Oleh: Rosmiati (Muslimah Peduli Negeri)
Pada 17 Februari 2019 lalu telah terlaksana debat Capres kedua. Sejumlah data pun disampaikan pada kesempatan itu. Namun sayangnya data yang disampaikan rupanya bukanlah data yang dapat dipercaya kebenarannya. Bagaimana tidak, beberapa data yang disampaikan Pak Presiden malam itu mendapat bantahan dari beberapa pihak terkait keakuratannya.
Perihal Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) misalnya, Pak Presiden mengatakan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun terakhir tidak terjadi lagi kebakaran hutan. Namun sayangnya, pernyataan pak Presiden ini tidaklah sejalan dengan data yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dilansir dari Detiknews (17/02/2019), bahwa tahun 2019 (hingga Februari) telah terjadi 5 kali kejadian karhutla, 1 orang hilang atau meninggal dunia. Sedangkan pada tahun 2018 ada 370 kali kejadian karhutla dan 4 dinyatakan hilang atau meninggal dunia. Pada 2017 terdapat 96 kali kejadian kebakaran hutan dan lahan 2 korban jiwa dari peristiwa ini. Dan terakhir pada tahun 2016 ada 178 kali kejian karhutla, 2 orang meninggal dunia.
Tidak hanya dari BNPB, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati juga membantah kalau tidak ada kebakaran hutan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Data titik panas api yang ditemukan ada 8.617 titik panas sepanjang 2018 dan itu terjadi di lahan gambut.
Begitu pula dengan klaim Jokowi yang mengatakan tidak adanya konflik lahan dalam pembangunan infrastruktur juga turut dibantah olehnya. Sebab hal yang sebaliknya dikatakan oleh Kantor Staf Presiden, total konflik mencapai 555 kasus (Merdeka, 18/02/2019 )
Tidak sampai disitu saja, pada bidang agraria pun data yang disampaikan juga tidaklah relevan dengan keadaan. Dengan berhasil membagikan sejumlah sertifikat tanah. Beliau mengangap bahwa kondisi agraria kita baik. Namun rupanya, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 3 Januari 2019 konflik agraria di masa pemerintahan Jokowi-JK menelan korban 41 nyawa melayang dan 546 Dianiaya hingga 51 orang tertembak. (CNNIndonesia,04/01/2019).
Ketidakakuratan data yang disampaikan ketika debat malam itu pun akhirnya melahirkan kesan “berbohong” dan ini tidak dapat dipungkiri. Dahnil Anzar Simanjuntak selaku Jubir BPN Prabowo –Sandiaga, mengatakan bahwa kebohongan ini dilakukan secara telanjang dan tentu ini tidak baik untuk publik (Detiknews, 18/02/2019). Berbohong memang bukanlah sesuatu yang terpuji. Namun perkara ini nampaknya sudah menjadi hal biasa dalam kehidupan demokrasi. Jika merujuk pada ungkapan Rizal Ramli ketika hadir di acara ILC edisi (19/02/2019). Bahwa hal-hal semacam ini sudah sering terjadi di masa-masa pemerintahan sebelumnya. Banyak pejabat negara yang menyampaikan data ke atasan (presiden) bahwa aman-aman saja tapi pada faktanya ternyata tidaklah demikian. Pola birokrasi kita yang masih semifeodal menjadi penyebab hal ini menjadi biasa.
Selain Rizal Ramli, Prof. Mahfud M.D dalam uraiannya beberapa tahun lalu yang dilansir oleh Hidayatullah.com (08/06/2015), mengatakan bahwa demokrasi potensial melahirkan para demagog yaitu sosok orang yang suka berpidato tetapi bohong. Maka jelaslah bahwa perilaku berbohong adalah hal yang dikehendaki dalam kehidupan berdemokrasi bahkan diberi ruang untuk berkembang. Mengumbar kebohongan pun tidak lagi dianggap aib yang amat memalukan bagi seorang pemimpin. Sebab begitulah naturalisasi permainan politik dalam demokrasi. Berbohong demi abadinya jabatan itu hal biasa. Mengobral janji diawal masa kampanye itu sah-sah saja. Sosok pribadi yang jujur pun ketika masuk dalam lingkaran demokrasi akan mudah untuk berubah menjadi seorang yang berbohong. Sebagaimana ungkapan Mahfud M.D yang yang mengatakan “Malaikat masuk kedalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis” (Republika, 07/10/2019).
Sistem kapitalis yang lebih berpihak kepada para pemilik modal, menjadi penyebab lahirnya berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat. Berbagai janji yang terucap sebelumnya pun tidak akan bisa terealisasi jika tak berpihak kepada para pemilik modal. Maka tidak jarang jika janji-janji yang katanya akan pro rakyat pupus ketika telah duduk di kursi kekuasaan. Sebagaimana rezim hari ini yang janji tidak akan impor beras, tidak akan menaikan harga bbm dan lain sebagainya nyaris tak terlaksana ketika berkuasa.
Tentu kita sama-sama menginginkan agar budaya berbohong ini tidak terus mewarnai jalannya roda kepemimpinan bangsa. Jika memang kemunculannya akibat naturalisasi dari sistem demokrasi yang sejatinya potensial melahirkan para demagogis sebagaimana ungkapam Prof Mahfud M.D diatas. Maka mengakhiri sistem tersebut adalah jalan keluar terbaik demi kemaslahatan bersama. Sehingga tertutup sudah jalan para demagog untuk terus berbohong. Mengingat hakekat dari kepemimpinan ialah memberikan keteladanan pada kesesuaian ucapan dan perbuatan yang kelak akan dipertanggungjawabakan. Jika sudah tidak ada kekonsistenan diantara keduanya maka apalah artinya kepemimpinan itu. Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang Allah minta dia mengurus rakyat , dia mati pada hari di mana dia menipu (mengkhianati) rakyatnya kecuali Allah haramkan baginya syurga” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Itulah mengapa kepemimpinan dalam Islam tidak membolehkan penguasanya berbohong, ingkar terhadap janji-janjinya serta menerapkan kebijakan yang menzolimi rakyatnya. Sebab ia sadar bahwa kelak mulut, tangan dan anggota tubuh yang lainnya akan dihisab dan bersaksi di hadapan Allah SWT.
Selain itu, meraih kekuasaan dengan cara membohongi rakyat adalah hal yang sangat dilarang di dalam Islam. Sebab hal itu telah menodai kesucian tahta dalam kepemimpinan yang sejatinya itu suci sebab berasal dari amanah ilahi serta akan menjauhkannya dari nilai ibadah sebab dalam Islam aktivitas kepemimpinan itu juga termaksud ibadah kepada Allah Swt. Keberkahan pun akan jauh darinya sebab jalan yang ditempuhnya sedari awal telah keliru. Sementara di dalam Islam berkahlah yang diharapkan. Sebab perkara ini akan nampak pada kesejaterahan masyarakat seluruhnya.
Kita bisa melihat potret kepemimpinan para khalifah di masa kenabian bahkan selepas itu. Misalnya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, dimana kehidupan para penduduk negeri kala itu sejaterah bahkan konon katanya para binatang buas pun tak saling menerkam sebab masing-masing tercapai kebutuhan makannya. Begitu pula dengan kas negara yang membludak. Ingin dibagikan kepada rakyat namun tak ada lagi rakyat yang hidupnya kekurangan. Tak ada lagi yang berhutang. Begitu pula ketika pemerintahan Umar Bin Khathab, dimana sungai nil yang kala itu kering kerontang kembali mengeluarkan airnya akibat disurati oleh Umar.
Fenomena diatas boleh terjadi ketika kepemimpinan itu berdiri diatas jalan yang benar. Prosesnya sedari awal suci dan bersih serta menegakannya dengan metode yang memang diperintahkan Allah yakni dengan Islam bukan dengan jalan yang berkiblat pada nilai-nilai sekuler. Lihatlah keberkahan dari kekuasaan kala itu hingga alam pun tunduk pada ucapan sang khalifah. Maka patutkah kini kita masih saja ragu untuk mengambilnya kembali sebagai pedoman baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara?. Padahal jejaknya selalu terukir indah dalam setiap lembaran sejarah peradaban dunia. Wallahu’alam bishowab