Oleh : Eny Alfiyah, S.Pd (anggota Akademi Menulis Kreatif)
Pemilihan pemimpin, ramai dibicarakan di tahun politik. Para calon kandidat pemimpin berusaha meningkatkan elektabilitas untuk meraup suara rakyat. Idealnya, jujur dan adil sudah menjadi kriteria seorang pemimpin. Akan tetapi, dalam perhelatan pemilihan pemimpin negeri ini serasa kejujuran sulit diwujudkan.
Banyak kebohongan yang dinyatakan dalam debat pilpres 2019. Rakyat semakin geram melihat fakta kebohongan data yang disampaikan oleh pemimpin mereka yang masih ingin bertahan pada kekuasaannya. Rakyat yang semakin cerdas di era globalisasi, dapat mengakses berita dan informasi tanpa harus keluar rumah untuk membeli media surat kabar. Masyarakat sekarang ini cukup dengan sarana media sosial internet sudah bisa mengakses berita terkait sikap dan perilaku calon pemimpin mereka. Mereka dapat menilai dan mempertimbangkan sikap dan pernyataan calon pemimpin disaat kampanye sudah sesuai tidaknya dengan fakta keseharian yang terjadi.
Beberapa hal yang dikritisi netizen tentang paparan fakta kandidat calon pemimpin yang tidak sesuai di lapangan. Diantaranya yaitu tidak adanya masalah sosial dalam pembangunan selama 4,5 tahun ini. Para netizen di media sosial ramai mengungkap kebohongan itu dengan mentweet masalah sosial penduduk terkait hal itu yang belum tuntas.
Di tambah lagi pernyataan bahwa selama 3 tahun ini tidak ada kebakaran hutan. Sontak media pers meliput fakta di lapangan yang sering terjadi kebakaran. Dengan bangganya kebohongan dinyatakan berulang kali oleh kandidat calon pemimpin. (kompas.com/17/02/2019)
Keadilan pemimpin juga patut dipertanyakan. Fakta hukum tumpul keatas tajam kebawah menuai banyak protes. Ditambah hukum tajam ke lawan dan tumpul ke kawan. Pembebasan bersyarat koruptor eks bank century yang mendapat remisi dipermudah sangat disayangkan oleh KPK. (detik. Com/ 28/12/2018). Hal yang bertolak belakang pada kasus pembebasan ustad yang sudah tua dipersulit akibat tidak mau mengakui bahwa dirinya bersalah. (Republika.com/18/01/19)
Pandangan Islam tentang pemimpin jujur dan adil
Secara naluri, sangat wajar manusia ingin menjadi pemimpin dalam sebuah kekuasaan. Namun cara untuk meraihnya harus disertai dengan norma agama yang menjadi tolok ukur perbuatannya. Cara pandang sekularisme yang memisahkan agama dalam kehidupan, membuat mereka lupa diri bahwa segala yang diperbuat akan mendapat balasan dari Alloh swt.
Menurut syekh Taqiyudin An Nabani di dalam kitab ajhizatul daulah disebutkan bahwa ada 7 syarat memilih pemimpin yaitu: muslim, laki- laki, berakal, baligh, merdeka, adil, kafa'ah yaitu berkompeten dalam bidangnya. Sosok muslim itu harus takwa pada segala kondisi. Muslim takwa juga selalu jujur dari segala yang diucapkan.
Bahkan Rasululah bersabda :
"Tidaklah seorang hamba yang diperintah Alloh untuk mengurusi rakyatnya dalam kondisi khianat maka dia tidak akan mencium bau surga". (HR. Al-Bukhori dan Muslim).
Begitu juga, adil merupakan syarat yang harus dipenuhi demi keabsahan dan keberlangsungan kepemimpinannya. Seperti tercantum di nash Al Qur'an :
".... dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil diantara kalian". (TQS. Ath-Thalaq(65):2).
Nash ini menjelaskan bahwa pemimpin sebuah negeri lebih tinggi daripada seorang saksi dalam sebuah perkara. Bila sifat adil saja, sebagai syarat seorang saksi dalam sebuah perkara maka adil seharusnya menjadi syarat mutlak untuk sosok pemimpin negeri.
