Oleh Samsinar
(Pemerhati Sosial)
Kasus suap yang dilakukan oleh Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi kembali menambah daftar koruptor yang mengkhianati rakyat. Perbuatan ini dikecam banyak pihak. Bukan tanpa sebab, kader partai penguasa itu diduga telah merugikan negara dengan angka yang fantastis dari praktik haramnya tersebut, yakni Rp 5,8 triliun. Rakyat dibuat geleng-geleng kepala, dan otomatis akan menambah kekecewaan terhadap kinerja pejabat yang lalai dalam tugas.
Tindak korupsi yang dilakukan bupati Kotawaringin ini pun langsung menuai komentar dari Politikus Partai Demokrat (PD) Ferdinand Hutahean. Menurutnya, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Supian bisa dikategorikan sebagai mega korupsi. Sekaligus, kasus ini menjadi bukti bahwa pemerintahan dinilai sangat koruptif.
"Rp 5,8 T ini sangat fantastis. Ini menjadi gambaran nyata betapa kekuasaan sekarang sangat korup," kata Ferdinand kepada JawaPos.com, Jumat (8/2). (JawaPos, 8/2/2019)
Diduga Supian Hadi selama periode 2010-2015 telah merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT FMA (PT. Fajar Mentaya Abadi), PT Bl (PT. Billy Indonesia), dan PT AIM (PT. Aries Iron Mining) di Kabupaten Kotawaringin Timur periode 2010 2015. Dan sang bupati menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Dan kasus korupsi sang bupati dipertegas kebenarannya dengan adanya tindakan dari KPK. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi (SH) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan terhadap tiga perusahaan di lingkungan Pemkab Kotawaringin Timur, Kalimantan.
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke Penyidikan dan menetapkan SH sebagai tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (1/2/2019). (Merdeka.com, 7/7/2019)
Menyayangkan Pejabat yang seharusnya menyayangi rakyat
Harapan rakyat, dengan memilih para wakilnya dalam pemerintahan tentu tidak hadir begitu saja. Sejak masa pemilihan para pejabat, rakyat telah menaruh harapan akan perbaikan nasib mereka lewat tangan pejabat yang dipilihnya. Sejurus kemudian janji-janji perbaikan yang telah di utarakan langsung dihadapan rakyat saat kampanye menjadi sebuah kebohongan yang menyakiti rakyat. Rakyat terkhianati oleh pribadi pejabat yang begitu baik di awal. Namun busuk di penampakan kinerjanya.
Hal ini bukan tanpa sebab. Kasus bupati Kotawaringin ini hanyalah satu bagian dari panjangnya deretan kasus pengkhianatan pejabat ke rakyat yang memilihnya. Perilaku korup yang sudah melekat dalam diri para pejabat bukan cacat pribadi semata. Namun, lebih kepada terbuka lebarnya pintu kesempatan untuk melakukan pencurian uang negara. Saat sang pejabat memasuki ranah politik praktis dengan mencalonkan dirinya mengikuti pemilihan. Disana telah tersistem perputaran uang dalam menjalankan masa pemilihan. Tingginya biaya kampanye menjadikan para calon pejabat mengharuskan menyediakan anggaran yang tak sedikit.
Saat berkampanye, para calon pejabat membutuhkan modal untuk memoles wajahnya dalam pajangan spanduk dan baleho. Dengan sedikit bumbu-bumbu janji perbaikan hidup, kesejahteraan dan keadilan di tawarkan kepada rakyat. Harapan demi harapan kebaikan akan nasib rakyat ditaruh diatas tangan mereka. Seakan mereka ketika menjabat kelak akan mampu mengeluarkan rakyat dari belenggu kesulitan yang memang sedang rakyat alami. Kesulitan ekonomi, semakin hilangnya lapangan pekerjaan serta sulitnya bertahan dalam keterpurukan menjadikan rakyat terbuai atas janji para pejabat.
Rakyat dengan sepenuh hati memilih dan menaruh harapan atas nasib mereka kelak. Namun akan berbeda faktanya ketika pejabat telah terpilih. Besarnya biaya kampanye yang mereka keluarkan tentu akan memaksa mereka untuk mengembalikan modal itu. Dengan biaya yang besar, para calon pejabat tak mampu menghadangnya sendiri.
Maka lihatlah perilaku para pejabat saat telah terpilih. Amanah rakyat telah tergadaikan dengan pengkhianatan pejabat dengan pengusaha. Kepentingan demi kepentingan menghiasi jalannya pemerintahan. Pemberian izin akan mudah didapatkan hanya dengan menukarnya dengan mobil mewah.
Masih dari pernyataan KPK terkait dengan sejumlah pemberian izin tersebut, diduga SH (Supian Hadi) selaku Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015 telah menerima mobil Toyota Land Cruiser seharga Rp 710 juta, mobil Hummer H3 seharga Rp 1,35 miliar, dan uang Rp 500 juta," ucap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (1/2). (detiknews, 6/2/2019)
Rakyat dikhianati oleh para pahlawannya sendiri. Para pejabat yang menjadi pahlawan dadakan itu memperlihatkan tujuan dirinya meminta rakyat memilihnya. Saat jabatan ditangan, kasih sayang rakyat dikhianati. Jangankan mengabulkan janji-janji kampanye, malah para pejabat ini semakin menjepit rakyat. Mengeruk keuntungan demi keuntungan pribadi dari bumi negerinya sendiri. Menjadi pencuri dirumahnya sendiri. Bahkan menjadi pengkhianat bagi bangsanya sendiri. Maka wajar, rakyat menjadi tak percaya lagi dengan sosok kebanyakan pejabat hari ini.
Pejabat berkarakter Mulia dalam Islam.
Dimulai dari sosok sahabat Rasulullah SAW yang merupakan manusia biasa yang sama dengan para pejabat hari ini. Sahabat Rasulullah yang memiliki karakter kepribadian masing-masing mampu tampil dengan pengabdian yang luar biasa. Sikap amanah dan tanggung jawab yang dimiliki para sahabat tak lepas dari didikan Islam atas mereka. Keberhasilan Rasulullah menanamkan Akidah Islam yang sempurna sehingga mampu memancarkan akhlak yang terpuji dari kesadaran seorang muslim untuk terikat kepada hukum-hukum Allah ta'ala. Kegemilangan Islam dalam membentuk karakter individu dengan landasan ketakwaan kepada kepada Allah, menjadikan jabatan diatas pertanggung jawaban di hadapan sang pencipta. Setiap perbuatan disandarkan kepada baik buruk menurut penilaian Allah azza wajalla. Hingga jabatan bukan digunakan untuk mengumpulkan kekayaan atau menikmati kenikmatan materi dari atas kursi jabatan.
Lihatlah sosok Abu Bakar Assiddiq ra. Saat beliau menjabat sebagai pemimpin kaum muslimin, beliau tetap bekerja untuk nafkahi keluarganya. Hingga beberapa sahabat lain pun protes kepada beliau. "Wahai Amirul Mukminin, jika engkau berjualan di pasar, lantas siapa yang akan mengurusi kami?" tanya salah seorang sahabat.
Abu Bakar juga membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan. "Jika saya tidak berdagang, lantas bagaimana saya menghidupi keluarga saya?" ujar beliau.
Akhirnya, para sahabat senior kala itu bermusyawarah dan menetapkan gaji untuk Khalifah pertama itu. Gaji yang diberikan hanya sebatas untuk bisa menghidupi Abu Bakar dan keluarganya. Setelah itu, Abu Bakar tidak lagi berjualan di pasar dan mengurusi negara hingga dua tahun berikutnya ia dipanggil menghadap Allah SWT. Demikian seperti dikisahkan dalam Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir.
