Oleh Nanik Farida Priatmaja, S.Pd
Pada negara demokrasi, masyarakat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat. Oleh karenanya, kebebasan pers telah menjadi tolak ukur kualitas demokrasi di suatu negara serta mencegah potensi negara melakukan penyelewengan kekuasaan. Kebebasan pers merupakan pilar keempat penyokong demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meski berada di luar sistem, namun kebebasan pers memiliki posisi yang startegis yang telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945. Sehingga sudah selayaknya kebebasan pers terjamin di negeri ini. Namun sayangnya menjelang pilpres 2019 banyak ditemukan pemberitaan media massa terutama media mainstream terlihat sangat condong pada kubu petahana. Pemberitaan pencitraan kubu petahana membanjiri isi berita. Hal ini menjadikan rakyat semakin mati rasa, pasalnya tak sesuai dengan realita yang terjadi di masyarakat.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengkritisi pemberian penghargaan medali kemerdekaan pers pada Presiden Joko Widodo ( Jokowi) oleh Dewan Pers. Penghargaan itu diberikan pada puncak Hari Pers Nasional di Surabaya, Sabtu (9/2). "Sangat ironis. Ini seharusnya membuat insan pers merasa prihatin," kata Fadli dalam keterangan tertulisnya. Fadli menilai penghargaan itu tidak pas untuk Jokowi. Sebab, kata dia, Jokowi pernah membuat kebijakan pemberian remisi pada otak pembunuhan wartawan Radar Bali meskipun pada akhirnya dibatalkan. "Selain itu masih hangat pemberian remisi terhadap otak pembunuhan wartawan Radar Bali yang membuat banyak orang marah. Penghargaan kepada Pak Jokowi itu memang pantas dikritik," ungkapnya. Ia juga merasa heran pemberian penghargaan tersebut justru diberikan pada Jokowi disaat muncul fenomena 'blackout' pada berita-berita yang merugikan penguasa. Diantaranya, lanjut Fadli adalah pemberitaan alumni 212.(Merdeka.com, 10/01/19).
Sangat tampak jelas dimana keberpihakan media mainstream saat ini. Media mainstream yang seharusnya berfungsi sebagai alat kontrol penguasa malah menjadi corong penguasa yang keadilannya dipertanyakan. Sehingga sangat wajar jika saat ini rakyat lebih percaya pada media-media olahan rakyat jelata di media sosial atau cuitan para tokoh di media sosial yang dinilai lebih objektif dari media mainstream. Hal ini wajar saja terjadi karena rakyat mulai mampu menilai mana pemberitaan yang objektif dan mana yang tidak. Meskipun penguasa telah menerbitkan undang-undang ITE atas ujaran kebencian, pencemaran nama baik dan sebagainya namun tak membuat rakyat takut dengan menyuarakan kebenaran. Pasalnya kondisi kebebasan pers di negeri ini telah tergadai.
Keberadaan pers atau media dalam sebuah negara sebenarnya sangatlah urgen. Karena dengannya rakyat berharap mendapatkan informasi yang valid dan objektif terkait segala hal baik yang berkaitan dengan kondisi masyarakat, pemerintah ataupun negara secara umum. Namun sayangnya saat ini pemberitaan media massa cenderung sesuai dengan "pesanan". Bukan lagi menyajikan informasi yang pro rakyat, mencerdaskan serta terjamin objektifitasnya. Hal ini rupanya telah menghancurkan tatanan demokrasi itu sendiri yang tak lagi ada pilar pengokohnya.
Media massa dalam sistem Islam memiliki kepentingan dalam rangka dakwah Islam yang berfungsi strategis, yaitu melayani ideologi Islam baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri, media massa berfungsi untuk membangun masyarakat Islami yang kokoh. Sedang di luar negeri, media massa berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam dan sekaligus untuk membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia.
Islam memiliki pengaturan terkait keberadaan media sebagai alat penerangan umum, yaitu alat-alat untuk menyampaikan sesuatu secara terbuka dan terang-terangan yang meliputi : stasiun TV baik di bumi maupun di angkasa luar, stasiun radio, terbitan berkala dan film serta panggung pertunjukan. Setiap individu rakyat berhak untuk menyampaikan sesuatu kepada publik melalui alat-alat tersebut. Hak ini diakui syariah berdasarkan dalil-dalil yang mewajibkan atau mensunnahkan menyampaikan sesuatu secara terbuka dan terang-terangan. Banyak dalil dikemukan oleh Syaikh Ghazzal, misalnya tindakan Ibnu Abbas yang secara terang-terangan mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib RA. Diceritakan oleh Ikrimah bahwa Ali bin Abi Thalib telah membakar orang-orang zindiq yang murtad sebagai hukuman atas mereka. Berita ini sampai kepada Ibnu Abbas, lalu dia berkata,”Kalau aku, tidak akan membakar mereka, karena ada larangan Rasululah SAW,’Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah!’ dan niscaya aku hanya akan membunuh mereka karena sabda Rasululah SAW,’Siapa saja yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia!” (HR. Bukhari).
Warga negara Khilafah yang akan menerbitkan majalah, atau mendirikan stasiun TV dan radio, hanya diwajibkan menyampaikan pemberitahuan kepada institusi negara yang terkait. Pemberitahuan hanya berupa sejumlah penjelasan yaitu tentang : (1) jenis media massa, alamatnya, dan bahasa yang akan digunakan,. (2) nama pemilik media, kewarganegaraan, dan alamatnya, (3) nama pemimpin redaksi, kewarganegaraan, dan alamatnya. Pemilik media dan pemimpin redaksi ini haruslah warga negara Khilafah. Sebab kewarganegaraan itulah yang melahirkan hak dan kewajiban sebagai warga negara, termasuk hak menerbitkan media massa. Penanggungjawab seluruh isi media adalah pemimpin redaksi dan wartawan atau penulis artikelnya secara langsung. Jadi, wartawan kedudukannya sama dengan warga negara lain. Ini sangat berbeda dengan wartawan dalam sistem demokrasi, yang berdalih “kebebasan pers”, yang faktanya mampu dibeli sesuai pesanan.
Sungguh aneh jika saat ini masih saja ingin bertahan dengan pengaturan sistem demokrasi yang begitu mudah rusak. Segala hal dilakukan atas nama kebebasan yang faktanya tak pernah menjamin keberpihakan pada rakyat. Kebebasan hanyalah simbolis yang digunakan penguasa mengelabuhi rakyat dalam rangka mengokohkan kekuasaan semata.
Wallahu'alam Bishowab