Upaya muhasabah dari umat harusnya digunakan untuk memperbaiki kinerja menjadi lebih baik. Pemerintahan dalam sistim demokrasi yang menonjolkan kebebasan berpendapat dalam musyawarah harusnya mengakomodir keluhan serta masukan dari berbagai pihak terutama rakyatnya.
Faktanya, koreksi dan masukan ataupun keluhan dianggap sesuatu yang buruk dan dianggap melakukan perbuatan yang melanggar norma hukum negara. Seolah pemerintah sudah melakukan hal terbaik. Pemerintah mencukupkan kebijakan sendiri tanpa ada ruang untuk meminta usulan, kritikan, atau koreksi dari segala apa yang menjadi kebijakannya. Fakta kebohongan dan ketidakadilan yang diperlihatkan pemerintah menunjukkan bahwa kekuasaan otoriterlah yang mereka jalankan. Pemimpin yang didamba umat pun akan sirna bila otoriter semata dalam kekuasaannya. Nyatalah pengagungan terhadap kebebasan hanya sebuah jargon semata. Fakta yang terjadi, kebebasan berpendapat harus dibungkam bila tidak sesuai dengan keinginan penguasa. Dengan kata lain kedaulatan suara rakyat yang bermodal besarlah yang dapat berkuasa. Seolah pemimpin jujur dan adil sebuah ilusi dan tidak pernah ada faktanya bila kekuasan otoriter yang dijalankan oleh seorang pemimpin.
Pemimpin jujur dan adil bukan ilusi
Pemimpin jujur dan adil bukan ilusi dalam sistim Islam. Pemimpin harus menyadari bahwa dirinya pelayan umat. Sudah menjadi tugas pemimpin untuk mengakomodir apa yang dibutuhkan dan dikeluhkan rakyatnya. Karakter jujur dan adil senantiasa menghiasi perilaku mereka. Dalam sejarah Islam tercatat sosok pemimpin yang jujur dan adil dalam menjalankan amanah kepemimpinan karena ketaqwaan mereka semata. Tidak ada kebohongan atau sekedar pencitraan agar kekuasaan tetap dipertahankan. Contoh sosok pemimpin yang jujur dan adil adalah Umar bin Khottob. Beliau dalam sejarah tercatat sosok yang adil di saat harus menghukum puteranya sendiri saat berbuat maksiat. Beliau menolak para stafnya yang memberi usulan memperingan hukuman namun beliau bersikukuh dengan menolaknya. Alasan beliau seharusnya putera pemimpin harus terdepan dalam penerapan syariah. Inilah hal yang luar biasa bahwa pemimpin yang jurdil bukanlah ilusi.
Kesuksesan penerapan syariah Islam selalu ditopang tiga pilar islam yaitu diantaranya adalah ketaqwaan individu, kontrol masyarakat dan Negara.
Masyarakat yang taqwa senantiasa mengontrol sosok pemimpin tetap berjalan dalam koridor syariat. Pemimpin yang taqwa selalu terikat dengan syariat, baik dalam segala tutur kata, perbuatan dan kebijakannya. Ketaqwaan sosok pemimpin tidak cukup sebab iman seseorang terkadang naik terkadang turun. Maka pilar kedua Islam yaitu kontrol masyarakat harus ada di tengah masyarakat. Aktivitas dakwah dari anggota masyarakat kepada pemimpin adalah hal yang penting. Mereka mengoreksi dan memberi masukan pemimpin dalam rangka ketaatan kepada Alloh. Pilar terahir dalam Islam adalah institusi negara sebagai penegak hukum syariat. Negara menerapkan hukum dengan keadilan untuk menaungi rakyat.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa pemimpin jurdil bukanlah ilusi bila kita mau menerapkan aturan islam dalam kehidupan sehari-hari. Sudah saatnya kita beralih pada sistim pemilihan pemimpin kapitalis dengan pemilihan pemimpin berdasarkan Islam.
Wallahu alam bish showwab.