Oleh: Inten Fajar Utami, S.Farm., Apt. (Apoteker tinggal di Rancekek Kab. Bandung)
Tiga kunci dalam mendominasi suara pada kontestasi Pemilihan Presiden 2019 diantaranya adalah pemilih Jasuma (Jawa-Sumatera), pemilih muda (Gen Z dan Millenial) serta pemilih muslim. Hal ini berdasarkan survey yang dilakukan oleh Alvara Research Center. Jumlah pemilih muslim sendiri pada Pemilu 2019 berada di kisaran 87,6%.
Jika melihat pada dua pasangan kandidat yang ada, tarik-menarik dalam memperoleh dukungan suara mayoritas muslim kian terasa. Nampaknya, pilihan Jokowi memberikan tempat kepada KH Ma’ruf Amin sebagai pendampingnya merupakan salah satu manuver politik untuk meraup suara muslim. KH Ma’ruf Amin sendiri saat ini tengah menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di lain pihak, simpatisan Prabowo-Sandiaga sendiri mengklaim mayoritas mereka sebagai muslim. Beberapa pihak bahkan mengasumsikan bahwa hadirnya Prabowo dalam agenda besar Aksi Bela Tauhid 212 pada tanggal 2 Desember 2018 lalu juga disisipi maksud politis.
Baru-baru ini juga ramai diperbincangkan mengenai usulan dari Ikatan Dai Aceh kepada kedua paslon untuk melakukan uji baca Al Qur’an yang rencananya akan dilaksanakan pada 15 Januari 2019 di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Usulan tersebut ditanggapi serupa tapi tak sama oleh kedua paslon. Kubu Prabowo menilai bahwa tes tersebut tidak perlu dilakukan. “Yang lebih penting adalah pemahaman terhdap isinya dan bagaimana mengamalkanya secara demokratis dan konstitusonal di NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 45,” ungkap Juru Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Sodik Mudjahid. "Prinsip itu yang lebih penting bukan hanya mampu membacanya dalam bahasa Arab. Seperti waktu tes calon ketua umum PSSI. Apakah dilakukan tes cara menendang bola, cara stop bola dan cara dribble bola? Tidak ‘kan? Tapi visi-misi dan programnya dalam memajukan sepakbola," tutur Ketua DPP Gerindra itu. Sementara itu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Hajriyanto Thohari, mengatakan bahwa syarat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah cukup sudah cukup, tidak perlu ditambah lagi. "Melihat syarat-syarat capres dan cawapres sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, di dalam aturan tentang Pilpres dan di dalam peraturan-peraturan KPU, itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi syarat bagi seorang capres," ujarnya. Di sisi lain, politisi PDI Perjuangan (PDIP) Maruarar Sirait meyakini, bila uji tersebut jadi digelar maka paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf siap untuk melaksanakannya.
Jika diamati lebih jauh, munculnya usulan ini merupakan bukti bahwa dalam sistem demokrasi, Al Qur’an hanyalah menjadi salah satu alat untuk mendapatkan kursi kekuasaan, mengingat kecakapan seseorang dalam membaca Al Qur’an tidak lantas menunjukkan tingkat ketaatannya kepada hukum-hukum Islam. Setingkat pemimpin negara, selayaknya yang diuji tidak lagi sejauh mana seseorang dapat membaca Al Qur’an, tetapi lebih dari itu, sedalam apa pemahamannya, kemampuannya dalam menggali hukum dari nash-nash Al Qur’an, serta penerapan isi Al Qur’an secara komprehensif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Al Qur’an sendiri tidak hanya menjelaskan bagaimana seorang manusia berhubungan dengan Allah Swt melalui ibadah-ibadah ritual, namun juga mengatur bagaimana seorang manusia berhubungan dengan dirinya sendiri dan dengan sesama manusia, yang implementasinya tentu saja tidak dapat dicapai tanpa campur tangan pemimpin.
Pertanyaannya, apakah memang kedua paslon ketika terpilih nanti akan mampu mengejawantahkan isi Al Qur’an secara sempurna untuk direalisasikan dalam aturan ketatanegaraan?