BPJS Gratis?Utopis!

Oleh: Rosmiati (Aktivis Akademi Menulis Kreatif)


BPJS yang sejak awal pendiriannya menjanjikan layanan kesehatan gratis kepada seluruh lapisan masyarakat, kini hal itu tidak berlaku lagi dikarenakan adanya perubahan sistem tata kelola di dalamnya. Dimana semua itu terjadi akibat adanya defisit anggaran. Dan penetapan kebijakan baru ini diharapkan mampu menekan defisit yang dialami.  Dilansir melalui Tribunnews menteri keuangan Sri Mulyani secara resmi memberikan keterangan bahwa BPJS kesehatan tidak gratis lagi sebagaimana dahulu kala. Dan aturan ini pun tertera dalam Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 tentang pengenaan urun biaya BPJS kesehatan  dan selisih biaya program  Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesua Sehat (JKN-KIS). 

Hal ini pun diakui oleh Iqbal Anas Ma’ruf selaku kepala Humas BPJS dimana masyarakat nantinya harus melakukan urunan. Namun, ada perbedaan nominal antara rawat jalan dan rawat inap. Untuk rawat jalan iuran yang dikenakan sebesar Rp 20.000  setiap kali kunjungan ke RS Kelas A dan RS kelas B. Sedangkan pada RS kategori kelas C dan D serta klinik utama iuran yang dikenakan sebesar Rp 10.000. Jika kunjungan dilakukan sebanyak 20 kali dalam kurun waktu 3 bulan maka iurannya pun bertambah menjadi Rp 350.000.  Sementara untuk rawat inap, besaran urun biayanya adalah 10 persen dari biaya pelayanan , hal ini dihitung berdasarkan tariff INA CBG’s setiap kali melakukan rawat inap yakni sebesar 30 juta. (Viva.co.id 23/01/19). 


Bersamaan dengan hal itu, kampanye/sosialisasi program ini kian merambah hingga ke aparat desa. Belum lama ini BPJS Ketenagakerjaan mengatakan untuk memberikan jaminan sosial kepada para pekerja termakusd aparat desa, pegawai non ASN yang wilayah kerjanya dalam lingkup pemerintahan provinsi, kabupaten maupun kota madya. Tentu peng-wajiban aparat desa untuk memiliki kartu jaminan sosial ini baru-baru saja terdengar yang salama ini eksis hanyalah kalangan ASN saja. Nampaknya pemerintah menginginkan agar seluruh elemen masyarakat menggunakan Jaminan kesehatan ini. 


Namun sayangnya ketidakpuasan masyarakat pengguna kartu jaminan kesehatan ini masih saja terjadi. Aiptu Nengah Sumenasa misalnya, seorang anggota kepolisian yang isterinya ditolak oleh salah satu RS di daerah Banyuwangi pada 3 Januari lalu. Akibat penolakan ini nyawa janin yang ada di dalam kandungan sang isteri tak bisa diselamatkan dikarenkan ketika berkunjung ke RS tersebut kondisi sang isteri sedang pendaharan usia kehamilannya pun masih 4 bulan. “Sekitar pukul 09.30 WIB, kami datang ke poliklinik RS Fatimah. Lalu, mendaftar sebagai pasien BPJS. Bukannya diterima, justru petugas pendaftaran mengatakan layanan BPJS sudah tutup. Dan dokter yang menangani diklaim sedang operasi. Kemudian diarahkan untuk datang lagi keesokan harinya. Padahal saya sudah jelaskan kondisi isteri saya. Ungkap Pak Sumenasa kepada pihak wartwan ketika selesai melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian. (Detiknews 11/01/18).


Sebuah fenomena seakan-akan pihak RS tak berhati ketika pasien datang dan mendaftar sebagai bagian dari BPJS. Setahun silam  penulis pun pernah di rawat inap di salah satu RS. Dan ketika itu ada satu pihak keluarga pasien yang telah lebih dulu dirawat mengatakan agar tidak mendaftar sebagai pasien BPJS dikarenakan nanti akan lambat dalam proses pelayanan sementara penyakit yang diderita pasien masuk dalam kategori parah. Beliau pun bertutur demikian berdasarkan pengalaman yang dialaminya. Maka janji awal untuk mempermudah dalam perkara pelayanan kesehatan dalam praktiknya nihil. Kalau pun ada maka itu tidak merata dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. 


