Antara Ulama Dan Kekuasaan


Rima Septiani 

( Mahasiswi  UHO)


Doa ulama sepuh Nahdlatul Ulama Maimun Zubair menjadi isu yang paling disukai netizen pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Hal itu berdasarkan survei Politicawave terhadap aktivis percakapan netizen di sejumlah media sosial.

Maimun Zubair sempat menyebut nama Prabowo saat calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo bersilahturahmi dan mengunjungi Pondok Pesantren Al-Anwar Kelurahan karang mangu Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Namun, kubu Jokowi  kemudian meluruskan peristiwa itu, dengan menyebut bahwa Mbah Moen salah ucap.(cnnindonesia.com/07/02/2019)


Ulama, Alat Meraih  Kekuasaan?

Tinggal tersisa beberapa bulan lagi, rakyat Indonesia akan memasuki tahun pesta demokrasi yang sejatinya merupakan tahun politik untuk menentukan Indonesia ke depannya. Pengaruh politik merambah kepada tokoh agama maupun  ulama. Masifnya deklarasi dukungan  terhadap masing-masing Capres-Cawapres, semakin kerap ditampilkan menjelang Pilpres.


          Survei terbaru yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebutkan, pengaruh tokoh agama dalam pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 cukup dominan. Sebanyak 51,7 % pemilih menyatakan bahwa mereka sangat mendengar imbauan tokoh agama. Pengaruh merata di semua segmen pemilih dengan beragam latar belakang.(serambi.com/15/11/2018)

Menguatnya pengaruh ulama dan tokoh-tokoh agama, menunjukkan bahwa sentimen agama semakin kokoh dibangun sebagai isu politik. Secara nyata, panggung demokrasi memang membutuhkan suara pemilih sebagai penentu kemenangan, wajar saja ciri khas dari sistem ini adalah memanfaatkan segala cara untuk meraup suara terbayak. Termasuk, memanfaatkan suara ulama sebagai perwakilan umat Islam.


Sebenarnya porsi agama dalam mengatur politik tak bisa dipinggirkan, terutama bagaimana peran agama dalam menentukan pemimpin yang akan  diangkat. Andil agama justru mesti dihadirkan, dalam rangka menghasilkan pemimpin yang bervisi dunia dan akhirat.


Perbincangan ulama dan isu politik  bukanlah hal yang baru, ulama kerap dijadikan stempel dalam melegitimasi regulasi hukum dan kebijakan-kebijakan penguasa. Penguasa akan senantiasa mencari daya tarik tersendiri, sekalipun dengan jalan melibatkan tokoh-tokoh agama dan para ulama. Termasuk melakukan kunjungan di berbagai pesantren, dalam rangka menarik simpati umat Islam.


Tak bisa dipungkiri, tokoh agama saat ini semakin populer. Komentarnya terkait isu agama dan politik senantiasa ditunggu masyarakat. Bahkan, kepercayaan masyarakat terhadap tokoh agama lebih tinggi dibandingkan kepercayaan kepada lembaga dan tokoh politik. Tidak jarang juga kita melihat, adanya para politisi yang mendekati para ulama dalam meraup suara dan memohon restu supaya menang dalam kontestasi politik.


Hanya saja, ikut sertanya ulama dalam politik, justru  hanya dijadikan sarana untuk meraup suara rakyat. Melihat Indonesia merupakan mayoritas Muslim, maka ada peluang bagaimana ulama hanya sekedar dimanfaatkan untuk meningkatkan elektabilitas atau rating perolehan suara. Wajar saja, karena dianggap  suara ulama merupakan  perwakilan  suara umat Islam.


Inilah politik demokrasi yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan kemenangan, termasuk berebut suara ulama. Ulama dijadikan alat untuk meraih kekuasaan. Hadirnya ulama memang memberi pengaruh besar untuk mendukung pasangan Capres dan Cawapres.


Tak jarang, dalam demokrasi ulama rentan dijadikan  alat legitimasi kekuasaan menjelang pemilu dan mengeluarkan kebijakan. Pemerintah akan melibatkan ulama dalam proses pembuatan kebijakan politik karena ulama memiliki kemampuan untuk mempengaruhi opini publik dengan fatwa-fatwa yang dibuat, baik itu untuk mendukung atau menentang kebijakan pemerintah.


Mengembalikan Peran Ulama

Dalam Islam, peran ulama sangat dibutuhkan. Kehadirannya yaitu untuk menjaga kemurnian penerapan hukum Islam. Menjadi sumber rujukan pada setiap persoalan masyarakat yang terus berkembang. Termasuk, ketika ada kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintah banyak menyimpang dari aturan Islam, maka urgensitas ulama mesti diadakan untuk mengoreksi penguasa.


Ulama menjadi pihak terdepan melakukan muhasabah kepada penguasa. Wajib menentang kebijakan penguasa terhadap perkara yang melanggar syariat. Bukan menjadi  alat legitimasi atas kebijakan-kebijakan penguasa yang menyimpang dari syariat Islam, yang mengakibatkan umat  mengalami kebingungan dan  jauh dari pemahaman Islam yang benar.


Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis satu bab tentang berinteraksi dengan penguasa, dan hukum mendekati mereka, beliau rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa interaksimu terhadap penguasa dan pejabat zalim, ada tiga keadaan, keadaan pertama, adalah yang paling buruk yaitu memasuki pintu-pintu penguasa. Yang kedua, yang bahayanya lebih sedikit, yaitu ia berusaha mendekatimu Yang ketiga, yang paling selamat, engkau menjauhi mereka, engkau tidak melihatnya, begitu pula sebaliknya.


Hendaklah, ulama memahami kehadirannya sebagai teladan. Mereka merupakan pewaris para nabi dan bagaikan bintang di kegelapan yang memberi petunjuk. Keberadaannya diwajibkan sebagai pengarah masyarakat agar berada di rel yang benar, sekaligus memahamkan penguasa dengan pemahaman  Islam yang benar. Senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, dan menjelaskan pada umat untuk kembali pada syariat Islam secara kaffah. Hingga, berharap Allah akan mengembalikan kejayaan Islam ditangan para ulama. Wallahu a’lam.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak