Oleh : Mardhiyatuzakiyah*
Sebuah kutipan masyhur “Janji adalah utang dan setiap utang harus dipenuhi haknya”. Ibarat sebuah beban, janji yang terlontar akan menjadi mata pisau bagi penuturnya. Meski hanya sebuah kata yang dilontarkan melalui retorika atau hanya aksara yang tertuang dalam rentetan makna, tetap saja utang.
Tak ayal, tahun-tahun politik demokrasi penuh bualan. Deretan janji terucap demi mempertahankan kekuasaan semu yang tak cakap. Ucapan manis di bibir, banyak kritisi acapkali dicibir untuk memperjuangkan elektabilitas.
Beberapa tahun silam menjelang PEMILU, dalam acara "Jokowi Ngobrol Bareng Netizen" di Ballroom Hotel Lumire, Senen, Jakarta Pusat, Kamis 26 Juni 2014, Joko Widodo (Jokowi) yang saat itu merupakan calon presiden Republik Indonesia menegaskan sikapnya untuk terus menumbuhkan kebebasan berekspresi, tak terkecuali kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia maya. Ia tidak akan melakukan tidakan represif kendati para netizen mengkritiknya secara keras. (http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/27/jokowi-janji-ke-netizen-tak-akan-berangus-kebebasan-berekspresi.)
Dalam laman lain dikatakan, Ia tidak mempermasalahkan jika ada yang saling kritik atau saling memberikan kritikan yang pedas. “Saya pun juga biasa ke masyarakat juga ada yang suka teriak-teriak seperti itu ya biasa saja. Apalagi di sosial media tidak ada masalah buat saya. Mau ngomong sekasar apapun kepada saya, enggak akan marah saya. Saya akan pakai sebagai koreksi," jawab Jokowi dengan lugas. (https://nasional.sindonews.com/janji-jokowi-kepada-netizen-saya-tidak-marah-dikritik-sekasar-apapun)
Rupanya apa yang dikampanyekan beberapa tahun ke belakang tak bertemu dengan kenyataan. Hari ini penguasa bak menggebuk siapapun yang menjadi lawan politiknya. Sebut saja Ahmad Dhani, yang menjadi salah satu korban. Ia dilaporkan atas dugaan ujaran kebencian (hate speech) beberapa saat lalu lantaran mengunggah status di akun media sosialnya yang berisi kritik.
Pendiri Republik Cinta Managemen, Ahmad Dhani Prasetyo menilai hak kebebasan berpendapat di Indonesia sudah hilang apabila ia diputuskan bersalah dalam sidang kasus ujaran kebencian di PN Jakarta Selatan. (Tirto.id/19/11/18)
Oposisi sering kali menjadi bahan bully dan objek persekusi. Jika ada yang berseberangan dengan kebijakan, maka diberangus habis lewat pengadilan dan berakhir pada jeruji besi. Keputusan sepihak yang tak pernah adil. Berbeda halnya dengan sahabat seirama di balik badan penguasa, mereka jauh dari delik hukum. Alih-alih dijebloskan ke penjara, kabar mereka malah hilang ditelan omong kosong kekuasaan. Contoh kasus Viktor Laiskodat, Permadi Arya, Ade Armando, Sukmawati, Immanuel, dan kawan-kawannya yang jelas melanggar hukum dan terbukti melakukan ujaran kebencian.
Sikap anti kritik dan represif ini menunjukkan bahwa politik dalam demokrasi yang memang ditujukan untuk melanggengkan kekuasaan. Apapun akan dilakukan agar takhta pemerintahan tak beralih pada pihak lain. Jadi jangan mengharapkan ketentraman, keamanan, apalagi kesejahteraan jika model seperti ini masih saja eksis.
Padahal jauh sebelum itu, Islam sudah hadir dengan konsep pemerintahan yang sempurna dan terbukti mengayomi masyarakatnya. Dalam Islam pemimpin laksana qowwam negara yang bertanggung jawab penuh atas kepentingan umat. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Innamâ al-imâmu junnatun yuqâtalu min warâ`ihi wa yuttaqâ bihi fa in amara bitaqwallâhi wa ‘adala kâna lahu bidzâlika ajrun wa in ya`muru bi ghayrihi kâna ‘alayhi minhu”
(Sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya)“ (HR. al-Bukhari, Muslim, An-Nasai dan Ahmad).
Dalam menjalankan bahtera kekuasaan, Islam membuka jalan pada umat untuk mengawal pelaksanaan hukum-hukum negara dengan baik melalui metode muhasabah lil hukkam (mengkritisi penguasa) dengan catatan sesuai dengan hukum syara’ sebagaimana sabda Nabi SAW ”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) kepada penguasa (sulthan) yang zalim.” (HR Abu Dawud 4346, Tirmidzi no 2265, dan Ibnu Majah no 4011).
*(Mahasiswi Universitas Singaperbangsa Karawang)