDA. Dari korupsi tersebut KPK menemukan kasus yang merugikan negara hingga Rp 1,2 triliun.


Bahkan sumber yang lain menyatakan bahwa Laode M. Syarif melihat sumber daya alam Indonesia kerap disalahgunakan oleh segelintir orang. Dia menjelaskan ada lebih dari 24 orang pejabat yang diproses KPK karena terbukti melakukan korupsi di sektor kehutanan. Bahkan, di sepanjang 2004-2017, sudah 144 orang anggota dewan yang terlibat. Disusul 25 orang menteri atau kepala lembaga, 175 orang pejabat pemerintah, dan 184 orang pejabat swasta. Laode pun mencontohkan beberapa nama koruptor dalam bidang sumber daya alam yang terkena kasus penyuapan alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. (Tempo.Co, 25/01/2019)



Kapitalisme: Sumber Masalah Dalam Pengelolaan SDA


Temuan KPK sebagaimana disebutkan di atas, memang bukan hal asing bagi Indonesia. Sejak lama, Indonesia sudah menjadi obyek rebutan para pejabat yang berprofesi sebagai makelar penjualan aset milik umat. Sifat rakus akan kemilau dunia telah menjadikan mereka gelap mata, hatinyapun telah mati, sehingga hukum rimba berlaku dalam kompetisi ini, siapa yang kuat dialah yang akan menang.


Tak ada standar halal dan haram di sana, takkan dijumpai rasa takut akan siksa neraka, apatah lagi kerinduan akan nikmat surgaNya, bagi mereka hidup di dunia hanya sekali, yang penting bahagia saat ini harus tergapai, yakni dengan terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat materi.


Dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme _yang mana asasnya adalah sekularisme (faham pemisahan agama dengan kehidupan)_, fenomena ini lumrah, karena standar perbuatan yang digunakan adalah manfaat dan liberalisme (faham kebebasan), termasuk liberalisme kepemilikan. Inilah pangkal kerusakan sekaligus menjadi  penyebab sulitnya mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.


Aturan Islam Dalam Pengelolaan SDA


Sebagai satu-satunya agama yang sempurna, Islam hadir tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Namun Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. 

Allah SWT berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (TQS an-Nahl [16]: 89).


Dalam Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat secara umum. Oleh karena itu, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum ini kepada individu, swasta apalagi pihak asing.

Pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Rasul saw. juga bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).


Berkaitan dengan kepemilikan umum, patut untuk disimak sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari penuturan Abyadh bin Hammal. Diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lantas meluluskan permintaan itu, akan tetapi beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).”  Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).


Hadist tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir karena mâu al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Awalnya Rasulullah saw. memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh, hal ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui  bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar_digambarkan bagaikan air yang terus mengalir_maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Tersebab kandungannya yang sangat besar itulah, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Jika merujuk kepada hadist ini, maka individu termasuk swasta dan pihak asing, tidak boleh menguasai semua milik umum .


Dapat disimpulkan bahwa menurut  aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik garam maupun yang lainnya seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dan lain-lain semuanya adalah tambang yang masuk kategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadist di atas.


Karena itulah Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”(Buletin Kaffah, 12/07/2018)


Mengakhiri Keributan


Keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, menuntut setiap Muslim_tak terkecuali para penguasanya_untuk terikat dengan seluruh aturan Islam. Oleh karena itu, seluruh urusan dan problematika kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumber daya alam, harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah. 

Allah SWT berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir  (TQS an-Nisa [4]: 59) .


Selain itu, setiap Muslim termasuk para penguasanya wajib melaksanakan apa saja yang telah ditentukan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, tidak boleh membantah sedikitpun apalagi mengingkari,  termasuk ketentuan dalam pengelolaan sumber daya alam sebagaimana dipaparkan di atas.  

Allah SWT berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, terimalah (dan amalkan). Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah sangat pedih azab-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7).


Oleh karena itu, untuk mengakhiri keributan pengelolaan sumber daya alam sebagaimana yang terjadi saat ini, satu-satunya jalan, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumber daya alam didasarkan pada aturan-aturan sekuler kapitalistik dan tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pasti akan kehilangan berkahnya. Telah nyata, di tengah berlimpahnya sumber daya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin, hal ini disebabkan karena sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh kebanyakan rakyat yang sesungguhnya memiliki hak untuk menikmatinya.


Solusi Tuntas


Tak ada jalan lain, untuk menyudahi seluruh persoalan yang muncul dalam kehidupan ini_termasuk pengelolaan yang sarat dengan kedzaliman atas sumber daya alam _kecuali dengan bersegera menjalankan semua ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, yakni dengan cara melaksanakan dan menerapkan seluruh syariah Islam yang dalam penerapannya tentu membutuhkan peran negara. Mengapa demikian? Hal ini karena banyak sekali ketentuan syariah Islam yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan sumberdaya alam ini. Tanpa adanya peran negara yang menerapkan syariah Islam, rakyat secara umumlah yang dirugikan, sebagaimana terjadi saat ini. 


Kini, saatnya umat kembali kepada sistem Islam_sistem yang telah terbukti mampu menyejahterakan seluruh rakyat_dengan bersama-sama berjuang mewujudkan sistem yang mulia tersebut melalui jalan dakwah sesuai thariqah dakwah Rasulullah saw.


Wallaahu A’lam bi Ash-Shawab


*Penulis adalah Praktisi Pendidikan dan Anggota Akademi Menulis Kreatif (AMK)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak