Oleh. Ayuning Mazasupa, S.S.T. (Aktivis Gerakan Anti Riba)
Sungguh ironis, Indonesia sebagai negeri yang kaya dengan sumber daya alam yang melimpah ini berada dalam keadaan defisit anggaran selama kurun waktu yang sangat lama hingga saat ini. Pemasukan negara dari utang luar negeri dan pajak menjadi lebih dominan jika dibandingkan dengan pendapatan dari sektor hasil sumber daya alam. Alhasil, kini Kementerian Keuangan semakin meningkatkan upaya demi mengejar penerimaan pajak dari berbagai sektor lainnya.
Berdasarkan Peraturan Menkeu 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik, kini pelaku bisnis online pun terkenai beban pajak yang akan resmi diberlakukan terhitung 1 April 2019. Mulai dari pedagang online baik yang menggunakan platform marketplace ataupun tidak, para penyedia platform marketplace, termasuk juga para selebgram dan Youtuber yang memiliki nilai pendapatan tertentu.
Beberapa aturan terkait pedagang online yang menggunakan fasilitas marketplace di antaranya adalah melaksanakan kewajiban terkait PPH sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5% dari omzet dalam hal omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun. Selain itu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal omzet melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun, dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku. Demi memudahkan proses pembayaran pajak, kini para wajib pajak tidak harus memiliki NPWP, sehingga cukup melaporkan data NIK (Nomor Induk Kependudukan) kepada penyedia marketplace.
Sebenarnya pada 2017 telah tercatat ada 51 selebgram ataupun youtuber yang sudah membayar pajak dengan nilai mencapai Rp2,7 Miliar dari penghasilan yang mereka dapat. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4387743/selebgram-dan-youtuber-setor-pajak-rp-27-miliar?_ga=2.262510475.641028717.1548483925-1345707141.1547879298. Meskipun pada tahun 2017 belum diberlakukan pajak kepada pelaku bisnis online, namun hal ini dianggap sebagai inisiatif dari para selebgram untuk melaporkan dan membayar pajak penghasilannya.
Sekilas mungkin hal ini tampak menjadi sesuatu yang positif jika hanya ditinjau dari itikad baik warga negara untuk membantu mendorong pendapatan negara. Namun tentunya hal ini tidak bisa dinilai dengan satu sisi saja. Kita perlu menelaahnya melalui suatu gambaran yang komprehensif di mana sebenarnya letak ketimpangan yang mendasar adalah pada rancangan APBN yang menitikberatkan pendapatan dari sisi utang dan pajak, sementara pengelolaan sumber daya alam yang kurang tepat menjadikan pendapatan dari sektor ini tidak optimal. Padahal, bisa dipastikan utang tersebut mewajibkan adanya bunga yang menurut Islam tentu hal ini sebuah pelanggaran hukum syariah yang mendatangkan dosa besar dan akan berdampak buruk secara luas.
Sebagai contoh, betapa banyak sumber daya alam yang pengelolaannya diserahkan kepada swasta terlebih kepada swasta asing sehingga hasil pendapatannya tidak bisa optimal dikelola oleh negara dan digunakan untuk melayani kebutuhan rakyat. Jika kekayaan sumber daya alam ini dikembalikan sebagaimana mestinya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tentu Kementerian Keuangan tidak akan terlalu dipusingkan untuk mengejar harta rakyat yang jumlahnya tentu tidak sebesar dari pengelolaan sumber daya alam. Terlebih dalam kondisi perekonomian yang semakin tidak menentu ini, hampir di setiap lapisan masyarakat menghadapi permasalahan finansial yang demi memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja sangat sulit. Jerih payah masyarakat untuk bisa bertahan hidup masih juga harus terhisap oleh pajak yang mengepung isi hartanya yang tak seberapa.
