Oleh : Ummu Zulfa
Lagi- lagi kasus korupsi di negeri ini tidak pernah sepi. Nampaknya setiap tahun kasus korupsi ini semakin meningkat. Seolah- olah korupsi sudah menjadi budaya di negeri ini yang sulit untuk diberantas.
Banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Sebanyak 29 Kepala Daerah setingkat Gubernur atau Bupati dan Wali Kota menjadi tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK (kompas.com). Selain itu KPK juga menangani 178 kasus korupsi selama 2018, sebanyak 152 diantaranya kasus penyuapan ( detik.com). Dan yang paling terbaru adalah kasus mega korupsi yang dilakukan oleh Bupati Kotawaringin Timur yang merupakan kader PDIP yang diduga merugikan negara sebesar Rp 5,8 triliun (jawapos.com).
Ini adalah gambaran nyata dalam sistem demokrasi yang melahirkan pejabat-pejabat korup. Akibat mahalnya demokrasi, maka wajar tak akan terlepas dari tindakan korupsi. Dana yang besar untuk membiayai proses politik dan kepentingan kampanye, menjadikan kekuasaannya akan dipakai untuk mengembalikan modal dan memberikan keuntungan kepada pemodal juga untuk menumpuk modal untuk mempertahankan kekuasaan pada proses politik berikutnya. Bahkan anggaran dan kebijakan sengaja didesain agar memunculkan peluang korupsi.
Ditambah lagi dengan gaya hidup yang hedonis. Dengan biaya hidup yang tinggi dan gaya hidup yang mahal, maka apapun akan dilakukan termasuk korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah ternyata tidak pernah membuat jera. Apalagi dengan adanya putusan MA tentang judicial review Peraturan Komisi Pemiihan Umum (PKPU) no 20/2018 yang mengatakan bahwa mantan napi korupsi diperbolehkan untuk maju sebagai caleg. Dalam putusan MA ini terlihat bahwa para koruptor masih dihargai oleh negara sehingga bisa menjadi caleg yang membuat aturan di negri ini.
Di dalam Islam penentuan kepala daerah ditunjuk oleh kholifah, juga ditentukan oleh penerimaan masyarakat termasuk aggota majelis wilayah. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang mengganti Al-‘Ala’ bin Al-hadhrami sebagai gubernur Bahrain ketika masyarakat mengajukan keberatan atasnya. Sehingga utuk menjadi kepala daerah tidak memerlukan biaya yang mahal seperti sekarang. Kepala daerah tidak akan memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan uang pengganti modal kampanye.
Pada masa Kholifah Umar bin Khathab pernah diberlakukan pencatatan harta dan kekayaan aparat, pejabat dan penguasa. Jika ada kelebihan harta maka aparat, pejabat, atau penguasa harus membuktika bahwa kelebihan harta itu diperoleh secara sah. Jika tidak bisa dibuktikan perolehannya secara sah maka dilakukan penyitaan harta.
Korupsi termasuk sanksi ta’zir, bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Kholifah atau Qadhi menurut batasan syariah. Bentuknya bisa berupa penyitaan harta, tasyhir (diekspos), penjara sangat lama, ijilid, hingga hukuma mati. Umar bin Abdul Aziz pernah menerapkan sanksi bagi koruptor yaitu dijilid dan ditahan dalam waktu sangat lama.
Islam mampu memberikan hukuman yang tegas terhadap korupsi. Hanya Islam yang mampu menyelesaikan korupsi secara tuntas. Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Islam di bumi pertiwi ini. Wallahualam….