Oleh: Arin RM, S.Si
(Freelance Author, Member TSC)
Sepanjang usia negeri ini, banyak sekali sosok pemimpin yang pernah ada. Dari level daerah, provinsi, hingga nasional sekalipun turut berganti seiring pelaksanaan pemilihan umum. Namun, kadang apa yang diharapkan tak seindah kenyataan yang didapatkan. Banyak di antara mereka yang kemudian lupa akan janji manis saat kampanye. Tak sedikit di antara mereka yang larut dalam arus demokrasi, menargetkan “balik” modal ketika telah berkuasa. Mengatur siasat sedemikian rupa agar SDA menjadi peluang kaya. Walhasil kekecewaan lah yang dirasakan.
Kekecewaan semakin meningkat ketika janji kesejahteraan yang dikampanyekan justru berakhir kesengsaraan. Rakyat dinomorsekiankan, sedang para pemilik modal alias para kapital mendapatkan prioritas utama dari pemegang jabatan. Terjadi kolaborasi apik antara penguasa dan pengusaha, korporatokrasi neoliberal pun tak bisa dielakkan. Lagi-lagi segala asset dalam negeri, khususnya SDA terpaksa harus direlakan ke asing atas nama investasi. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak sumber daya alam Indonesia akhirnya dijual murah ke luar negeri oleh sejumlah oknum.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M Syarief menyoroti maraknya korupsi di sektor Sumber Daya Alam (SDA). Menurut Laode, banyak pejabat di Indonesia yang sengaja menjual murah SDA. Para pejabat menjual murah sumber daya alam untuk kepentingan pribadinya.
Sejauh ini, kata Syarief, pihaknya baru dapat memproses sekira 20 penyelenggara negara ataupun pejabat daerah yang melakukan korupsi di sektor SDA. Dari korupsi tersebut, sambungnya, KPK menemukan kasus yang merugikan negara hingga Rp1,2 triliun (news.okezone.com, 25/01/2019).
Para oknum yang tega berbuat demikian adalah bagian dari sistem yang salah. Mereka menjadi pemimpin di dalam lingkaran siklus kepemimpinan yang liberal lagi sekuler. Iming-iming gemerlap dunia menyilaukannya sehingga seolah lupa bahwa apa yang diembannya akan dimintai pertanggungjawaban pasti di hadapan Allah kelak. Merekapun berhasil menduduki singgasana kepemimpinan karena banyaknya pilihan yang diperoleh. Untuk itu, penting menjadi pelajaran bagi siapapun yang akan memilih agar cermat dalam memberikan suara. Tidak seharusnya pemilih tertipu lagi dengan mereka yang lupa bahwa kekayaan milik umat tidak boleh dikuasai pribadi. Dan berikut panduan kelayakan calon pemimpin dalam Islam agar mereka benar-benar layak sebagai pemimpin:
Pertama: Pemimpin harus seorang Muslim. Sama sekali tidak sah kepemimpinan negara diserahkan kepada orang kafir dan tidak wajib pula menaatinya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surat an-Nisa’ [4]: 141. Kedua: Pemimpin harus seorang laki-laki. Rasulullah bersabda: Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan. (HR al-Bukhari). Ketiga: Pemimpin harus balig. Hal ini sesuai dengan riwayat Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib ra., bahwa Rasul SAW. pernah bersabda: Telah diangkat pena (beban hukum, peny.) dari tiga golongan: dari anak-anak hingga ia balig; dari orang yang tidur hingga ia bangun; dan dari orang yang rusak akalnya hingga ia sembuh. (HR Abu Dawud). Keempat: Pemimpin harus orang yang berakal. Kelima: Pemimpin harus seorang yang adil. Keenam: Pemimpin harus orang merdeka. Ketujuh: Pemimpin harus orang yang mampu.
Selain tujuh syarat di atas, Islam juga memandu agar memilih calon pemimpin yang jujur dan tidak zalim. Terkait hakikat pemimpin harus jujur HR Bukhari dan Muslim menjelaskan: “Tidaklah seorang hamba yang Allah jadikan pemimpin untuk mengurus rakyat, mati pada hari dia menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya”. Mengenai definisi pemimpin zalim itu sendiri, yang dimaksud adalah mereka yang dalam kepemimpinannya tidak mau berhukum dengan hukum Allah SWT, yakni yang enggan berhukum dengan Alquran (Almaidah ayat 55).
Mengingat kepemimpinan sangat penting agar, maka kehadiran sosok pemimpin sangat dibutuhkan demi keteraturan pengelolaan segala urusan yang ada di tengah-tengah umat, termasuk SDA. Oleh karenanya, Islam memberikan perhatian lebih dalam hal kepemimpinan ini. Kepemimpinan harus diemban oleh mereka yang siap bertanggungjawab, sebab Rasulullah bersabda: “Diriwayatkan Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin umar r.a berkata : Saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan di minta pertanggung jawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggung jawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan di tanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal-hal yang dipimpinnya” (HR. Muslim).
Ketentuan pemimpin di atas, --yang hanya bisa tertunaikan semupurna jika dalam satuan sistem Islam-- setidaknya akan melahirkan sosok pemimpin yang bertanggungjawab terhadap kepemimpinannya. Ia tak akan tamak urusan dunia dan menimbun kekayaan pribadi dengan mencurangi pengelolaan SDA. Ia akan berpikir panjang jika akan berbuat curang, sebab ia menyadari apapun yang dikerjakannya dalam kapasistasnya sebagai pemimpin umat akan berimbas pada kesejahteraan umat. Sebisa mungkin kendali ketaqwaan yang dimilikinya akan menuntunnya untuk menjadi sosok pemimpin yang mampu dan semakin menyejahterakan [Arin RM]