Oleh: Ammylia Rostikasari, S.S.
(Komunitas Penulis Bela Islam)
Dewan Pers memberikan penghargaan medali kemerdekaan pers pada Presiden Joko Widodo ( Jokowi). Penghargaan tersebut diserahkan pada puncak Hari Pers Nasional di Surabaya, Sabtu (9/2).
Menanggapi perihal tersebut, Wakil Ketua DPR, Fadli Zone, menganggap pemberian penghargaan tersebut sebagai sebuah keironian (merdeka.com/10.02/2019). Pasalnya jika merujuk jejak rekam petahana pada dunia pers, maka akan ditemukan beberapa perlakuan yang cukup mencoreng dunia jurnalistik.
Pertama, petahana dengan ramahnya memberi kebijakan remisi kepada dalang pelaku pembunuhan wartawan Radar Bali, meskipun pada akhirnya dibatalkan. Namun, sungguh kebijakan tersebut pada awalnya telah menggores rasa pencari warta (pers).
Kedua, saat aksi 212 yang begitu monumental. Aksi yang dihadiri jutaan masyarakat dengan berbekal akal sehat, seolah disembunyikan oleh sebagian besar media masa juga elektronik. Hanya sebagian kecil saja yang berani menyiarkan secara berimbang aksi damai tersebut. Sebaliknya bagian besar media yang ada justru seperti menjadi brosur penguasa, yang menilai berkumpulnya jutaan orang di Monas sebagai aksi politik tandingan petahana. Begitulah jika media sudah ditunggangi penguasa negeri ini.
Dunia pers bagai kehilangan netralitasnya, keberpihakannya terhadap penguasa benar sangat dirasa masyarakat Indonesia. Jika ini sudah terjadi, maka tak ubah media yang ada jelas telah menjadi corong penguasa, bukan berperan lagi sebagai penyaji fakta yang memberikan informasi sesuai peristiwa.
Tak heran jika masyarakat saat ini, luruh kepercayaannya terhadap media, terutama media masa juga elektronik. Sehingga adanya media sosial menjadi alternatif pilihan untuk mereka mencari informasi yang dinilai bisa lebih berimbang dan transparan.
Pada hakikatnya keberadaan media masa, media elektronik juga media sosial adalah sebuah sarana penyaji fakta. Adanya berfungsi untuk menyebarkan warta sesuai dengan yang ada dalam sebuah peristiwa. Namun, tidak bisa dinafikan adanya sekularisme sebagai paham yang dianut negeri tercinta, telah sangat berpengaruh dalam mewarnai pers Indonesia. Adanya media diposisikan ketat agar sealur dengan kepentingan kepemimpinan yang berkuasa. Alih-alih kebebasan pers maka berita yang disajikan tidak melulu edukatif, tapi lebih pada kampanye segala bentuk pemahaman turunan dari sekularisme. Berita yang disiarkan seperti isu politik yang kian oportunistik, kondisi ekonomi yang kapitalistik, situasi sosial juga Infotainment yang begitu hedonistik. Masyarakat bagai sasaran empuk yang harus siap menelan segala warta sarat kepentingan. Ya, tak lain adalah kepentingan penyebaran pemahaman yang bertentangan dengan Islam.
Ini tentu saja sangat kontras dengan media dalam pandangan Islam. Islam sebagai agama sekaligus pandangan hidup (way of life) yang sahih. Adanya sesuai fitrah manusia. Konsepnya memuaskan logika dan penerapannya menentramkan asa manusia.
Islam memandang media sebagai sarana untuk kemaslahatan umat. Adanya diarahkan untuk syiar Islam. Sajian wartanya difokuskan pada fungsi edukatif juga inspiratif dalam mencerdaskan kehidupan umat.
Nurhaya Muchtar dkk, menyebutkan ada empat prinsip dasar yang dibentuk oleh islamic worldview dalam jurnalisme, yaitu konsep kebenaran (haqq), tabligh, masalahah dan wasatiyyah. Prinsip pertama, kebenaran (haqq) digali dari ajaran Islam yang melarang untuk mencampurkan yang hak dengan yang batil (QS: 2:42).
Mengutip kembali konsep kabar shadiq dalam Islam maka tampak bahwa kebenaran dalam Islam merujuk pada kabar yang benar yaitu berdasarkan Al- Quran dan As Sunnah (wahyu).
Prinsip kedua menurut Nurhaya dkk.adalah tabligh. Tabligh ber-arti menyebarkan kebenaran dan kebaikan kepada publik. Dalam konteks jurnalisme, tabligh berarti jurnalis harus berperan sebagai pendidik yang mempromosikan sikap positif kepada pembacanya dan mendorong mereka berbuat kebaikan. Prinsip ini menyatu dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar.
Prinsip ketiga adalah maslahah, yang maknanya mencari kebaikan untuk publik. Nurhaya dkk mendasarkan prinsip masalah pada hadist Rasulullah yang mengajarkan agar kita mencegah keburukan dengan tangan, lidah, atau terakhir hatinya, sebagai tanda selemah-lemah iman.
Prinsip ini memberi sandaran pada jurnalis untuk memiliki sikap intervensionis dan parsitipatif. Jurnalis bukanlah sebagai pengamat yang menjaga jarak dan tak terlibat. Sebaliknya, jurnalis diharapkan untuk terlibat dalam wacana publik dan menjadi agen perubahan sosial di masyarakat.
Prinsip keempat, yaitu wasathiyah atau pertengahan dalam arti sesuai dengan petunjuk al-Quran adalah dengan cara secara konsisten mengikuti hidayah (petunjuk) yang diajarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala melalui Nabi-Nya dan ditransmisikan melalui para ulama yang saleh. (Tiar Anwar Bachtiar: 2013)
Korelasi wasath (moderat) yang dalam konteks jurnalisme berarti impartiality (ketidakberpihakan) dan fairness (keberimbangan). Sehingga adil dalam pemberitaan akan terlaksana (Jurnalisme Islam Bersatu).
Semua prinsip jurnalisme ini tak lain jika asas dalam sebuah negara merujuk selalu kepada Al-Quran dan As Sunah, seperti halnya yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para khalifah setelah wafatnya Muhammad saw. Masyarakat ada dalam naungan khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah. Pola hidup harmoni karena ada dalam ketaatan pada Ilahi. Tidakkah negeri ini menginginkannya? Menerapkan Islam dan mencampakkan demokrasi?
Wallahu’alam bishowab