Oleh: Nur Hasanah, SKom (Pengamat Media)
Mendulang Suara Dengan Segala Cara
Politisi dalam sistem Demokrasi sering berulah menghalalkan segala cara demi memenangkan kekuasaan. Karena kemenangan harus diraih dengan memperoleh suara terbanyak, para politisi kerap mengambil kesempatan dalam setiap situasi. Menyebarkan kebohongan dan menggoreng berita sudah menjadi hal yang biasa. Tak peduli akan ada yang dirugikan, demi mendulang suara, ulama pun tak luput menjadi korban.
Dengan dalih untuk meminta didoakan agar menang dalam kancah pemilihan, para politisi kerap sibuk mencari simpati para ulama yang memiliki banyak suara. Kunjungan demi kunjungan dilakukan untuk menemui para ulama, pemilik pondok pesantren, dengan harapan mendapatkan sumbangan suara besar saat pemilihan umum. Di tahun politik, ulama-ulama menjadi rebutan untuk di kunjungi secara bergantian. Padahal, sebelum tahun politik, ulama sering menjadi korban persekusi dan dicap radikal karena isi kajian. Setiap menjelang pemilu, mereka berusaha menarik dan menceburkan para ulama ke dalam permainan politik praktis.
Mengemis Doa Ulama Demi Mengais Suara
Kiai Maimun Zubair, yang lebih akrab disapa Mbah Moen, dikunjungi juga oleh Presiden Jokowi beserta istrinya dan tim kemenangannya. Dalam acara Sarang Berzikir untuk Indonesia Maju, beliau duduk bersebelahan dengan Presiden Joko Widodo, sebagai kandidat capres nomor urut 1. Acara tersebut diadakan di Pondok Pesantren Al-Anwar, Rembang, Jawa Tengah pada Jumat, 1 Februari 2019. Sayangnya, pada saat Mbah Moen membacakan doa penutup, Mbah Moen menyebut nama kandidat calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, bukan Jokowi.
"Ya Allah, hadza ar rois, hadza rois, Pak Prabowo ij'al ya ilahana," kata Mbah Moen dalam rekaman video. Kurang lebih maknanya adalah 'ya Allah, inilah pemimpin, inilah pemimpin Prabowo, jadikan, ya Tuhan kami'. (tempo.co, 2 Februari 2019)
Kubu Jokowi tak mau kehilangan momentum untuk mendapatkan kejelasan dukungan kiai Mbah Moen, dengan sigap ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan, Muhammad Romahurmuziy alias Romi, menghampiri Mbah Moen dengan membisikkan sesuatu kepada Mbah Moen, sehingga Mbah Moen kembali melantunkan doa untuk kedua kalinya kemudian menyebut nama Jokowi.
Melalui akun Twitter miliknya, @MRomahurmuziy, Romi mengunggah video Mbah Moen di kamar pribadinya bersama presiden Jokowi dan Romi saat memberikan pesan. Romi lantas meminta Mbah Moen memaparkan pesan-pesan yang perlu disampaikan untuk para santri.
"Ya pasti. Saya sampaikan supaya bisa santri-santri itu ya ikut Kiai," kata Mbah Moen. (tribunnews.com/2019/02/02)
Dari kejadian itu, bisa kita bayangkan karakter yang dimiliki para politisi dalam Demokrasi, mereka sangat haus kekuasaan. Walau mereka mengemis-ngemis doa dari ulama, sebenarnya mereka bukan benar-benar mengharapkan doa dari ulama, tetapi ingin mengetahui kepastian dalam meraih dukungan suara saat pemilihan. Kiai Mbah Moen adalah ulama yang memiliki kantong suara pemilih yang banyak. Kepastian itu menjadi modal keyakinan untuk melenggang menjadi pemenang dalam pemilu mendatang.
Dalam Demokrasi, tidak dipentingkan syarat-syarat pemilih maupun yang dipilih. Semua bisa dimanipulasi dengan uang. Calon presiden sebagai orang yang dipilih, tidak perlu orang yang berilmu dan taat pada Allah. Seorang koruptor pun bisa mencalonkan diri, asal memenuhi persyaratan modal dan dikenal di masyarakat, agar berpotensi meraih suara terbanyak.
Ketentuan pemilihpun tidak dipentingkan kualitasnya. Orang berpendidikan dengan orang bodoh bobotnya sama dalam Demokrasi. Bahkan orang waras dengan orang gila pun nilainya tiada beda. Sehingga dengan mudah dimanfaatkan oleh para politisi busuk untuk meraih suara dari kalangan orang-orang bodoh dengan cara yang curang.
Peran Ulama Dalam Islam
Tidak seperti dalam Demokrasi, peran ulama menjadi alat penguasa untuk melegitimasi kebijakan. Dalam Islam, peran ulama sangat penting dan dimuliakan. Perannya sebagai pewaris nabi, dijadikan rujukan oleh penguasa dalam mengambil kebijakan pengurusan umat. Ulama dalam Islam berperan sebagai pihak yang terdepan dalam melakukan muhasabah kepada penguasa, sehingga nasihatnya selalu dinantikan oleh penguasa.
Ulama dalam Islam memiliki kekuatan ilmu untuk menjalankan kewajibannya menjalankan syariat Islam, sehingga tidak mudah diombang-ambing oleh penguasa yang mengemis jabatan. Dalam Islam, ada larangan untuk meminta jabatan.
Riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim no. 1825)
Seorang yang berilmu akan takut dan malu mengemis jabatan kepada ulama, karena dalam Islam amanah memimpin itu tanggung jawab yang berat. “Seorang hamba yang diberi Allah SWT kepercayaan memimpin rakyatnya, dan ia mati dalam keadaan menipu rakyat, pasti Allah mengharamkan surga baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)