Begitulah kepemimpinan yang dicontohkan seorang sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah itu. Ia mengajarkan, kekuasaan dan jabatan bukanlah media untuk mencari kekayaan. Amanah yang terpikul di pundaknya bukanlah alat untuk mengumpulkan harta. Memimpin rakyatnya semata-mata untuk menjalankan amanah.
Hal yang sama juga dicontohkan oleh khalifah sesudahnya, Umar bin Khattab. Sudah menjadi tradisi ketika itu untuk membagikan pakaian kepada dua golongan dari umat Islam. Golongan itu adalah assabiqunal awwalun (orang yang pertama-tama masuk Islam), dan ahlun nabi (karib kerabat Nabi Muhammad SAW).
Kendati ia seorang Khalifah, Umar bin Khattab tak mendapatkan jatah pakaian tersebut. Karena ia memang tidak termasuk dari salah satu golongan itu. Ia bukan orang yang pertama masuk Islam, dan juga bukan berasal dari kerabat Rasulullah.
Hingga ketika ada pembagian jatah pakaian untuk seluruh kaum Muslimin, Umar bin Khattab mendapat jatah satu stel pakaian. Namun ketika itu, ia diprotes salah seorang sahabat. "Wahai Amirul Mukminin, masing-masing kami mendapatkan jatah pakaian satu. Lalu mengapa engkau mendapatkan dua?" protes salah seorang sahabat tersebut di hadapan sebuah mejelis.
Menjawab pertanyaan itu, putra beliau Abdullah bin Umar bin Khattab pun berdiri. "Hadirin sekalian. Badan bapak saya ini (Umar bin Khattab) seperti kita ketahui sangatlah besar. Jadi, jatah satu pakaian itu tidak muat di tubuh beliau. Tapi kendati demikian, beliau tidak mengambil dua buah. Jatah sayalah yang saya berikan kepadanya," papar Abdullah.
Jelaslah, menjadi pejabat negara bagi Umar bin Khattab bukanlah wadah untuk mengumpulkan kekayaan. Tidak ada istilah korupsi bagi Umar bin Khattab, kendati hanya sehelai pakaian. Tidak ada istilah nepotisme kendati beliau adalah seorang presiden umat Islam ketika itu.
Banyak kisah mengharukan yang dicontohkan Umar bin Khattab. Ketika beliau didatangi anaknya di kantornya, ia pun mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu api kecil miliknya. Alasan Umar, kedatangan anaknya bukan dalam urusan negara. Jadi, tidak pantas untuk memakai lampu negara. Kendati ia seorang presiden, Abdullah bin Umar, putranya memiliki 16 buah tambalan di bajunya. Kendati ia seorang kepala negara, ia pernah hampir terlambat datang waktu shalat jumat karena menunggu baju satu-satunya kering dijemur.
Tak ada alasan untuk memanfaatkan jabatan untuk korupsi atau memperkaya diri waktu di zaman sahabat dahulu. Sesuatu yang jelas berbeda terlihat ketika masa kampanye saat ini. Sudah menjadi pameo di masyarakat, sekian miliar dana yang digelontorkan seorang caleg di masa kampanye. Tentu setelah ia duduk sebagai anggota dewan, ia akan mengembalikan lagi uangnya yang hilang waktu kampanye. Orientasi menjadi caleg sebagai alat untuk memperkaya diri. Sungguh sudah sangat jauh dari apa yang dicontohkan Abu Bakar dan Umar Bin Khattab.
Rasulullah dalam sabdanya, “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka api neraka lebih berhak baginya.” (HR Ahmad).
Apakah tidak ada lagi yang takut pada api neraka, sehingga menjadikan jabatan sebagai sarana memakan harta haram? Tidakkah cukup kekayaan yang sudah diberikan Allah, sehingga harus mati-matian mencari jabatan untuk memakan uang haram? Tentu mereka ini tak akan mencium surga Allah di akhirat kelak. Wallahu a'lam bissawab.