Oleh: Yanyan Supiyanti (Member Akademi Menulis Kreatif)
Ibarat vampir, pajak adalah darah bagi sistem ekonomi neoliberal, apa pun akan dikenai pajak.
Semua pemilik platform begitu kaget saat mendengar adanya implementasi dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 tentang pajak untuk e-dagang.
Pajak dikenakan baik kepada pemilik platform maupun kepada mitra-mitra yang sering disebut dengan pelapak atau UKM. Pemerintah ingin agar pedagang, pengusaha, dan penyedia jasa di platform e-dagang itu membayar pajak mulai April 2019 (Kompasiana.com, 15/1/2019).
Pajak adalah pungutan wajib yang dibayar rakyat untuk negara dan akan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat umum. Dalam sistem neoliberal ini, pajak dan hutang merupakan sumber pendapatan negara. Bahkan dalam APBN 2017 sendiri menyebutkan sekitar 85 persen lebih pemasukan negara bergantung kepada pajak. Akhirnya demi pajak, rakyat didzalimi.
Sebut saja PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), PPN (Pajak Pertambahan Nilai), Pajak Barang dan Jasa, Pajak Penjualan Barang-barang Mewah, NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) bagi mahasiswa yang sudah tamat, dan sekarang e-dagang, youtuber dan selegram dikenai pajak.
Padahal negeri ini kaya raya dengan memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah ruah. Sebut saja gunung emas, tambang batu bara, laut yang kaya akan biotanya. Semua itu cukup bahkan berlebih jika negara mengelola dengan baik dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan negara, membangun infrastruktur megah dan lain sebagainya.
Tapi sayang, kekayaan sumber daya alam (SDA) bangsa tinggal sebatas gelar saja. Terbukti kita masih saja tidak mampu membangun fasilitas dengan SDA yang sudah tersedia. Sehingga makin membuat rakyat sengsara. Sebab semua golongan masyarakat kini disasar menjadi objek wajib pajak dengan dalih pembangunan. Sedangkan para cukong kapitalis seenaknya dibiarkan melenggang menjarah aset bangsa.
Pada masa pemerintahan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, pajak dibebankan kepada non Muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, dan kebebasan menjalankan ibadah.
Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk orang laki-laki dewasa yang mampu membayar. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa dan penyakit lainnya dibebaskan dari kewajiban pajak.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menerapkan prinsip kharaj, yaitu pajak yang dipungut dari non Muslim, ketika wilayah Khaibar ditaklukkan, tanah hasil penaklukkan diambil alih oleh kaum Muslim dan pemilik lamanya diberi hak untuk mengelola tanah tersebut dengan status sebagai penyewa dan bersedia memberikan separuh hasilnya kepada negara. Dalam perkembangannya kharaj dijadikan sebagai sumber bagi pemasukan negara.
Andai baitul maal negara berada dalam keadaan kosong, maka akan diminta pajak dari kaum Muslim yang kaya dan bukan berlaku untuk semua orang.
Walhasil, dalam Islam pajak bukanlah sebagai pendapatan negara untuk membiayai pembangunan. Dalam Islam negara tak akan membebani rakyat dengan aneka pajak tanpa pandang bulu. Karena sejatinya negara dalam pandangan Islam adalah sebagai pelayan bagi rakyat bukan vampir yang gemar menghisap darah rakyatnya sendiri.
Sistem ekonomi Islam yang tegak di atas paradigma lurus, akan mengoptimalkan anugrah kekayaan alam yang diberikan Allah Ta'ala dengan pengaturan yang benar dan akan membawa manfaat bagi semua, bukan hanya kaum Muslim, tapi juga bagi non Muslim, karena Islam rahmatan lil 'alamin.
Wallahu a'lam bi ash shawab.[]