Agar "Pelangi" dan "Coklat" Tak Menodai Kesucian Cinta

Oleh: Arin RM, S.Si

(Freelance Author, Member TSC)

Pertengahan bulan kedua tiap tahun Masehi biasa identik dengan momen cinta. Padahal fenomena mengkaitkan bulan tertentu dengan cinta adalah salah satu pertanda suksesnya kampanye kebebasan berekspresi yang sejak bertahun-tahun lamanya digelindingkan ke tengah tengah dunia remaja. Meskipun bukan berasal dari Islam, opini itu senantiasa didengungkan sedemikian rupa sehingga bisa diterima oleh remaja yang mayoritas Muslim.

Parahnya, kebebasan berekspresi kian dihujamkan dengan adanya komik kaum "Pelangi". Bahkan tak segan pula ppenghamba kebebasan ekspresi ini mencatut kata  muslim pada akun Instagram (IG) @alpant**i 'Gay Muslim Comics'. Sungguh disayangkan. Wajar jika kemudian ada Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PPP, Syaifullah Tamliha yang mengecamnya. "Tidak ada tempat bagi LGBT di Indonesia, sebab negara kita memang bukan negara agama, tapi negara yang memiliki agama. Semua kitab yang dibaca, Alquran bagi muslim, Injil bagi Nasrani, dan Taurat bagi Yahudi, dan lain-lain melarang perkawinan sejenis," ungkapnya kepada wartawan m.detik.com (10/02/2019).Hal serupa di masyarakat riil bisa jadi jauh lebih banyak, sebab gempuran arus kebebasan ekspresi, yang sejatinya bagian dari paket liberalisme  semakin deras. Dan liberalisasi berbaju "pelangi" atau "coklat" inilah yang berpotensi menodai kesucian cinta.

Sejatinya cinta tak harus salah jalan. Namun, pelampiasan cinta yang berujung kesalahan acap kali diawali oleh pemahaman makna cinta yang salah pula. Pemaknaan cinta ala liberalisme mengajarkan si empunya rasa untuk mengekspresikan gejolak hatinya dengan berinteraksi pada lawan jenis. Namun interaksi yang terjadi sengaja diarahkan pada ungkapan ekspresi yang tak tepat, sehingga cinta ala liberalisme ini secara otomatis mendorong pada hubungan non mahram yang tak halal.

Maka merebaklah persahabatan antarlawan atau sesama jenis, teman tapi mesra, dan pacaran pastinya. Meskipun sejatinya salah, namun karena sangat sering dikampanyekan, maka aktivitas di atas banyak dilakukan, bahkan parahnya terjadi pemakluman. Terlebih bagi kalangan pelaku penyimpangan seksual, mereka sering berkuflase di tengah masyarakat. Berlagak berorientasi seksual normal, tetapi menyembunyikan  disorientasi seksualnya. Disinilah penting bagi masyarakat berperan sebagai penolak arus kehidupan yang notabenenya salah, bukan justru biasa dengan aktivitas pacaran dan sejenisnya. Sebab berawal dari pelampiasan cinta yang salah inilah masa depan generasi terenggut.

Oleh karenanya, setiap orang perlu memahami lagi bahwa sesungguhnya cinta adalah _natural feeling_  yang dialami remaja, bahkan ada di setiap jiwa. Cinta adalah fitrah manusia. Allah menghadirkannya dalam dunia agar tercipta harmoni, kedamaian, dan kebaikan sesama manusia. Artinya cinta senantiasa ada sepanjang zaman. Hanya saja, sangat tidak layak jika mengekploitasi makna cinta sebatas rasa ketertarikan kepada lawan jenis sebagaimana liberalisme di atas.

Cinta tak boleh tunduk pada hawa nafsu semata. Ianya harus diarahkan dengan benar agar tak memupuskan keindahannya. Ianya perlu mengikuti panduan dari sang Mahacinta agar tak salah memilih jalan masa depannya. Lantas dimanakah bisa ditemukan makna cinta yang masih suci? 

Untuk menjawab itu, Islam hadir dengan memaknai cinta sebagai _irodatuth tho’at_, kecenderungan untuk taat. Maknanya Islam menempatkan cinta tertinggi sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Ketaatan ini bukan kefanatikan. Ketaatan ini adalah bagian dari konsekuensi tauhid, keyakinan bahwa Allah lah pencipta sekaligus pengatur kehidupan, manusia, dan alam semesta. Ini adalah bukti maha sayangnya Allah kepada ciptaan Nya, tak sekedar membuat tetapi melengkapi nya dengan aturan, yang tak lain adalah cara pakai yakni prosedur pelaksanaan aktivitas kehidupan sehari-hari, termasuk prosedur mengelola urusan cinta.

Semua aturan prosedural ini sudah tersedia lengkap dan dibukukan dalam Alquran. Kitab ini pun dilengkapi dengan penjelasan lengkap dalam bentuk hadits. Tak hanya itu, agar aturan yang sejatinya adalah petunjuk alias aturan main selama hidup ini dapat dirujuk sewaktu waktu sebagai sumber hukum, maka Alquran dan hadits masih disertai dengan ijma dan qiyas. Keempatnya adalah sumber hukum yang memberikan acuan pemaknaan yang benar akan hakikat segala sesuatu. Kompleks dari urusan bangun tidur hingga bangun negara, dari urusan cinta dan penyalurannya, serta bagaimana sanksi bagi pelaku cinta salah jalan (freesex dan kaum pelangi).

Dengan panduan Alquran cinta sejati telah Allah sajikan. Fitrah manusia akan tersalurkan pada jalan yang benar. Cinta akan menempati urutannya berdasarkan ketaatan. Cinta kepada Allah akan dudukan, menempati posisi teratas di urutan daftar cinta. Dengan cinta kepada Allah, manusia suka rela akan menjalankan isi Al-Qur’an sebagai bentuk keimanan. Arahnya benar, karena landasan iman, bukan hawa nafsu yang seringnya bablas. Ketika cinta sudah memuncak, maka pengorbanan untuk yang dicinta pun akan dilakukan, sehingga apapun yang didawamkan dalam Al-Qur’an akan didengarkan untuk dilaksanakan, _sami’naa wa atho’naa_.

Artinya jika Al-Qur’an mewajibkan mereka yang mencintai untuk menyelesaikan dengan cara halal, maka menikah adalah jalannya, bukan dengan _free sex_ dengan yang sejenis ataupun lawan jenis. Jika ternyata belum mampu, maka hadits pun menjelaskan, hendak nya berpuasa agar naluri cintanya teralihkan kepada naluri keimanan yang meninggi tatkala puasa. Inilah salah satu bukti pengaturan cinta suci. Jadi, terbukti kan jika hanya aturan Allah saja yang mampu melindungi cinta dari noda berbalut coklat atau pelangi? [Arin RM].

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak