Ummu Fadhil
(Pengurus KPIT Kendari)
Jaminan atas toleransi di negeri ini seolah ambigu kini. Bagaimana tidak, hampir di setiap akhir tahun dimana umat selain muslim menyelenggarakan ibadah mereka atau menjelang pergantian tahun masehi, selalu ada kejadian yang memberi kesan intoleransi umat lainnya.
Padahal mengutip alasan seorang mantan pelaku rentetan teror berdarah lalu yang terjadi di Surabaya, Khoirul. Sama sekali bukan didorong oleh intoleransi seperti yang digambarkan sebelumnya. Ia blak-blakan mengatakan bahwa faktor keadilan, kemiskinan, kesenjangan, ekonomi politik sampai aspek psikologislah yang bisa membuat seseorang tergoda melakukan tindak pidana terorisme. (IDN Times, 13/5/2018).
Harus diakui sudah sejak lama keberagaman dan jaminan atas sikap toleransi di negeri ini tak menjadi perkara yang mengkhawatirkan, Saat ini Indonesia dengan jumlah penduduk 265 juta jiwa dengan penganut agama yang beragam, terdiri dari pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05%. Jelas keberadaan mayoritas muslim selama ini justru menunjukkan rasa aman dan saling menjaga. Kehidupan yang damai serta suasana tolong menolong kental mewarnai perilaku dan kebiasaan masyarakat. Namun mengapa tudingan intoleransi masih kerap ditujukan pada umat Islam?
Seharusnya seperti yang diutarakan oleh Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban, Din Syamsuddin dalam acara Diversity Dinner Sabang Merauke: 5 Tahun Merawat Toleransi, pada Jumat, 24 November 2017. Bahwa kemajemukan justru sumber kekuatan dan umat Islam telah membuktikan diri sebagai pemenangnya. Beliau berujar,
“Siapa hidup berdampingan secara damai, mereka adalah pemenang. Bagi bangsa Indonesia, kemajemukan ini adalah kekuatan. Kita harus siap hidup berdampingan secara damai dengan inklusif. Orang lain ada untuk kita. Kita ada bukan untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk orang lain.”
Intoleransi Sumber Terorisme ?
Miris, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya proyek perburuan teroris akan kembali mencuat di negeri ini. Prasangka pun terbangun yaitu munculnya bibit terorisme.
Meski jauh hari telah disampaikan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian bahwa tidak ada ancaman terorisme jelang perayaan Natal dan pergantian tahun. Karena kepolisian telah melakukan langkah-langkah preventif guna mengantisipasi aksi terorisme. (kompas.com, Jakarta).
Namun tetap saja ada anggapan bahwa hal yang melatarbelakangi munculnya bibit baru terorisme adalah adanya sikap intoleransi.
Mengutip dari Direktur Riset Setara Institute, Halili yang mengungkapkan hasil penelitian lembaganya. Menurutnya sikap intoleransi adalah awal mula seseorang berubah menjadi pelaku tindak pidana terorisme. Perilaku intoleransi mudah berlanjut menjadi paham radikalisme.
"Terorisme itu bertingkat, tidak serta merta seseorang jadi teroris. Tangga pertama adalah intoleransi," ujar Halili dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat,
Berdasarkan hasil penelitian Setara di 171 Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) menyebutkan 0.3 persen siswa terpapar radikalisme. Sementara 2,4 persen siswa mengalami sikap intoleransi aktif.
Meski angka tersebut, tergolong sedikit namun Halili meminta setiap pemangku kepentingan untuk mewaspadai potensi kebangkitan radikalisme.
"Dalam konteks terorisme, satu orang itu sudah terlalu banyak. Kita harus fokus pada isu toleransi sebagai hulu terorisme," tegas Halili. (tribunnews.com, 19/5/2018)
Parahnya, hasil penelitian Setara kontan direspon oleh warga kota Bandung. Dalam kegiatan malam 1.000 lilin yang dilakukan di depan Gasibu, Jalan Diponegoro, Minggu (13/5/2018). Koordinator aksi Malam Seribu Lilin Rafael Situmorang, mengatakan ada ratusan warga kota Bandung dari berbagai elemen baik itu dari aktivis pemuda, seniman, hingga pemuka agama ikut dalam kegiatan tersebut. Dengan adanya aksi ini, pihaknya ingin menumbuhkan sikap toleransi di masyarakat.
"Karena sikap intoleransi itu merupakan bibit-bibit terorisme dan radikalisme. Kami ingin menggugah warga Bandung dan sekitarnya menumbuhkan sikap toleransi," katanya. (kompas.com, Bandung)
Kita layak prihatin. Tindakan mengaitkan Islam yang intoleransi dengan terorisme adalah suatu kesalahan besar. Sebabnya narasi toleransi yang berhasil dibangun barat berdasar asas demokrasi dan HAM telah menjerat umat pada pemahaman yang salah kaprah. Bahwa kaum muslimin akan dikatakan toleran jika mau melakukan apa yang di wacanakan Barat. Sebaliknya, jika tidak sejalan dengan mereka, lantas dikatakan sebaliknya yaitu intoleran atau radikal. Maka oleh Barat, jika ada seorang Muslim berpegang teguh pada kemurnian ajaran Islam dalam memandang dan bersikap terhadap keyakinan ( teologi) agama lain, mereka akan di cap sebagai fundamentalis, radikalis dan intoleran.
Padahal ada hal yang sungguh merupakan prinsip dalam Islam. Terdapat batas dimana seorang muslim harus toleran di antara umat manusia dan ada perkara yang justru sebaliknya. Seperti firman Allah swt berikut,
“Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, tidak diterima (amal)-nya dan ia akan termasuk di akhirat (kelak) sebagai orang yang merugi”. (TQS 'Ali Imran:85). Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
Lagi, Islam Dirugikan?
Yang bikin tambah greget ialah telah terjadi pemutarbalikan fakta dan stigma negatif tentang Islam. Perang opini dan perang media nyata berlangsung. Karena itu, dituntut kecermatan umat dalam membedakan antara fakta dan opini.
Harus diakui sejak tahun 1991, isu perang melawan terorisme tidak pernah surut, bahkan tetap aktual hingga sekarang. Tujuannya tak lain untuk memerangi pemikiran, organisasi atau perjuangan yang berusaha melawan hegemoni dan imperialisme barat atas negeri-negeri kaum muslimin.
Maka diperlukan upaya mengedukasi kesadaran politik umat untuk memandang setiap persoalan dari sudut pandang akidah dan syariah Islam. Kesadaran ini akan memandu kaum muslimin untuk selalu waspada terhadap setiap upaya yang di tujukan untuk menghancurkan eksistensi Islam dan kaum muslimin. Wallaahu a’lam.