Pajak Ala Kapitalis Menggurita, Rakyat Kian Menderita



Oleh.Tety Kurniawati ( Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat ) 


Pengaturan pajak bagi pelaku usaha di Instagram dan Youtube saat ini, tengah menjadi perhatian pemerintah, setelah beberapa waktu lalu pengaturan pajak bagi pelaku usaha perdagangan elektronik atau e-Commerce diluncurkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018.

Meski begitu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menegaskan, bagi mereka yang memiliki pendapatan di bawah ketentuan Pendapatan Tidak Kena Pajak atau PTKP sebesar Rp45 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun tidak akan dikenakan.

Namun, bagaimana dengan selebritis Instagram (selebgram) dan Youtuber yang memiliki pendapatan di atas itu? Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menilai, pengawasan ketat terhadap sosial media influencer tersebut, memang perlu dilakukan pemerintah. Lantaran, Instagram dan Youtube bagi para selebritas tersebut mampu mendongkrak penghasilan mereka secara fantastis. 

Dia menguraikan, Dewi Sanca saja yang memiliki akun Youtube bernama Dewi Sanca, menjadi Youtuber dan influencer terkenal dengan jumlah subscriber mencapai lima juta pengikut. Berdasarkan data yang diperoleh dari Youtube, kata dia, penghasilan Dewi Sanca pada 2018, mencapai Rp700 juta per bulan. Sedangkan untuk penghasilan selama setahun, Dewi Sanca bisa mendapatkan total Rp8,4 miliar. 

Karena itu, Yustinus menegaskan, mereka patut dikenakan pajak. Namun, perhitungan pajak bagi mereka dapat mengacu ke dalam Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015. (viva.co.id 21/1/19)

Upaya mendongkrak pendapatan negara dari sisi pajak. Sejatinya merupakan konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalis yang memangkas peran negara dalam perekonomian. Dampaknya mudah di duga. Kesejahteraan rakyat diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar dan pihak swasta. Hal ini jelas terlihat pada fungsi pajak sebagai budgeter dan  regulator.

Fungsi budgeter memposisikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Maka menjadi keniscayaan jika dari waktu ke waktu terjadi pembaruan target capaian pajak. Baik dari segi kuantitas berupa nominal rupiah yang dipungut atas pajak. Maupun dari segi kualitas berupa jenis pajak dan jumlah wajib pajak. Di negeri kita tercinta, kejar target begitu kasat mata. Guna memenuhi anggaran pendapatan APBN 2019 sebesar Rp. 2.165.1 triliun, sektor pajak diharapkan bisa menyumbang sebesar Rp. 1.786.4 triliun. Target ini mengalami peningkatan dari APBN 2018 dimana pendapatan sebesar Rp. 1.894.7 triliun, Rp 1.618.1 berasal dari pajak. (kemenkeu.go.id)

Fungsi regulasi memposisikan pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Di negeri tercinta pajak dijadikan sarana mendistribusikan kekayaan dari si kaya ke si miskin. Namun realisasinya APBN negara tidak pernah disusun pro rakyat. Subsidi dipangkas, seiring bengkaknya sisi pengeluaran APBN yang didominasi peningkatan gaji ASN dan pembayaran bunga utang yang tinggi. 

Pajak sebagai alat distribusi tak terealisasi. Justru pajak jadi alat eksploitasi. Sekedar memastikan kepentingan para kapitalis dan birokrat terlayani. Penerimaan negara dari pajak yang notabene terbesar berasal rakyat. Baik melalui pajak langsung maupun tak langsung yang dibebankan pengelola industri melalui tingginya harga barang. Ketika terkumpul alokasinya minim menyentuh rakyat. Terbukti dari besaran dana belanja negara untuk mendukung perdagangan, pengembangan usaha, koperasi dan UKM, sektor pertanian, kehutanan, perikanan serta kelautan. Hanyalah kecil dibanding alokasi pembayaran bunga utang luar negeri. Bahkan atas dasar minimnya anggaran, jaminan sosial yang menjadi kewajiban negara pun beralih ke pihak swasta.Terang dan jelas. Pajak ala kapitalis yang menggurita hanya membuat rakyat makin menderita. 

Islam mengatur  kesejahteraan rakyat merupakan tanggungjawab utama negara. Maka posisi pajak pada APBN negara bukan berupa penerimaan tetap. Tapi sekedar pungutan insidentil pada kondisi tertentu. Ketika kas Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi. Sementara ada kebutuhan pembiayaan mendesak terkait kaum muslimin yang harus segera terpenuhi. Hanya dipungut dari orang kaya muslim yang jumlahnya tidak boleh melebihi kebutuhan. Haram hukumnya memungut pajak secara rutin dan terstruktur. Apalagi berpotensi membebani dan membuat rakyat menderita. Rasulullah SAW bersabda, " Tidak boleh mencelakakan orang lain dan tidak boleh mencelakakan diri sendiri" ( HR Ibnu Majah dan Ahmad). 

Demikianlah kepedulian Islam terkait kesejahteraan rakyat.  Menyelesaikan masalah dari akarnya dan menutup tiap celah penyimpangan yang berpotensi menyulitkan upaya meraih kesejahteraan. Sudah saatnya kita kembali menerapkan aturan Islam secara totalitas. Agar rahmatan lil alamin mewujud nyata dalam kehidupan. Wallahu a'lam bish showab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak