Oleh : Ummu Hanik
(Pemerhati Keluarga )
Politik bumbu dapur ala emak. Bagi seorang emak yang aktivitasnya di dapur, menghafal bumbu dapur merupakan satu keharusan. Dari bumbu dapur berupa garam, gula, bawang merah, bawang putih, lada, ketumbar, cabe dan macam lainnya.
Hafal namanya saja belumlah cukup. Harus tahu pula, wujudnya dan juga fungsinya. Bahkan yang bisa membuat hebat lagi, ketika bisa membedakan mana bahan yang berkualitas biasa dan yang super luar biasa.
Semua kemampuan emak dalam hal bumbu dapur akan memberi warna cita rasa pada masakan dan juga keharmonisan rumah tangga. Anak-anak lebih suka masakan rumah. Suami betah makan di rumah. Dan yang pasti, bisa menjadi ajang keakraban bagi seluruh anggota keluarga saat makan bersama.
Sebagai seorang muslimah, emak tak hanya berkutat dengan urusan dapur. Statusnya sebagai seorang muslimah, harus memacunya agar cerdas dalam berpolitik. Politik harus dikuasai sebagaimana keahliannya dalam memasak di dapur.
Materi apa saja yang ada dalam perpolitikan harus dipahami layaknya semua macam bumbu dapur yang harus ada dalam sebuah masakan. Hasil akhirnya, muslimah yang cerdas politik akan terlibat langsung dengan masyarakat.
Mampu menyikapi semua persoalan dengan sudut pandang politik. Menjadi pioner dalam masyarakat. Menebar kebaikan demi kemaslahatan umat.
Apa sih politik itu? Dalam perspektif Aristoteles dan para filosof Yunani, politik dimaknai sebagai segala sesuatu yang sifatnya dapat direalisasikan kebaikannya di tengah masyarakat.
Politik meliputi semua urusan yang ada dalam masyarakat. Sudut pandang ini meletakkan politik sebagai bagian dari moral dan akhlak. Secara terminologi Arab, dapat dipahami bahwa kata siyasah (politik) berasal dari kata as-saus yang berarti ar-riasah (kepengurusan).
Jika dikatakan saasa al-amra berarti qaama-bihi (menangani urusan). Seseorang dikatakan berpolitik dalam konteks ini, jika melakukan sesuatu yang membawa maslahat jamaah atau sekumpulan orang.
Dari pengertian politik di atas, maka seorang muslimah memiliki peran penting dalam berpolitik. Mengurus masalah umat, merupakan wujud kepedulian bagi setiap muslimah.
Kepekaannya terhadap masalah yang muncul di masyarakat, menjadi ciri khas kemampuannya dalam berpolitik. Semisal, menghadapi hangatnya semarak Pilpres mendatang. Muslimah yang cerdas politik tidak hanya sekedar ikut memilih satu dari pasangan capres.
Sikapnya dalam memilih atau tidak, berangkat dari satu pemikiran. Bukan hanya sekedar ikut-ikutan, atau takut terhadap adanya tekanan. Penilaiannya terhadap calon yang dipilih, ditentukan berdasar sudut pandang Islam yang dipahaminya.
Alhasil, apa yang dilakukannya terkait dengan Pilpres, adalah buah dari pemikirannya yang mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah Swt.
Banyak dalil keagamaan yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung hak-hak muslimah dalam bidang politik. Salah satu ayat yang dapat dikemukakan dalam kaitan ini adalah QS. At-Taubah ayat 71:
وَالمُؤ مِنُو نَ وَ المُؤ مِنَتً بَعْضُهُم أولِياَ ء بَعضٍ, يَا مُرٌونَ بِا لمعرٌوفِ ويَنهَونَ عَنِ المثكَرِ وَ يُقِيمُون الصلو ةَ ويؤ تو ن الز كو ة ويطيعو ن الله ورسو له, اولئك سير حمهم الله, انّ الله عزيز حكيم
Artinya :
"Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah aulia bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan dirahmati Allah sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”
Pengertian kata aulia dalam ayat di atas mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan. Adapun pengertian menyuruh yang ma’ruf, mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat atau kritik kepada penguasa.
Dengan demikian, setiap muslimah hendaknya mengikuti perkembangan di masyarakat agar mampu melihat dan memberi saran atau nasihat, dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik.
Keterlibatan dalam politik adalah kewajiban bagi setiap umat, termasuk juga seorang muslimah. Bagi yang tidak mau ikut memikirkan masalah umat, maka akan mendapatkan celaan. Berpolitik bagi seorang muslimah, adalah wujud kepeduliannya dalam mengurus masalah umat.
Rasulullah saw bersabda, “siapa saja bangun di pagi hari dan perhatiannya kepada selain Allah, maka ia tidak berurusan dengan Allah. Dan barangsiapa yang bangun pagi dan tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).” (HR Hakim dan Al Khatib dari Hudzaifah r.a.)
Allah swt berfirman:
ولتكم منكم أمّة يدعون إلى الخير ويأ مرون با لمعروف وينهون عن المنكر. وأولئك هم المفلحون
“Dan hendaklah ada diantara kalian umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Ketika seorang muslimah berupaya memfungsikan segenap potensinya untuk mengurusi dan menyelesaikan problematika umat, berarti ia telah melakukan peran politik. Peran politik bisa dilakukan siapa saja, baik dalam kondisi jadi penguasa ataupun rakyat biasa.
Oleh karena itu, wanita dapat melakukan peran politik meskipun tidak menjadi penguasa (penentu kebijakan). Pun sama halnya, ketika muslimah juga terbebani kewajiban dalam hal berdakwah (amar ma’ruf nahi munkar), menuntut ilmu serta menunaikan ibadah-ibadah ritual.
Begitulah politik bagi seorang muslimah. Ibaratnya bumbu dapur lengkap yang disediakan emak dalam sebuah masakan, maka kecerdasan seorang muslimah akan membuat warna dan cita rasa tersendiri dalam dunia perpolitikan. Kiprahnya dalam pengurusan masalah umat, akan membuat umat semakin tercerahkan tentang dakwah islam.