Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah pemerhati perempuan dan generasi)
Sejumlah maskapai penerbangan di Indonesia mengeluhkan mahalnya harga bahan bakar avtur yang dijual oleh PT Pertamina (Persero). Hal itu pun akhirnya memicu kenaikan harga tiket beberapa waktu lalu.
Manager External Communication Pertamina Arya Dwi Paramita menilai harga avtur yang dibeli oleh maskapai merupakan harga yang sudah disepakati dalam kontrak jangka tertentu. "Harganya mengacu pada Mean of Platts Singapore (MOPS), maka ketika harga minyak dunia turun, harga avtur juga mengalami penyesuaian. jadi pada prinsipnya kami yakin harga kami kompetitif," ujarnya kepada JawaPos.com (grup Manado Post), Rabu (16/1).
"Sementara untuk penerbangan non reguler, maka Pertamina akan memberlakukan harga yang berbeda sesua dengan kondisi pasar pada saat itu," tegasnya.
Selain itu, lanjut Arya, ada beberapa hal yang mempengaruhi harga avtur selain minyak dunia. Sebut saja nilai tukar mata uang, biaya distribusi, supply chain dan lain-lain.
"Sehingga kita harus cermat jika membandingkan harga avtur di satu bandara dengan bandara yang lain. Karena kondisinya bisa jadi berbeda dan tidak setara untuk diperbandingkan," pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Indonesian National Air Carriers Association (INACA) I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau Ari Askhara memahami kondisi avtur yang sulit untuk diturunkan. Hal itu membuat pihaknya bergantung kepada keputusan pertamina untuk menurunkan harga bahan bakar tersebut.
"Saya tidak juga memaksa diturunkan, tapi saya sampaikan ke masyarakat bahwa jika pertamina bisa turun maka kami juga bisa turun (harga tiket)," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (15/1).
Saat ini, Ari belum mendapat komitmen pasti terkait penurunan harga avtur. Jika benar bisa diturunkan, dipastikan harga tiket pesawat ke sejumlah destinasi favorit bisa lebih murah.
"Kami belum dapat konfirmasi definitif dari pertamina, belum dapat konfirmasi dari AP I dan AP II, tapi kami sudah dapat komitmen verbal saja. Sekarang saja Jakarta-Surabaya sudah bisa Rp 500 ribu, Jakarta-Jogja juga bisa Rp 300-400 ribuan," kata Ari.
Sekedar informasi, mengacu situs Pertamina Aviation, harga Avtur setiap lokasi berbeda. Misalnya, untuk Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh, harga Jet A-1 dibanderol Rp 9.800 per liter ke pengiriman pesawat. Sementara, di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng harga Jet A-1 yang dijual Pertamina ke pengiriman pesawat sebesar Rp 8.410 per liter.
Adapun harga Jet A-1 di bandara Juanda Surabaya sebesar Rp 9.080 per liter. Sementara, di Bandara Frans Kaisiepo Biak Papua mencapai Rp 11.280 per liter. Adapun harga ini belum termasuk PPN 10 persen dan pajak penghasilan 0,3 persen, harga tersebut juga tidak berlaku untuk penerbangan internasional (Manadopostonline.com, 17/2/2019).
"Berdasarkan data WFS Shell dan China National Aviation Fuel (CNAF) dan Blue Sky yang selalu diterbitkan secara periodik, harga avtur Pertamina di Soekarno Hatta 42,3 sen per liter. Harga tersebut lebih murah dibandingkan dengan beberapa harga avtur di bandara internasional lainnya, seperti Changi, Singapura sebagai salah satu bandara tersibuk di dunia yang mencapai 56,8 sen per liter, dan bandara INLAND di China yang sebesar 46,13 sen per liter-nya.
Bahkan harga avtur Pertamina ini, perbandingannya dua kali lipat lebih murah dibanding bandara SYD Kingsford di Australia dengan harga 103,11 sen per liter" Jelas Ekonom Konstitusi Defiyan Cori.
Dikutip dari kumparan, harga avtur saat ini sedang dalam tren penurunan sejak Oktober 2018. Rata-rata harga avtur dunia yang pada Oktober 2018 berada pada level USD 2,25 per Gallon turun 13,52 persen menjadi USD 1,95 per Gallon pada November 2018.
Harga avtur kembali turun menjadi USD 1,71 per Gallon pada Desember 2018 alias melemah 11,98 persen. Harga avtur baru sedikit menguat pada Januari 2019, yakni menjadi USD 1,79 per Gallon atau meningkat 4,73 persen.
Dalam keterangan tertulis yang dikirim pada 1 Februari 2018 lalu, maskapai-maskapai penerbangan yang tergabung dalam Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mengakui bahwa kenaikan harga tiket tak berkaitan dengan avtur.
Kenaikan harga tiket pesawat disebabkan bertambahnya biaya oprasional lain dan upaya maskapai menutupi kerugian yang mereka alami karena perang tarif selama beberapa tahun belakang.
Dari fakta-fakta ini, telihat jelas kebohongan yang dilakukan Presiden demi memuluskan agenda memasukkan swasta dalam penjualan avtur. Sehingga pihak swasta bisa bersaing bebas dengan Pertamina. Bukan suatu kebetulan tak lama setelahnya Direktur Utama AKR, Haryanto Adi koesoemo mengatakan siap masuk ke bisnis bahan bakar pesawat. “Kami sudah set up dengan BP untuk avtur, ini sedang dalam tahap. Kami akan masuk ke bandara dan lebih konsentrasi ke Indonesia Timur,” ujar Haryanto, Rabu (13/22019).
PT AKR (Aneka Petroindo Raya) dan BP (British Petroleum, perusahaan migas Inggris), sebelumnya memang sudah bekerja sama untuk membangun SPBU pertama mereka di Serpong dan berencana untuk membangun 350 SPBU lain selama satu dekade ke depan. Bersamaan dengan itu, dua perusahan yang berkalobasi ini berupaya untuk menjadi pesaing Pertamina dalam menjual avtur di bandara, rencana ini sudah diinisiasi sejak 2017 lalu.
Kejadian ini bukan sesuatu yang mengagetkan, karena keran liberalisasi migas memang sudah dibuka sejak revisi UU Migas pada 2001 lalu. Sejak saat itu, perlahan tapi pasti sektor swasta mulai masuk untuk membuka usaha bukan hanya di sektor hulu (kilang migas) namun juga sektor hilir. Sebuah ironi, karena UUD Indonesia sesungguhnya mengatur bahwa pengelolaan SDA yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak haruslah dilakukan oleh negara saja. Hal ini adalah amanat konstitusi yang telupakan.
Bahaya dari liberalisasi migas adalah kepemilikan SDA yang menjadi kepentingan orang banyak jatuh pada pemilik modal (kapitalis). Mereka akan mengatur harga sesuai dengan kepentingan mereka (kartel) dan situasi pasar secara bebas. Lalu keuntungan bisnis tersebut hanya dinikmati oleh segelintir kapitalis yang menguasai migas.
Berkebalikan dengan sistem ekonomi Islam yang memandang bahwa air, api (energi), dan padang rumput adalah milik umat, dan umat berserikat atas ketiganya. Jadi tiga komoditas ini bukanlah milik negara apalagi swasta, namun milik umat bersama-sama. Negara hanyalah pengelola yang harus mengembalikan benefit dari pengelolaan tersebut ke pemilik asalnya (umat).
Tidakkah kita sudah kenyang menyaksikan selama puluhan tahun bahwa harta hanya beredar di antara orang kaya saja, yaitu mereka yang memiliki modal untuk menguasai komoditas yang strategis? Mereka hanyalah satu persen dari seluruh penduduk dunia. Di saat yang sama milyaran penduduk dunia lainnya harus berjuang (membayar mahal) untuk mendapatkan air besih dan bahan bakar.
Untuk mengakhiri ketidakadilan ini tidak ada cara lain kecuali mengubah aturan main tentang kepemilikan. Kita harus mencampakkan prinsip kebebasan kepemilikan yang lahir dari sekularisme-kapitalisme, dan mengikuti aturan Allah terkait kepemilikan. Allah subhanahu wa ta'ala, melalui sistem ekonomi Islam yang komprehensif sudah mengatur batas-batas kepemilikan individu, swasta, negara, juga koridor syar’i pengelolaan dan distribusinya.(Tri S).