Ummu Zhafran
(Pengasuh Ibu Cinta Quran)
Allahu Akbar
Puisi munajat kuhantarkan padamu
Wahai berjuta-juta hati yang ada di sini
Engkau semua bersaudara dan kita bersaudara..
(Puisi Munajat 212_NenoWarisman)
Demikian sebagian larik puisi yang dikutip dari Puisi Munajat 212 yang dibacakan oleh Neno Warisman beberapa waktu lalu. Penuh penghayatan dan dalam suasana syahdu. Namun siapa sangka jika untaian bait itu belakangan justru memicu kontroversi dan rasa ragu. Tak sedikit bahkan yang memandang saru.
Apa pasal? Konon doa tersebut terindikasi ‘mengancam’ Allah. Utamanya pada baris di bawah ini,
Dan jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan menangkan kami
Karena jika Engkau tidak menangkan
Kami khawatir ya Allah
Kami khawatir ya Allah
Tak ada lagi yang menyembah-Mu
Tanggapan tersebut datang salah satunya dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan,
"Sekarang ada yang berdoa mengancam Tuhan. Kok, Tuhan diancam?" ujar Luhut. (tempo.co, 23/2/ 2019).
Parahnya lagi doa tersebut juga diklaim tak akan mustajab alias dikabulkan. Melansir dari laman daring cnnindonesia, calon wakil presiden nomor urut 01, Ma'ruf Amin menilai puisi yang dibacakan inisiator gerakan #2019GantiPresiden, Neno Warisman Kamis lalu merupakan sebuah kekeliruan.
Menurut Ma'ruf, apa yang disampaikan Neno saat itu tidak akan didengar dan diijabah Allah.
(24/2).
Makan Buah Simalakama
Dimakan bapak mati, tak dimakan ibu mati. Pepatah di atas kiranya tepat menggambarkan kondisi saat ini. Sebab doa jelas merupakan bagian dari ajaran Islam. Tapi pelaksanaannya yang semata tunduk pada syariat Allah melalui Rasul-Nya seolah digugat. Alih-alih diapresiasi sebagai ragam sastra ,sajak munajat justru ramai dihujat.
Terlebih muslim yang paham pasti bisa mengindra kemiripan doa tersebut dengan doa Nabi saw. saat perang Badar yang terdapat dalam riwayat Muslim dari sahabat Umar ibn Khaththab. Benar saja ketika dikonfirmasi Neno Warisman mengakui terinspirasi dari doa tersebut. (ILC TVone, 26/2/2019). Saat itu Rasul saw. mengangkat tinggi kedua tangannya lalu berdoa,
“Ya Allah, penuhilah apa yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika Kaubinasakan kelompok Islam ini, Engkau takkan lagi disembah di bumi.”(HR. Muslim).
Sayangnya hal ini kemudian memecut spekulasi polemik berikutnya. Ada yang mengaitkannya dengan pernyataan kubu yang berseberangan seminggu sebelumnya tentang strategi perang total. Diketahui Wakil Ketua TKN yang juga merangkap sebagai Ketua Harian TKN, Moeldoko menyampaikan, timses Jokowi-Ma'ruf Amin tengah bersiap untuk 'perang total.’ (liputan6, Rabu (13/2/2019). Muncullah tudingan Perang total vs Perang Badar. (ILC, 26/2/2019)
Tampak jelas inkonsistensi telah terjadi. Jujur, sejak kapan doa yang notabene ranah pribadi hamba dengan Tuhannya diintervensi oleh publik dan negara? Bukankah sekularisme yang bercokol telah mengabaikan hal ini sejak mula?
Usah diragukan lagi terpisahnya agama (baca:syariat) dari kehidupan nyata menghalangi umat meraih ketaatan sempurna hatta yang sifatnya pribadi sekalipun. Termasuk doa di dalamnya.
Mantan Kuasa Hukum Habib Rizieq Shihab yang kini menjadi calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Kapitra Ampera, sampai mengatakan,
“Ya saya imbau untuk jangan ikut itu, karena itu politisasi ibadah itu. Itu bukan pure untuk munajat, Tuhan enggak ada di Monas itu,” ujarnya. (viva.co.id, 21/2/2019).
Disadari atau tidak, pernyataan semacam itu hanya semakin menegaskan wujud sekularisme di negeri zamrud ini. Nyata ‘mengurung’ Tuhan sebatas di rumah- rumah ibadah seperti masjid dan langgar. Lainnya itu tidak. Lalu di mana gerangan keyakinan akan sifat Allah yang Maha Melihat, Maha Mengetahui lagi Maha Berkehendak? Seperti tanggapan Prof Mahfud MD di akun twitter pribadinya, “Salah, yang benar Tuhan ada dimana-mana. Tapi kemahakuasaan Tuhan bisa menilai sampai mendalam atas setiap doa: mana yang layak dikabulkan dan doa mana yang lebih tepat diabaikan.”
Doa adalah Ibadah
Berdoa kepada Allah termasuk ibadah yang sifatnya tauqifiy. Untuk yang disebut terakhir, Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullaah berkata, “Ibadah adalah tauqifiyah, maka tidak disyariatkan kecuali apa yang telah dibawa oleh Rasulullah saw. yang telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i.” (binbaz.org.sa).
Demikianlah Allah swt. memerintahkan untuk senantiasa berdoa kepada-Nya. Allah berfirman ;
“Dan Tuhan kalian berfirman, ‘Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan bagi kalian.’ Sesungguhnya, orang-orang yang sombong dengan meninggalkan ibadah kepada-Ku, mereka akan masuk neraka dalam keadaan kehinaan.”(TQS Ghafiir: 60).
Aktivitas berdoa menunjukkan kapasitas kita yang senantiasa butuh kepada Sang Maha Pencipta. Adapun adab sesuai tuntunan Rasul saw. antara lain:
1. Bertakwa, menjauhkan diri dari segala yang diharamkan
2. Mengangkat kedua tangan
3. Memulakan dengan puji-pujian kepada Allah dan shalawat pada Nabi saw.
4. Bersuara pelan, cenderung mengiba
5. Berdoa dengan keyakinan Allah Maha Mengabulkan doa hamba-Nya
Sementara lafaz dan konteks doa tentu sudah selayaknya juga meneladani apa yang dilakukan Rasul saw. Olehnya itu seorang muslim tatkala meminta kebaikan kepada Allah dalam doanya, hendaknya dia meminta sebagaimana permintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula sebaliknya bila memohon dilindungi dari segala keburukan. Berbeda jauh dengan sekularisme, Islam mendudukkan Muhammad saw sebagai suri tauladan, yang risalahnya menuntut untuk diterapkan secara kaffah. Dengan sendirinya rahmatan lil alamin pun akan terwujud.
Firman Allah swt.,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allâh” (TQS Al-Ahzâb/33:21). Di ayat lain Allah berfirman,
“Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam” [TQS Al-Anbiyâ’/21:107]. Wallaahu a’lam.