Maka sebagai kajian alternatif dan terlebih solusi ini datangnya dari Allah Yang Maha Pemelihara alam semesta, patutlah kita perhatikan bagaimana Islam mengatur seluruh urusan manusia termasuk di antaranya terkait dengan perekonomian, keuangan, dan politik secara umum. Akan kita temukan bahwa pengaturan kehidupan berbasis syariah ini sangat adil dan tidak diskrimatif sehingga dapat membawa kepada kesejahteraan yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dalam Islam, dharibah (pajak) adalah harta yang diwajibkan Allah Swt kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi di Baitul mal kaum muslim tidak ada uang/harta. Jika terjadi kondisi tersebut yaitu di saat Baitul mal tidak ada harta, juga tidak ada sumbangan dari kaum muslimin sementara terdapat kebutuhan mendesak yang jika tidak segera dipenuhi oleh negara akan menimbulkan kemudharatan atas kaum muslimin, maka Allah Swt memberikan hak kepada Negara untuk menarik pajak dari kalangan masyarakat yang memiliki kelebihan harta setelah mampu memenuhi kebutuhan pokok dan sekundernya secara ma’ruf.
Di antara pos pengeluaran yang harus secara rutin wajib dipenuhi kebutuhannya adalah kebutuhan dalam penyelenggaraan kekuatan militer misalnya pembentukan pasukan yang kuat, pengadaan peralatan militer yang canggih yang mampu menggentarkan musuh dan membebaskan rakyat dari serangan kaum penjajah, termasuk ke ranah industri militer serta pabrik-pabrik penunjangnya. Berikutnya adalah pos pengeluaran untuk pembiayaan para fakir miskin dan ibnu sabil karena Allah Swt telah mewajibkan pemenuhan kebutuhan mereka baik dari zakat, shadaqah, dan lainnya termasuk pajak sebagai opsi berikutnya. Kemudian pembiayaan untuk gaji para tentara, pegawai, hakim, guru, dan lain-lain yang melaksanakan pelayanan masyarakat. Ini dilihat dari fungsi utama negara adalah untuk mengatur urusan ummat, maka keberadaan upah bagi pelaksana fungsi pelayanan masyarakat menjadi kewajiban mendesak yang rutin harus dipenuhi.
Pengeluaran yang tidak kalah penting untuk dipenuhi adalah pembiayaan infrastruktur utama yang bersifat vital dibutuhkan, bukan infrastruktur tambahan yang sekedar melengkapi atau mengembangkan sarana primer yang telah ada. Misalnya pembangunan jalan umum, sekolah, masjid, universitas, rumah sakit, saluran air minum, yang jika tidak tersedia bisa menimbulkan bahaya kepada masyarakat. Terakhir, adalah pembiayaan untuk keadaan darurat bencana, mengingat kebutuhan para korban bencana bersifat mendesak dan kewajiban negara untuk mencegah terjadinya kelaparan dan kondisi teraniaya yang membahayakan ummat.
Kebutuhan kaum muslimin yang mendesak tersebut wajib dipenuhi oleh negara baik dalam keadaan Baitul mal ada harta maupun tidak ada harta. Jika pos anggaran untuk kebutuhan tersebut tidak ada, maka kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim hanya sampai Baitul mal kembali dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Sehingga negara tidak boleh menarik pajak dalam waktu yang kontinyu, pungutan di muka dalam urusan administrasi negara, juga tidak boleh dalam transaksi jual beli dan pengurusannya, pajak bangunan, juga pajak terhadap timbangan barang dagangan, dan bentuk-bentuk pajak lainnya yang marak kita jumpai saat ini. Dengan mewajibkan terlebih diberlakukan merata kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang kemampuan kelebihan hartanya, dalam hal ini negara telah berlaku dzalim. Bahkan termasuk ke dalam tindakan memungut cukai (al-maksu), seperti,
sabda Rasulullah Saw, yang artinya “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai.” (HR. Ahmad, ad'Darami dan Abu Ubaid). Wallahu ‘alam.