Rosmiati , S.Si
(Pemerhati Sosial)
“Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (pasal 27 ayat 3 UU ITE Tahun 2008)” Itulah bunyi dari salah satu pasal UU ITE yang kemudian menjerat banyak orang. Bahkan menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan bahwa sudah 74 orang yang menjadi korban akibat UU tersebut.
Tentu kita masih ingat kasus Buni Yani di tahun 2016 silam yang juga terjerat UU ITE akibat postingannya yang dinilai menyebarkan kebencian dan berbau SARA. Buni Yani dijerat dengan pasal 28 ayat (2) UU No 11 Tahun 2008 (detiknews, 24/11/2016). Dan pada tahun ini kembali seorang musisi tanah air sekaligus caleg dari Partai Gerindra ditahan akibat pelanggarannya terhadap UU ITE. Ahmad Dani dikatakan terbukti melakukan ujaran kebencian melalui postingan di salah satu akun media sosialnya. Politisi dari Partai Gerindra itu pun ditahan dengan hukuman penjara 1,5 tahun. Meskipun sebelumnya (tahun lalu) salah satu kuasa hukumnya, Ali Lubis mengatakan bahwa ahli bahasa dari pihak jaksa penuntut menilai twit Ahmad Dani itu pendapat bukanlah ujaran kebencian. (Tirto id, 19/11/2018)
Kebebasan berpendapat tentu bukanlah hal yang dilarang untuk diekspresikan di negeri ini. Pasalnya hal itu didukung oleh konstitusi diatur pada pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Itulah mengapa ketika UU ITE diterapkan banyak kalangan yang mengajukan agar pasal 27 ayat 3 UU ITE ini dihapus. Dikarenakan pasal ini berpotensi untuk menjadi pasal karet. Terlebih lagi jika diterapkan oleh pihak-pihak yang tak paham soal dunia maya dan juga dapat digunakan untuk menjerat orang-orang demi membungkam kritik (Kominfo, 04/02/15).
Tak pelak tak sedikit yang berkomentar bahwa penangkapan Ahmad Dani syarat dengan aroma politik, terlebih lagi kejadiannya tepat pada masa-masa kampanye dimana waktu menuju 17 April tinggal hitungan hari. Dan disisi lain, Ahmad Dani juga merupakan caleg dari partai oposisi yang secara notabenenya bersebrangan dengan pemerintah. Meskipun berulang kali pernyataan itu ditepis oleh kubu petahana sayangnya publik sudah terlanjur mengantongi asumsi yang demikian.
Adapula yang mengatakan bahwa penahanan Ahmad Dani malah akan mempengaruhi elektabilitas dari petahana. Menurut salah satu pemerhati ruang publik yang dilansir dari inikata.com (4/02/2019) mengungkapkan bahwa penahanan Ahmad Dani selaku musisi tanah air yang cukup berpengaruh dan memiliki pengikut atau fans yang cukup banyak menjadi hal yang harus dipikirkan oleh penguasa saat ini. Tentu para idola atau penggemarnya akan turut mempertimbangkan hendak kemana pada 17 April nanti.
Begitu pula dengan fans dari putera-puteranya yang juga melimpah ruah dari kalangan milenial. Tentu mereka pun akan kembali berpikir terkait pilihan politiknya kelak. Maka sudah barang tentu hal ini akan cukup mempengaruhi citra penguasa di mata masyarakat. Terlepas dari apa yang dikatakan Ahmad Dani itu benar atau salah. Namun, satu hal yang terindra bahwa kebebasan dalam berargumen di negeri ini berujung kurungan penjara.
Senada dengan itu ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar, melalui media sosialnya juga menuturkan ketidaksetujuannya jika kebebasan berpendapat itu selalu berujung pada penahanan “Saya tidak setuju memenjarakan ide, gagasan dan wacana. Keberhasilan reformasi yang bisa dibanggakan salah satunya adalah kebebasan berpendapat dan berpikir, agar bangsa kita menjadi cerdas” (Inikata.com, 04/02/2019).
Selain Ketua Umum PKB, Fadli Zon juga menilai bahwa hukum kian tajam bagi mereka yang berseragam oposisi tapi tumpul kepada mereka yang sejalan dengan petahana. Misalnya kasus Viktor Laiskodat yang dilaporkan oleh sejumlah partai politik ke Bareskrim dengan tuduhan melanggar UU No 19 Tahun 2016 ITE dan pasal 156 KUHP tentang penistaan agama, serta pasal 4 dan Pasal 16 UU No 40 Tahun 2008 tentang penghasutan Diskriminasi Ras dan Etnis. Akan tetapi, kasus ini tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisisan. (CNNIndonesia, 06/07/2018).
Kepemimpinan Anti Kritik, Demokrasi Biangnya?
Sangat wajar jika publik hari ini menilai bahwa rezim saat ini represif dan anti kritik sebab berangkat dari fakta yang kian dipertontonkan oleh pemerintah. Nyaris banyak oposisi yang dijebloskan ke penjara. Bahkan saat ini Rocky Gerung selaku pengamat politik yang aktif mengkritik rezim Jokowi-JK pun sedang dalam proses pemeriksaan juga. Entah mengapa mereka yang kerap kali bersuara keras terhadap kebijakan rezim selalu saja ditemukan deliknya untuk dipermasalahkan.
Tentu ini sangat disayangkan, padahal aktivitas kritik-mengkritik adalah hal yang lumrah dalam kehidupan berdemokrasi. Oposisi memang tugasnya mengkritik kebijakan demi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah jika dinilai tidak pro rakyat. Sebagaimana dilansir dari media daring kabarhukum bahwa kehadiran oposisi dalam sistem demokrasi adalah upaya subjek untuk mengaktualisasikan makna demokrasi hakiki. Disamping itu, eksisnya oposisi menjadi salah satu pembeda antara negara demokrasi dan non demokrasi. Oposisi pun menjadi kekuatan pengontrol dan penyeimbang jalan pelaksanaan pemerintahan dalam suatu negara, sehingga pemerintah dan negara dapat dicegah untuk tidak terjerumus ke dalam keadaan abuse of power .
Oleh karena itu, jika menolak untuk dikritisi maka sesungguhnya pemerintah telah melanggar prinsip-prinsip dalam kehidupan berdemokrasi. Aturan yang ada di dalamnya potensial menjadi alat untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan alhasil minim dari hasrat memperjuangkan kepentingan rakyat. Membungkam suara kritis oposisi tentu sama saja dengan memutus hak rakyat untuk mendapatkan informasi terkait pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kesejateraan mereka. Jika ruang ini ditutup maka kemungkinan ada benarnya ungkapan oposisi, hingga tidak dikendaki untuk rakyat mengetahuinya.
Solusi Mustanir
Sistem politik Islam memberi ruang yang seluas-luasnya kepada ummat melakukan kritik terhadap kebijakan khalifah di masanya. Perkara ini lebih dikenal dengan istilah Muhasabah Lil Hukam. Hal ini bertolak dari Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi: “ Agama itu adalah nasihat” Lalu para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Nabi pun menjawab:” Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.” (HR Muslim,Abu Dawud, Ahmad)
Hadist diatas memberikan penekanan bahwa pentingnya untuk menasehati pemimpin kaum muslimin juga kaum muslimin seluruhnya. Bahkan di hadist lain Rasul Saw memuji perbuatan ini. “ _Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.”(HR Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim)
Hal ini pun pernah terjadi di masa kepemimpinan Umar bin Khathab. Dimana ketika itu Umar mengeluarkan sebuah aturan yang ditujukan kepada kaum wanita untuk tidak memahalkan mahar. Sang Khalifah membatasi agar mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara dengan 50 dirham. Jika lebih dari itu, maka akan diambil dan dimasukan ke dalam baitul mal. Kebijakan ini ditolak oleh seorang wanita. Lalu ia pun menemui Umar mengatakan keberatannya dengan kembali mengutip salah satu ayat dalam Al-Qur’an QS An-Nisa ayat 20. Umar pun menerimanya dan mengakui kekeliruannya itu dihadapan banyak orang. Umar seorang pemimpin berkelas di masa itu yang dikenal tegas bahkan setan pun takut kepadanya, tunduk, ketika terbukti ia keliru dan mau menerima itu bahkan kembali mengklarifikasinya di depan khalayak ramai.
Dari kisah sang khalifah kita belajar bahwa pemimpin yang diamanahi untuk mengurus urusan umat juga harus siap untuk menerima kritikan ataupun masukan dari masyarakat selama apa yang disampaikan tidak melanggar syariat. Bahkan ketika terbukti salah sekali pun ia tak boleh sungkan untuk mengakui kekeliruannya serta bersedia memperbaikinya demi kemaslahatan seluruh penduduk negeri yang dipimpinnya.
Wallahu’alam bishshowab