Oleh R. Alnadra (Founder Penulis Ideologis)
Para pejabat di beberapa daerah Sumatera Barat tampaknya mulai cemas, melihat fenomena kemaksiatan yang sudah menggurita dimana-mana. Setidaknya ini tergambar dari maraknya pembahasan wacana terkait upaya penyelesaian aturan hukum yang mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual. Baik itu berupa kejahatan seksual, pelarangan perilaku LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dan lain-lain.
Sebut saja DPRD Bukittinggi, mulai melirik Perda Anti LGBT. Sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama dan kaum adat melalui LKAAM Bukittinggi bahkan sudah mengirimkan surat kepada Pemko dan DPRD untuk segera menyusun aturan hukum yang mengatur pelarangan perilaku LGBT. (Singgalang, 02/02/2019)
Sebelumnya November tahun lalu, DPRD Pariaman sudah merevisi Perda Ketentraman Dan Ketertiban yang memuat tentang LGBT. Dengan menetapkan ganjaran berupa sanksi dan denda satu juta rupiah bagi pelaku. (Detiknews, 29/11/2018)
Senada dengan hal tersebut Pemprov Sumbar juga bakal mengeluarkan Perda Ketahanan Keluarga untuk menangkal penyebaran perilaku LGBT sekaligus diproyeksikan mencakup berbagai ketentuan terhadap perilaku menyimpang lain seperti, narkoba, tawuran, juga Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Menggantikan perda No. 11 Tahun 2001 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Maksiat yang dianggap sudah tidak relevan dengan jaman. (Haluan, 28/12/2018)
Skenario dibalik RUU P-KS
Tak dipungkiri kekerasan seksual memang telah menjadi isu global--mayoritas menimpa perempuan dan anak. Ini adalah dampak dari arus liberalisasi yang kian hari mengalami peningkatan kasus. Buktinya dari data tahunan 2017 Komnas Perempuan, tercatat 348.446 kasus kekerasan yang dilaporkan selama tahun 2017. Angka tersebut naik 74 persen dari tahun 2016 sebanyak 259.150 (www.komnasperempuan.go.id)
Direktur Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (Spek-HAM) Rahayu Purwaningsih beralasan, untuk mencegah semakin meningkatkan kasus kekerasan terhadap perempuan harus ada payung hukum, yaitu segera melegalisasi RUU P-KS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual)
Mengingat masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 akan segera berakhir. Sejumlah pihak mendesak disahkan RUU P-KS. RUU ini dibahas oleh Komisi VIII yakni bidang agama, sosial dan pemberdayaan perempuan. Rencananya ditargetkan ketok palu tahun 2018 lalu namun sampai kini masih mangkrak. Ini juga dikeluhkan oleh sejumlah pihak.
Lebih lanjut dalam rumusan RUU P-KS terdapat sembilan bentuk kekerasan seksual yang memenuhi unsur tindak pidana. Yaitu : 1). Pelecehan seksual; 2). Eksploitasi seksual; 3). Pemaksaan kontrasepsi; 4). Pemaksaan Aborsi; 5). Perkosaan; 6). Pemaksaan perkawinan; 7). Pemaksaan pelacuran; 8). Perbudakan seksual, dan 9). Penyiksaan seksual. Draft RUU ini dinilai dapat melindungi perempuan dan anak.
Ilusi Pragmatis
Jika dikaji ulang dari sejumlah pasal draft kekerasan seksual yang diatur RUU tersebut tampak jelas bahwa ada ketidaksesuaian dengan harapan masyarakat. Sekilas terkesan dapat menyelesaikan masalah kekerasan seksual, kejahatan dan penyimpangan seksual. Justru sebaliknya tipu daya RUU ini malah menjadi aturan yang melegalkan kebebasan seksual--jauh dari nilai agama dan cenderung sekuler.
Disinyalir pihak dibalik layar--penyusun draft RUU P-KS ini adalah Komnas Perempuan yang merupakan pihak yang terkenal lantang menolak pengaturan zina dan LGBT--juga di dukung penuh oleh PSI (Partai Solidaritas Indonesia)
Solusi Buatan Manusia
Banyak kalangan menilai RUU P-KS justru merupakan pasal karet dan multi tafsir. Wali Kota Padang, Mahyeldi Ansharullah merupakan walikota pertama di Indonesia yang menolak keras draf RUU P-KS yang diusulkan sejumlah Fraksi di DPR RI. Alasannya, draf RUU P-KS mengancam hilangnya fungsi agama, adat dan sosial budaya, serta peran orang tua dalam mendidik anak. (Viva.co.id)
Dari situ upaya pencegahan mulai dicarikan jalannya. Salah satunya, dengan membuat Peraturan Daerah (Perda). Sebagai bagian dari perlindungan terhadap warganya. Tapi, bukannya melindungi justru perda yang dibuat hanyalah tambal sulam dari perda sebelumnya. Menerbitkan perda tidak menuntaskan akar masalah. Kejahatan seksual akan terus menyeruak dengan berbagai bentuknya.
Baru-baru ini saja warganet dihebohkan dengan beredarnya komik muslim berkonten LGBT di jagad maya, belum lagi gempuran "Drag Queen" yang menyasar kalangan anak dibawah umur, juga viralnya video mesum inces di media sosial dan masih banyak lagi.
Walaupun perda dianggap sebagai kontrol pemerintah. Padahal jelas ini merupakan solusi parsial yang membius pandangan manusia. Akibatnya masyarakat merasa nyaman dengan keberadaan perda yang dianggap sebagai solusi kemelut kekerasan, kejahatan dan penyimpangan seksual.
Jika dibiarkan begitu saja--ketika kemaksiatan "kekerasan seksual" sudah merajalela dan masyarakat sudah terbiasa terpapar dengan konten ini, bahayanya masyarakat akan menganggap kemaksiatan menjadi hal yang lumrah.
Perspektif Islam
Sesungguhnya merebaknya kasus kekerasan seksual akibat mengikisnya pemahaman dan nilai-nilai agama dari masyarakat, hasil dari sekulerisme dan liberalisme. Jika masyarakat sadar dan mau kembali menjadikan islam sebagai tuntunan kehidupan, gempuran kekerasan seksual dapat terselesaikan.
Sebagaimana firman Allah SWT, dalam Alqur'an surat An Nahl ayat 89 Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim)."
Dari ayat tersebut Allah menyatakan betapa lengkapnya aturan islam sebagai solusi seluruh problematika manusia. Karena itu ketika kita beriman kepada Allah, bukan hanya terikat dengan hukum Allah, tapi perintah-perintah Allah pasti membawa kebaikan untuk manusia.
Adapun terkait segala bentuk kemaksiatan berupa kejahatan, kekerasan dan penyimpangan seksual merupakan cabang dari interaksi pria dan wanita. Islam juga mengatur sistem pergaulan antara pria dan wanita (An Nizham al-ijtima'i). Seperti larangan berkhalwat, Pengasuhan anak, dan lain-lain. Termasuk berbagai persoalan dalam RUU P-KS seperti kasus pemaksaan pernikahan dan sebagainya.
Dalam perspektif islam, undang-undang dibuat dalam rangka menjalankan syariat islam. Sehingga RUU harus melalui proses pengkajian dengan memahami realitas fakta atau masalah dengan cemerlang, kemudian menggali solusi permasalah dari nash-nash syara, yang dikaitkan dengan realitas masalah dalam sistem pergaulan islam (Ijtima'i). Hal ini berbeda dengan pemecahan solusi kaum kapitalis yang menjadikan realitas fakta atau masalah sebagai sumber hukum yang digali dari pemikiran maupun sistem kufur.
Maka sudah sepatutnya fakta tersebut harus dihukumi dengan hukum islam. Sebab menghukumi sesuatu dengan hukum selain hukum Allah, bagi seorang muslim tidak halal mengambilnya.