Oleh. Yolanda Hasri Putri (Member Penulis Ideologis)
Jalan tol jadi alat politik? Bagaimana ceritanya fasilitas publik yang berperan sebagai urat nadi kehidupan ini bisa dijadikan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Ini bukan kisah fiktif belaka, namun ini kehidupan nyata. Sebagaimana dilansir dari laman m.ccnindonesia.com pada Sabtu, 02/02/2019. Walikota Semarang Hendrar Prihadi mengajak masyarakat untuk mendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019.
Hendrar bahkan meminta masyarakat tak menggunakan jalan tol bila tak mau mendukung pasangan nomor 01 itu. Hal tersebut disampaikan Hendrar saat menghadiri silaturrahmi Jokowi dengan Paguyuban Pengusaha Jawa Tengah di Semarang Town Square. Hendrar hadir sebagai Ketua Dewan Pimpinan cabang PDIP Kota Semarang. “disampaikan ke saudaranya di luar sana, kalau tidak mau dukung Jokowi jangan pakai jalan tol,” kata Hendrar disambut riuh hadirin.
Politikus PDIP itu menyatakan keberadaan jalan tol yang sudah menyambung dari Jakarta sampai Surabaya itu karena kerja keras Jokowi selama empat tahun terakhir. Oleh karena itu, kata Hendrar masyarakat yang tidak mendukung Jokowi tidak boleh menggunakan jalan tol yang telah dibangun pemerintah.
Jalan tol (jalan bebas hambatan) adalah jalan yang dikhususkan untuk kendaraan bersumbu dua atau lebih (mobil, truk, bus) dan bertujuan untuk mempersingkat jarak dan waktu tempuh dari satu tempat ke tempat lainnya (id.m.wikipedia.org).
Dana pembangunannya diambil sebagian besar dari dana APBN. Salah satu sumber dana APBN tersebut adalah dari pajak. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa pajak dipungut dari rakyat. Baik berupa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak kendaraan, pajak penghasilan, pajak restoran, pajak iklan dan reklame dan jenis pajak lainnya. Jadi pembangunan tol dananya juga bersumber dari dana rakyat yang dipungut berupa pajak.
Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam pasal 34 ayat (3) disebutkan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Namun saat ini, rakyat membayar untuk menikmati fasilitas umum tersebut dengan pemberlakuan tarif tol. Yang seharusnya itu menjadi hak rakyat dan tanggung jawab pemimpin untuk mengurusinya. Aneh memang ketika sesuatu yang dibangun dari uang rakyat dan ketika menggunakannya rakyat disuruh mengeluarkan uang lagi.
Wajar rakyat bertanya, jalan tol dibangun untuk siapa?. Tim pemenangan mengatakan jalan tol dibangun karena kerja keras presiden. Dari pernyataan pada kasus di atas. Jika tidak mendukung penguasa saat ini, jangan gunakan jalan tol. Wajar juga ini terjadi, karena sekarang memang sedang musim politik, yang hangat menggelitik. Pemilihan presiden dan wakil presiden sebagai pesta rakyat dalam sistem demokrasi yang tinggal menghitung hari. Pemimpin Negara dipilih oleh rakyat dan untuk rakyat. Mahalnya biaya politik dan pesta demokrasi membuat calon-calon pemimpin dan tim suksesnya melakukan berbagai upaya untuk meraih kemenangan dalam pesta rakyat itu. Berbagai cara dan alat politik digunakan. Tak ada kayu, rotan pun jadi. Wajar jalan tol menjadi bulanan untuk meraih kemenangan.
Ironi memang, pemimpin yang bertugas mengurusi rakyatnya, melayani rakyatnya. Namun malah menggunakan fasilitas umum untuk melanggengkan kekuasaannya. Padahal memang itulah tugas seorang pemimpin. Teladan kepemimpinan kini telah hilang. Sosok pemimpin yang bersahaja, yang menjadi pelayan bagi rakyatnya. Karena politik dalam Islam bermakna pengaturan urusan umat dengan aturan-aturan Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Aktivitas politik dilaksanakan oleh rakyat dan pemerintah. Dan imam yang memimpin manusia adalah laksana seorang penggembala, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya (HR.Muslim)
Seperti pemimpin kaum muslimin Khalifah Umar bin Khattab ra. Yang terkenal tegas dan tegar dalam memimipin kaum muslimin tiba-tiba menangis, dan kelihatan sangat terpukul. Seekor keledai tergelincir kakinya dan jatuh ke jurang akibat jalan yang dilewati rusak dan berlobang, melihat kesedihannya, sang ajudan pun berkata : “Wahai Amirul Mukminin, bukankah yang mati hanya seekor keledai?”dengan nada serius dan wajah menahan marah Umar bin Khattab berkata: “Apakah engkau sanggup menjawab di hadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah engkau lakukan ketika memimpin rakyatmu?”
Jika kita lihat hari ini, masih adakah sosok pemimpin seperti Umar bin Khattab yang menangis karena jalanan berlubang?. Jika mau menghitung jumlah lubang yang ada dijalanan dan setiap lubang satu kali tangisan pemimpin karena tidak hanya keledai yang terjatuh. Tapi rakyat yang terluka atau bahkan nyawa yang ikut melayang karena lubang di jalanan. Jika ada pemimpin saat ini yang menangis karena itu, mungkin akan kita lihat mata para pemimpin negeri ini banyak yang bengkak karena menangis. Lihatlah kasus tim medis di pelosok negeri yang berjuang melewati puluhan kilometer untuk menjalankan tugas mulia, namun tugas mulia itu terancam karena buruknya kondisi jalan menuju lokasi. Bahkan ada diantara mereka yang melayang nyawanya.
Jauh sebelum kita hidup saat ini, manusia agung teladan terbaik manusia, sudah mengabarkan tentang kepemimpinan ini. Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu itu lemah. Sesungguhnya jabatan itu merupakan suatu amanah (titipan). Jabatan itu nanti pada hari kiamat merupakan suatu kehinaan dan penyesalan kecuali bagi pejabat yang dapat memanfaatkan haknya dan menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya” (HR. Muslim).
Begitulah jika pemimpin menyadari hal ini, kepemimpinan adalah amanah. Matanya tidak tidur karena memikirkan rakyatnya yang hidup ditengah kota, namun tidur beratapkan langit beralaskan kardus. Memikirkan nasib kaum mudanya yang kian hari semakin jauh dari fitrah agamanya. Memikirkan bagaimana menjaga kehormatan perempuan dan laki-laki agar terjauh dari zina. Memikirkan bagaimana kesejahteraan dan fasilitas umum termasuk jalan tol yang dapat dinikmati seluruh rakyat yang menjadi tanggungjawab kepemimpinannya.
Karena ia meyakini bahwa kepemimpinannya adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari penghisapan amal perbuatan. Ia mengambil jabatan pemimpin pun dengan penuh kesadaran untuk menerapkan aturan yang sesuai fitrah dirinya dan rakyatnya serta bumi tempat ia berpijak. Aturan siapa lagi jika bukan aturan yang berasal dari Pencipta yang menciptakan dirinya, rakyatnya, bumi dan alam semesta ini. Pemimpin yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Mengambil amanah jabatan dengan penuh kesadaran dan mampu berlaku adil menerapkan hukum dari Pencipta.