Oleh : Wida Aulia
Presiden Joko Widodo kaget dan sempat tak percaya seorang guru swasta yang tergabung dalam Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) mendapat gaji sekitar Rp300 ribu sampai Rp500 ribu per bulan. Jokowi mendapat informasi gaji tersebut dari pengurus PGSI yang hadir dalam Silaturahmi PGSI di Istana Negara, Jakarta, Jumat (11/1/2019, CNN INDONESIA)
Pernyataan yang diungkapkan menjelang berakhirnya masa jabatan sebagai seorang presiden tersebut tentu wajar akan mendapat komentar dari masyarakat terutama warga net, " sudah hampir 5 Th kok baru tahu saat ini, selama ini ke mana saja dan ngapain saja pak presiden?". Kemudian juga ada lagi yang berkomentar dengan menganggap bahwa pernyataan presiden tersebut hanyalah cara presiden untuk melimpahkan kesalahan kepada pihak lain yang terkait dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Ini adalah sedikit imbas dari kerusakan demokrasi kapitalis. Pemimpin negara hanya fokus menangani dan memperhatikan masalah yang dapat memberikan keuntungan materi seperti proyek-proyek insfrastruktur saja dan lebih fokus pada kegiatan menjelang pemilu. Masalah di atas adalah potret buram di bidang pendidikan yang terjadi di negeri Khatulistiwa yang kaya raya dengan SDA yang melimpah ruah namun guru honorer hanya mendapat gaji sekitar 300 ribu saja tiap bulan, sungguh ironis.
Ungkapan-ungkapan seperti, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa atau ungkapan bahwa guru adalah pejuang yang mencetak generasi emas seolah membius masyarakat sehingga beranggapan bahwa wajar jika guru mendapat gaji sangat murah. Apalagi guru honorer yang hanya berpredikat sebagai guru pembantu.
Misal saja untuk sekolah dasar ( SD )idealnya memiliki satu kepala sekolah dan 6 guru pengajar untuk kelas satu sampai kelas 6. Namun terkadang ada guru yang mutasi maupun pensiun namun belum ada guru pengganti. Sehingga sekolah mengambil guru honorer untuk membantu demi keberlangsungan kegiatan belajar mengajar, dengan memberi gaji yang sangat kecil.
Memang benar tugas guru adalah mendidik generasi untuk dipersiapkan menjadi penerus kepemimpinan negeri. Namun dengan mahalnya berbagai kebutuhan hidup saat ini apakah dengan gaji yang tidak mencukupi akan dapat menjadikan seorang guru menjalankan tugas dan perannya secara ideal dan optimal. Yang ada mereka juga sibuk mencari pekerjaan yang lebih layak sehingga justru mengabaikan tugas utama sebagai pendidik atau hanya mendidik sekenanya saja tidak maksimal.
Kerusakan generasi seperti maraknya tawuran pelajar, seks bebas, miras, narkoba, aborsi bahkan tindak kriminal yang dilakukan oleh pelajar adalah akibat dari tidak optimalnya peran seorang guru dalam mendidik pelajar mereka. Sering jam kosong akibat guru mencari pekerjaan lain sehingga para pelajar mengisi jam kosong dengan kegiatan yang buruk. Namun para orang tua tak bisa menuntut mendapat pendidikan yang ideal bagi anak-anaknya kepada para guru karna menyadari bahwa gaji guru tersebut tidak mencukupi.
Namun, masalah pendidikan bukan hanya masalah gaji guru. Jika hal itu yang dilihat, maka bisa saja pemerintah hanya fokus untuk menaikkan gaji guru honorer. Semisal saja gaji guru honorer disamakan dengan gaji guru pada masa Khilafah yaitu sebesar 15 dinar atau setara dengan sekitar 38 juta rupiah.
Tetap tidak akan bisa mengatasi kerusakan generasi dengan tuntas. Gaji tinggi, guru sejahtera dan fokus pada peran mendidik generasi, namun diluar itu pengaruh dari sistem ini sangat besar pada kerusakan generasi. Apa mungkin bisa lahir generasi emas? Kalau remajanya sendiri malas menuntut ilmu dan lebih suka hura-hura dan lebih bangga bergaya hidup ala barat.
Bagaimana generasi ini akan potensial jika sebelum mereka berkembang sudah dikebiri dengan berbagai tontonan amoral dari televisi dan internet. Bagaimana generasi ini akan berkualitas jika diluar sana pergaulan mereka masih bebas tanpa batas sehingga meluaskan jalan mereka untuk berzina.
Berbeda dengan sistem Islam yang memandang bahwa belajar dan mengajarkan ilmu adalah sebuah kewajiban sehingga negara Islam bersungguh-sungguh memberikan fasilitas pendidikan yang berkualitas, membina guru agar memiliki kepribadian Islam dan kapabilitas yang tinggi. Sehingga guru tersebut mampu mencetak generasi unggul yang ahli di segala ilmu Iptek dan ilmu agama.
Sebut saja guru besar yang lahir dari rahim sistem Islam yang dapat melahirkan generasi emas pula yaitu Imam Maliki yang mencetak Imam besar yaitu Imam Syafi'i. Mereka adalah guru besar yang terkenal keilmuannya hingga seluruh dunia dan dari masa ke masa hingga saat ini.
Jadi, masalah pendidikan di era sekuler bukan hanya masalah gaji guru saja. Namun juga masalah kerusakan generasi. Sehingga sudah seharusnya umat menerapkan sistem Islam sebagai satu-satunya sistem sempurna yang telah terbukti melahirkan generasi yang berakhlakul karimah dan berilmu pengetahuan tinggi.