Bahkan telah banyak nyawa yang melayang akibat kebijakan yang awalnya sungguh manis itu. Akibatnya tidak sedikit pihak yang menolak keberadaan BPJS. Diakui oleh Jaih Mubarok selaku Wakil Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Syariah Nasional MUI, pihak MUI menilai sistem premi hingga pengelolaan dana peserta BPJS Kesehatan tak sesuai dengan fiqih. Dimana dalam transaksi ini tidak adanya kejelasan akad, apakah iuran atau hibah?. Sebab kata beliau, hal ini harus jelas bagaimana statusnya, kejelasan bentuk dan jumlah akad atau iuran. Jika tidak maka BPJS telah melakukan penipuan. Disisi lain juga tak ada kejelasan terkait uang yang telah disetorkan apakah menjadi milik negara, BPJS atau peserta? (Tempo.Co 30/07/15). 


Pernyataan dari pihak MUI seakan dijawab oleh Tribun-Timur, dimana dalam lansiran beritanya dikatakan bahwa BPJS bukanlah jaminan kesehatan bagi masyarakat yang benar-benar pemerintah mengadakannya sebab dana untuk BPJS itu bersumber dari rakyat dan itu 100 persen dana dari masyarakat. Di mana pemerintah hanya memfasilitasi penetapan  kebijakan saja dengan memberikan iuran bulanan yang harus dibayarkan oleh setiap anggota masyarakat. (Tribun –Timur 25/10/15)



Maka penetapan aturan baru dengan membayar iuran setiap kali berkunjung ke RS tentu kian menambah derita rakyat. Ditengah himpitan masalah ekonomi, rakyat harus dibebani dengan membayar iuran kesehatan. Padahal perihal ini harusnya menjadi tanggung jawab penguasa sepenuhnya. Namun, beginilah watak dari sistem kehidupan yang neolib. Alih-alih ingin mengurusi urusan rakyat namun gencar menciptakan kebijakan yang menyusahkan rakyat. Racun pun dibalutnya dengan permata. Seakan luarnya menampakan kenikmatan namun dalam prosesnya kian menyebarkan virus yang mematikan. Begitu pula dengan fenomena BPJS yang semula dipenuhi dengan janji-janji manis. Namun berujung pilu. Seiring berjalannya waktu rakyat kian tercekik dengan kebijakannya. 


Padahal, kesehatan merupakan kebutuhan pokok setiap orang dan perkara ini merupakan aset paling berharga bagi setiap insan manusia. Rasulullah Saw pun telah mengingatkan akan perkara ini melalui sebuah hadistnya “Siapa saja yang memasuki pagi hari merasa aman pada kelompoknya, sehat badannya, dan tersedia bahan makanannya di hari itu, maka seolah-olah dia telah memiliki dunia semuanya.” (HR.Muslim)


Maka di masanya pelayanan kesehatan ditingkatkan berbagai fasilitas dihadirkan untuk memudahkan ummat memperoleh pelayanan medis. Bahkan pemberian pelayanan ini gartis tidak dipungut biaya sepeserpun. Namun justru sebaliknya, pihak RS membantu pasien dengan memberi uang ketika hendak pulang sebab dipahami ketika sakit mereka tidak beraktivitas dan memperoleh pemasukan. Penetapan hal ini tentu lahir dari kesadaran seorang pemipin akan keberadaannya sebagai pengatur dan pengayom rakyatnya.


Sebab memudahkan urusan rakyat,  itulah tugas seorang penguasa yang kelak perkara ini akan dipertanggungjawabkannya dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.  Sebagaimana sabda Rasul Saw “Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya).” (HR Bukhari).  


Penggratisan layanan kesehatan tentunya bisa pula kita contohi dan terapkan dimana dengan memberikan alokasi dana yang cukup bagi aspek ini ‘kesehatan’ dan bisa diraih dengan mengatur tata kelola hasil alam dengan baik pula. Dimana hasilnya benar-benar dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat bukan untuk keuntungan segelintir orang saja.  Wallahu’alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak