Oleh: Siti Maisaroh, S.Pd (Praktisi Pendidikan)
Kontestasi politik kian memanas. Saling unjuk kebolehan antar kubu pun kian mengganas. Berbagai lini masyarakat tak terlewatkan untuk disentuh dengan janji-janji politik lima tahun kedepan. Tapi, baru-baru ini, ada yang tak kalah seru dari blusukan mereka ke pasar tradisional. Ada yang tak kalah meraih simpati dari janji mereka untuk merubah nasib rakyat-rakyat kecil. Juga tak kalah menantang dari saling lempar diksi pendobrak sensasi.
Ikatan Dai Aceh mengundang dua kandidat calon presiden RI untuk uji baca al Qur’an. Menurut Ridlwan Habib, peneliti radikalisme dan gerakan Islam di Jakarta, “Ini justru peluang emas bagi masing-masing kubu untuk mendapatkan simpati dari kelompok pemilih Islam.” (Sumber: TribunNews.com, Minggu 30/12/2018).
Tentu, hal demikian memancing reaksi liar dari public untuk menganalisanya. Bagaimana tidak, ide tes baca al Qur’an untuk capres cawapres dan respon terhadapnya merupakan salah satu bukti bahwa dalam Demokrasi al Qur’an hanya menjadi permainan dan pemanis polotik. Untuk mengundah simpati dan memenangi persaingan. Hanya serendah itu. Tidak lebih dari itu.
Padahal, bagi seorang Muslim sejati, al Qur’an adalah sesuatu yang suci. Mulia dan berisi kalamullah. “(Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (al Imran: 138).
Sehingga, tidak pantas untuk dijadikan sebagai bahan permainan dan senda gurau. Apalagi penarik simpatik politik dan ambisi kekuasaan belaka. Karena al Qur’an adalah petunjuk hidup yang berisikan seperangkat aturan yang harus diamalkan dan diterapkan seluruh isi didalamnya.
Padahal, umat juga tidak hanya butuh pada pemimpin yang bisa membaca al Qur’an dengan baik dan benar. Bacaan al Qur’an saja tidak bisa dijadikan sebagai neraca (penimbang) baik dan buruknya seseorang dalam menjalankan kepemimpinan. Tetapi ada yang lebih diharapkan dari itu, yakni pemimpin yang siap menerapkan seperangkat aturan al Qur’an dalam mengatur kehidupan. Menerapkan dalam kancah ekonomi, social, hukum sanksi, pendidikan dan politik.
Selama system Demokrasi yang berasas Sekularisme masih dijunjung tinggi di negeri ini, selama itu pula Islam dan ajarannya yang mulia hanya dijadikan sebagai pemanis dan hanya diberikan sisa-sisa ruang yang sangat sempit.
Demikian telah menambah daftar panjang alasan, bahwa kita sangat membutuhkan kekuatan Negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah (sempurna). Negara yang mempunyai dan memberikan perlindungan akan kehormatan dan kemuliaan Islam dan kaumnya. Negara yang siap menjadikan al Qur’an sebagai aturan tertinggi untuk mengatur segala problematika kehidupan manusia. Waallahu a’lamu bishowab.