Membangun Kepemimpinan dengan Kebohongan dan Pencitraan Tidak akan Berkah


Oleh: Tri S, S.Si

(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)


Melihat realita apa yang sedang terjadi hari ini, rasanya persis seperti apa yang disabdakan baginda Rasulullah saw pada 14 abad yang lalu. Kala itu beliau bersabda, “Akan datang pada manusia tahun-tahun yang penuh tipudaya. Pada tahun-tahun itu pendusta dibenarkan, orang jujur didustakan, pengkhianat dipercaya, orang terpercaya dianggap pengkhianat. Pada masa itu yang banyak berbicara adalah ruwaybidhah,“. Lalu ada yang bertanya, “Apa itu ruwaybidhah?” Rasul menjawab, “Yaitu orang dungu yang berbicara tentang urusan orang banyak“. Hadits shahih ini diriwayatkan oleh Ibu Majah ra. 

Dalam hadits ini Rasulullah saw  dengan jelas menggambarkan sebuah situasi politik yang sangat kacau yang akan dihadapi umat Islam di penghujung jaman. Dan kekacauan ini tak lain disebabkan munculnya rezim kekuasaan yang jauh dari tuntunan syariat karena membangun kekuasaannya di atas kedustaan dan pengkhianatan terhadap petunjuk kebenaran.

Rauwaybidhah. Itulah nama yang Rasul sematkan untuk menggambarkan prototipe kepemimpinan seperti itu. Dicirikan oleh beliau sebagai kepemimpinan politik yang didominasi dan disetir oleh orang-orang dungu. (Muslimahnews.id). 

Dungu dimaksud tentu bukan karena level intelektualitas mereka kurang. Melainkan terkait dengan minusnya visi dan kapabilitas para pejabat penguasa dalam menjalankan fungsi kepemimpinan politiknya. Sehingga alih-alih digunakan untuk mengayomi dan melayani umat, kekuasaan yang ada padanya justru dijadikan alat untuk memenuhi syahwat pribadi atau kelompok yang mengitari kekuasaannya.

Iklim yang terbangun di bawah payung kekuasaan seperti ini pun digambarkan sebagai iklim yang penuh intrik dan tipudaya. Persis sebagaimana terjadi saat ini. Politik elektoral hari ini faktanya memang kian dipenuhi dengan narasi berbau hoax, kebohongan dan berbagai bentuk pencitraan.

Terlebih jelang perhelatan pesta demokrasi sekira dua bulan ke depan. Eskalasi politik bahkan terasa kian brutal. Masing-masing kubu mengeluarkan berbagai jurus jitu sebagai ikhtiar memenangi kontestasi, tak peduli halal haram. Saling serang, saling hujat, saling fitnah dan saling menjatuhkan.

Bahkan rezim pemegang kekuasaan hari ini tak sungkan-sungkan memproduksi narasi kedustaan untuk memenjara dan memberangus pihak lawan. Seolah-olah, strategi politik kotor semacam ini absah saja dilakukan. Dan semua tak lain demi meraih dan melanggengkan kekuasaan.

Mirisnya, tak sedikit masyarakat yang kian kehilangan sikap kritis dan kepekaan. Sebagian dari mereka justru tergiring untuk turut menerima semua kondisi ini sebagai sebuah kewajaran. Bahkan ada yang akhirnya terjebak dalam fanatisme buta yang berujung perseteruan.

Media pun nampak berperan besar menciptakan situasi ini. Media yang selalu digadang-gadang sebagai salah satu pilar demokrasi, kian menampakkan wajah aslinya. Yakni sebagai corong kekuasaan sekaligus alat politik membungkam lawan.

Nyaris semua media mainstream tak malu mempertontonkan keberpihakan. Menanggalkan netralitas dan baju profesionalitas, dengan turut menjadi amplifier berbagai opini manipulatif hingga memapar akal sehat masyarakat dan mempertajam perpecahan. Bahkan tak sedikit media yang digunakan untuk memproduksi dan menjual kebohongan, sedemikian rupa kemasannya hingga tak lagi jelas mana benar mana salah.

Dalam sistem politik demokrasi, semua kekacauan ini memang sangat diniscayakan. Ini dikarenakan, demokrasi tegak di atas asas sekulerisme liberalisme yang menafikan peran agama sekaligus mempertuhankan kebebasan. Jargon vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan) yang menjadi ruh ide demokrasi menunjukkan bahwa halal haram tak ada tempat dalam pengaturan kehidupan. Semua serba profan, tak punya visi keakhiratan.

Wajar jika paradigma seperti ini justru menjauhkan politik dr fungsi hakikinya. Yakni sebagai sebuah sistem atau mekanisme pengurusan dan perlindungan umat agar dengan politik itu mereka mampu meraih kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Dan secara praktis, politik ini mewujud dalam bentuk sistem kepemimpinan atau kekuasaan.

Dalam Islam, politik itu mulia dan agung, karena politik tak hanya berdimensi duniawiyah alias profan tapi juga ukhrawiyah. Dengan politik, negara dan penguasanya mengurus dan melindungi umat atau rakyat hingga mereka bisa merasakan kebahagiaan hidup sebagai manusia, sekaligus bisa memfungsikan dirinya sesuai dengan tujuan penciptaan. Yakni sebagai khalifah pembangun peradaban sekaligus penebar rahmat di muka bumi. Bukan sebagai pembuat kerusakan atau penebar laknat ke seluruh alam.

Itulah mengapa peradaban yang dibangun oleh sistem politik demokrasi saat ini tak mampu menyaingi peradaban yang pernah berhasil dibangun oleh sistem politik Islam. Sejak umat dipaksa mengadopsi sistem rusak ini, umat justru kehilangan martabatnya sebagai khairu ummah. Sebuah martabat yang justru belasan abad sebelumnya, saat umat diurus dengan sistem politik Islam, terus tersemat dan melekat sebagai jati diri hakiki umat Islam.

Dengan sistem politik demokrasi, kekuasaan dan kepemimpinan terbuka lebar buat para kriminal, pelaku kemaksiatan, bahkan para penganut kekufuran asalkan mereka punya banyak uang atau didukung oleh para pemilik modal. Wajar jika akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan tak sedikit yang jauh dari nilai-nilai kebenaran, menumbuh suburkan perilaku koruptif, liberal, memiskinkan, bahkan memberi karpet merah terhadap penjajahan dan intervensi asing.

Namun mirisnya, para pengusung demokrasi memang ahli membuat kemasan dan memasang iklan untuk memastikan umat terus mengelu-elukan demokrasi sebagai sistem politik ideal. Sehingga meski berbagai kebobrokan demokrasi kian banyak bermunculan, masih saja banyak umat yang berharap demokrasi akan memberi jalan perubahan.

Padahal, adanya harapan inilah yang justru menjauhkan umat dari kebangkitan hakiki dengan Islam. Karena sejatinya demokrasi memang sistem politik besi yang lahir untuk menegasikan Islam. Bukan untuk memuliakannya.

Inilah PR terbesar bagi para pejuang perubahan. Yakni bagaimana membongkar kepalsuan demokrasi sekularisme liberalisme sejak dari cabang hingga ke akar. Lalu menghadirkan gambaran keindahan sistem politik Islam di benak umat, dari akar hingga ke cabang, mulai konsep hingga gambaran penerapan.

Namun bagaimanapun sejarah terus bergulir. Janji Allah pun pasti terjadi. Sistem rusak ini suatu saat akan tumbang, digantikan oleh sistem Islam, yakni sistem Khilafah ala minhajin nubuwwah. Maka tugas kita hanyalah memaksimalkan ikhtiar sebagaimana yang Allah wajibkan. Adapun hasil adalah urusan Sang pencipta kehidupan. (Tri S).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak