Oleh: Sopiyah, S. Pd. (Pengajar di Sekolah Tahfizh Purwakarta)
Indonesia bukan hanya negeri yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga negeri dengan potensi bencana alam yang sangat banyak. Gempa bumi di Lombok belum hilang dalam ingatan kita, disusul dengan tsunami di Palu, dan kini berita duka tsunami Selat Sunda. Tepatnya Sabtu malam (22/12) lalu gelombang tsunami menghantam wilayah Selat Sunda, Provinsi Banten dan Lampung. Sampai Rabu siang ini (26/12) korban sudah 430 orang meninggal dunia, 159 orang menghilang, ratusan lainnya menderita luka berat dan luka ringan, serta ribuan lainnya mengungsi. (CNNIndonesia.com, Rabu, 26/12).
Tsunami yang menerjang kawasan pesisir Selat Sunda, Sabtu (22/12), masih menjadi pertanyaan sejumlah pihak. Hal tersebut lantaran tidak adanya peringatan kebencanaan dari tsunami yang disebabkan oleh aktivitas vulkanologi erupsi Anak Krakatau tersebut.(Republika.co.id, Senin,24/12).
Costas Synolakis, Direktur Pusat Penelitian Tsunami Universitas California Selatan menyebut, tsunami yang terjadi di pesisir wilayah Banten dan Lampung tersebut bukanlah tsunami pada umumnya yang terjadi karena aktivitas tektonik atau gempa bumi. Tsunami kali ini terjadi karena aktivitas vulkanik.
Lebih lanjut Costas menjelaskan bahwa tsunami yang diakibatkan oleh aktivitas vulkanis tidak memicu adanya peringatan. Hal inilah yang menjadi kemungkinan besar penyebab tidak adanya peringatan dini tsunami dari BMKG.
Sikap Pemerintah Terhadap Bencana
Tsunami Selat Sunda memang menyisakan duka bagi para korban. Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Sodik Mudjahid, menuturkan bahwa lemahnya mitigasi bencana terlihat dari jumlah korban dalam setiap bencana yang terbilang banyak, karena tidak terantisipasi.(news.okezone.com, Jumat, 27/12)
Meskipun demikian, seolah tidak belajar dari pengalaman bencana sebelumnya di Lombok dan Palu. Pemerintah cenderung lalai bahkan abai. Pemerintah, misalnya, tak segera memperbaiki atau mengganti alat pendeteksi tsunami yang konon sudah sejak tahun 2012 tidak berfungsi. Padahal sudah jelas daerah pesisir pantai memiliki peluang besar untuk terjadi bencana tsunami. Hal ini tentu menjadi pertanyaan, bagaimana sebenarnya keseriusan pemerintah dalam penanganan bencana di negeri ini?
Inilah buah dari sistem kapitalis. Pemerintah hari ini hanya sibuk dengan pancitraan dan bermental pedagang dengan rakyatnya. Sehingga kegiatan untuk mengurusi rakyat tidak lagi menjadi hal utama dalam pemerintahannya.
Solusi Islam
Musibah yang menimpa manusia merupakan qadha’ dari Allah SWT. Namun, di balik qadha’ tersebut ada fenomena alam yang bisa dicerna. Termasuk, upaya untuk menghindari sebelum terjadi musibah tersebut. Hal ini dapat kita dilihat dari kisah ‘Umar bin Khattab ketika menghindari suatu daerah yang dilanda penyakit. Pada saat itu Khalifah ‘Umar ditanya, “Apakah Anda akan melarikan diri dari qadar Allah?”. Maka dengan tegas ‘Umar mengatakan, “Kita lari dari satu qadar Allah menuju qadar Allah yang lainnya.” Di sinilah letak upaya manusia.
Untuk mengatasi potensi maupun masalah seperti ini, Islam memiliki mekanisme dalam penanganan bencana yaitu berupa kebijakan preventif dan kebijakan kuratif.
Pertama, kebijakan preventif dilakukan sebelum terjadinya bencana. Negara wajib memetakan daerah-daerah yang rawan terkena bencana serta mendirikan pos pemantau yang melibatkan BMKG, sehingga bisa memberikan laporan diri sebelum terjadinya bencana. Negara juga wajib melengkapi diri dengan ala-talat pendeteksi dini yang canggih sehingga mampu memberikan early warning (peringatan dini) yang tepat dan akurat. Hal ini dimaksudkan agar bisa sesegera mungkin melakukan tindakan cepat dan darurat, khususnya bagi warga yang mungkin bisa terkena dampak, jika bencana alam ini terjadi.
Tidak kalah pentingnya adalah edukasi kepada masyarakat, baik yang terkait dengan potensi bencana, bagaimana cara menyelamatkan diri, juga bagaimana menyikapi bencana dengan benar. Edukasi ini sangat membantu, bukan hanya negara, tetapi juga masyarakat.
Kedua, kebijakan kuratif ketika dan pasca bencana. Seorang muslim seharusnya sadar betul bahwa setiap bencana yang terjadi tidaklah melulu soal alasan ilmiah dan alamiah. Namun, memahami bahwa dibalik bencana pasti ada sebuah hikmah yang hendak Allah sampaikan, baik itu sebagai ujian atau teguran. Artinya bisa jadi bencana terjadi karena kemaksiatan dari penduduk atau pemimpin negeri tersebut. Dalam hal ini Imam Ibnu Katsir menafsirkan surat Ar-Rum :41 dengan mengutip pernyataan Abu al-Aliyah, “Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah di bumi maka sungguh ia telah merusak bumi. Sungguh kebaikan bumi dan langit adalah dengan ketaatan (kepada Allah SWT)” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 6/320).
Karena itu wajib bagi setiap penduduk dan pemimpin negeri yang terkena bencana tersebut untuk segera bertaubat kepada Allah swt.
Adapun perihal penanganan korban bencana, maka negara melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Negara menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, negara juga melakukan mental recovery, dengan melibatkan alim ulama.
Sayangnya, dua solusi Islam tersebut tidak akan dapat pernah terealisir jika sistem yang diterapkan dalam negara masih bercorak sekular-kapitalistik. Dimana orientasi negara saat penanganan bencana pun masih mempertimbangkan nilai-nilai materi semata. Hanya negara yang menerapkan sistem syariah secara kaffah saja yang dapat merealisasikannya.