Korupsi, Tradisi Demokrasi

Oleh : Messy (Member Penulis Ideologis)


Kenapa korupsi seakan menjadi tradisi yang telah mendarah daging bagi dasi bertikus di Indonesia?


Lagi dan lagi, korupsi kembali terbang bebas diudara. Nampaknya semakin berani unjuk gigi didepan umum. Indonesia merupakan sebuah negeri yang memiliki tanah yang subur. Didalamnya terkandung berbagai rahasia kekayaan alam yang melimpah ruah. Sehingga mampu menyandang gelar sebagai 'Paru-paru dunia'. 


Indonesia sejatinya negara kaya namun banyak memiliki pejabat yang berhati miskin. Sebab, mereka begitu mudah menggunakan kekuasaan sebagai alat politik untuk melanggengkan kepentingan mereka. Seperti menjual sumber daya alam (SDA) dengan harga yang sangat murah.


Laode M. Syarif selaku Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan pejabat baik pemerintah maupun swasta terlibat dalam kasus korupsi penjualan sumber daya alam. Ia mengkhawatirkan perilaku pejabat nakal yang menjual SDA dengan harga yang sangat murah hanya untuk kepentingan pribadi mereka. Lebih lanjut Syarif menekankan “Jadi agak susah bagi kita untuk menjaga lingkungan Indonesia kalau orang-orang yang seharusnya merawat itu, tapi tidak amanah," dilansir dari Harian Okenews (25/01/2019), 

 

Terbaru, kasus korupsi melibatkan kader partai politik PDIP, Supian Hadi yang menjabat sebagai Bupati Kotawaringin Timur. Kasus ini mendapat kritikan pedas dari berbagai lini profesi. Bukan tanpa alasan, ia di duga telah merugikan negara sebesar Rp 5,8 Triliun. Angka sefantastis itu terkumpul praktek haram yang telah dilakukan.


Ferdinand Hutahean selaku politikus Partai Demokrasi turut memberikan tanggapannya mengenai kasus tersebut. Ia mengatakan, "Rp 5,8 Triliun sangat fantastis. Ini menjadi gambaran nyata betapa kekuasaan sekarang sangat korup," dilansir dari JawaPos pada Jumat (08/02/2019).


Akar Permasalahan


Bak rentetan piramida, tradisi korupsi kian hari kian menaiki puncak tertinggi. Pejabat nakal yang menyandang gelar koruptor telah menjadi  tontonan umum di sistem demokrasi. Fenomena praktik haram berserakan dan mudah ditemukan dalam permukaan demokrasi yang berasaskan kapitalis. 


Prinsipnya demokrasi itu memasang tarif harga yang tinggi. Pendapatan pejabat sudah jelas tak mampu menggantikan biaya politik yang telah dikeluarkan awalnya. Rayuan indah memakmurkan rakyat hanya berbekas dibibir saja. Janji hanya bersisa janji. Pejabat berusaha segera mengembalikan modal biaya politiknya. Akhirnya, menjadikan  kekuasaan sebagai bahan dagang yang diperjualbelikan. Akibatnya hak rakyat menjadi di serempet sana sini.  Maka tak heran, jika demokrasi memberikan wadah korupsi untuk bersarang. Korupsi menjadi tradisi yang seakan telah menjadi duri dalam tubuh dan terus dilestarikan hingga kini.


Bak lem dengan perangko yang selalu melekat, seperti itulah demokrasi dan sistem kapitalis yang begitu mendekat. Mengandalkan pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) dan membanggakan kebebasan (liberalisme) yang menjadikan aturan ekonomi ini tumbuh subur dan kembang menjamur, termasuk kebebasan dalam kepemilikan. 


Sesuai namanya, ekonomi kapitalis menggunakan asas kapital. Siapa yang memiliki uang banyak maka ialah yang berkuasa. Ia bebas menguasai dan memiliki apapun sesuka hati tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Ditambah lagi ada undang-undang yang memfasilitasi hal tersebut. Lalu, para kapital dengan mudah meraup hak rakyat hanya untuk memenuhi nafsu sesaatnya. Ibarat ikan segar yang diburu dan harus segera disantap. 


Jadi, berbagai kasus korupsi sebenarnya timbul sebab penerapan sistem buatan manusia yang jelas rusak. Negara penganut sistem demokrasi telah menyatakan diri gagal dalam melayani kepentingan masyarakat. Saatnya, membuang sistem yang membiarkan para koruptor berlari bahagia kesana kemari tanpa ada aturan yang mampu mengikat mereka.


Kembali pada Islam


Islam sejatinya agama sekaligus ideologi yang berasal dari Sang Pencipta. Memiliki aturan yang lengkap mengenai kehidupan manusia. Dari bangun tidur hingga bangun negara, dari keluar WC hingga masuk pemerintahan. Semua diatur secara rinci dalam islam termasuk perkara ekonomi.

Ekonomi Islam membagi tiga kepemilikan yaitu kepemilikan individu, umum (masyarakat) dan negara. Pengaturan ketiga ini tidak boleh dicampur adukkan. Negara menjamin pengaturan dan kepentingan umum dan negara yang hasilnya untuk kemaslahatan masyarakat. Sedangkan kepemilikan individu, negara hanya boleh mengatur sesuai peraturan yang berlaku.


Tidak ada privatisasi hak rakyat untuk kepentingan Khalifah. Apalagi hak rakyat diserahkan kepada asing dan aseng, jelas tidak boleh. Negara sendiri yang bekerja untuk menunaikan hak dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Praktik haram korupsi tidak akan ditemukan. Sebab, ketakutan dan ketaatan Khalifah kepada Allah SWT.


Negara Islam bisa merealisasikan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan aturan Allah. Dan pejabat negara takkan berani memenuhi pundi-pundi kantong mereka dengan cara yang haram. Saatnya, kembali menerapkan islam secara totalitas dalam institusi Khilafah sebagai satu-satunya jalan keluar yang diperintahkan oleh Allah SWT.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak